Gianyar (ANTARA) - Gubernur Bali Wayan Koster secara resmi mencanangkan pemberlakuan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat yang ditandai dengan penandatanganan prasasti di Wantilan Pura Samuhan Tiga, Desa Bedulu, Gianyar, Selasa.
"Legislasi ini dibuat untuk melestarikan apa yang sudah dirancang oleh Ida Bhatara Mpu Kuturan. Tujuannya agar desa adat lebih kokoh dan kuat, sekaligus mampu mengakomodasi tantangan dan peluang zaman," kata Koster dalam acara pencanangan Perda Desa Adat tersebut.
Ribuan undangan yang hadir dalam acara tersebut terdiri dari pimpinan umat Hindu yakni Sulinggih dan Pinandita, Wagub Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Wakapolda Bali Brigjen (Pol) I Wayan Sunartha, Ketua DPRD Bali Adi Wiryatama, bupati dan wali kota, majelis utama dan Majelis Madya Desa Pekraman, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), PHDI, kepala desa dan lurah, serta para bendesa dari 1.493 desa pekraman (desa adat) di Bali.
"Pencanangan Perda Desa Adat ini merupakan momen historis karena untuk pertama kalinya desa adat, lembaga kultural terpenting di Bali, diakui sebagai subjek hukum dengan posisi dan kewenangan yang jelas," ucap Koster.
Selain itu, pencanangan ini juga merupakan momen bersejarah karena merupakan kelanjutan dari tonggak sejarah yang dibangun Ida Bhatara Mpu Kuturan pada 1.000 tahun yang lalu.
Dalam posisinya sebagai penasihat utama Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu Kuturan saat itu dalam pertemuan-pertemuan di Pura Samuhan Tiga dengan tokoh agama dan masyarakat telah melahirkan struktur-struktur fundamental bagi masyarakat Bali, termasuk dasa adat, pura kahyangan tiga, dan sanggah rong tiga.
Ketua DPD PDI Perjuangan Bali itu mengungkapkan bahwa rancangan perda itu sudah disusunnya sejak 2014 saat masih menjadi anggota DPR RI. Selama itu pula Ida Bhatara Mpu Kuturan selalu dipujanya dalam doa-doanya.
"Selalu saya ingat Ida Bhatara Mpu Kuturan, saya mohon bimbingan beliau. Kalau yang saya lakukan benar agar diberi jalan, kalau salah agar dihentikan," kenang Koster.
Pencanangan pemberlakuan Perda Desa Adat ini juga menjadi peristiwa yang penuh simbol. Perda No 4 itu dicanangkan pada tanggal 4 pada Anggara Kasih Kulantir, sebuah hari suci yang diyakini sebagai saat beryoganya Ida Bhatara Siwa. Koster sendiri lahir pada Anggara Kasih Tambir. "Tabik pekulun Ida Bhatara Mpu Kuturan sendiri adalah putra nomor 4," kata Koster.
Sebelum dimulainya upacara pencanangan, Koster bersama para pejabat melakukan persembahyangan di utama mandala Pura Samuhan Tiga. "Saya melapor dan nunas penugrahan kepada Ida Bhatara Mpu Kuturan. Ini Perda-nya sudah selesai, kita mohon kepada Ida Bhatara agar dibimbing dan dibantu selama pelaksanaannya," ucapnya.
Perda Nomor 4 Tahun 2019, yang terdiri dari 18 Bab dan 104 Pasal, tersebut menurut Koster adalah pelaksanaan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru.
"Konsep dasarnya tidak boleh menyimpang dari kearifan lokal. Harus tegak lurus fundamentalnya dengan kearifan lokal," katanya.
Perda bersejarah ini memuat sejumlah ketentuan baru dan progresif. Secara substansi, Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali ini tidak mengacu pada UU 6/2014 tentang Desa, melainkan mengacu pada UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 236 ayat (4), yang menyatakan bahwa perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Karena itu pengertian Desa Adat dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali ini secara khusus, berbeda dengan pengertian Desa Adat dalam UU 6/2014 tentang Desa.
Karena mengacu pada UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah maka desa adat dalam perda ini memiliki wilayah, hak asal usul, hak-hak tradisional, susunan asli, serta otonomi asli untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Melalui perda ini pula untuk pertama kalinya desa adat diakui secara resmi dan eksplisit sebagai subjek hukum dengan kedudukan hukum yang jelas dan tegas.
Selain itu, perda ini menetapkan bahwa desa adat berkedudukan di wilayah Provinsi Bali. Dasar pertimbangannya adalah realitas desa adat sebagai satu kesatuan kosmologis alam Bali yang secara sosio-religius terikat pada kahyangan jagat terutama Pura Agung Besakih sebagai Purusa, Pura Batur sebagai Pradana. Selain itu, beberapa wilayah desa adat berada di lintas wilayah kabupaten/kota.
Adat Bali harus dikelola dalam satu kesatuan wilayah Bali, tidak bisa dikelola secara parsial per wilayah kabupaten/kota, sehingga adat Bali menjadi satu-kesatuan identitas yang kuat bagi masyarakat Bali.
Perda juga memuat pengaturan yang jelas mengenai kategori krama (warga) beserta swadharma (kewajiban) dan swadikara (hak) masing-masing, yang terdiri dari (Pasal 8) Krama Desa Adat, yaitu warga masyarakat Bali beragama Hindu hyang Mipil dan tercatat di desa adat setempat.
Selanjutnya; Krama tamiu, yaitu warga masyarakat Bali beragama Hindu yang tidak Mipil tetapi tercatat di desa adat setempat; dan Tamiu, yaitu orang selain Krama Desa Adat dan Krama Tamiu yang berada di wilayah desa adat untuk sementara atau bertempat tinggal dan tercatat di desa adat setempat.
"Di Bali itu kewajiban yang dilaksanakan terlebih dahulu baru minta hak. Kalau minta hak dulu pasti akan ribut, makanya di Bali kan Karma Phala, melakukan karma lebih dulu baru kemudian minta pahala," ujar Koster.
Diatur pula penegasan dan perluasan tugas serta wewenang desa adat termasuk kewenangan lokal berskala desa adat (pasal 21-25).
Perda juga menegaskan bahwa perubahan status hak dan fungsi atas tanah desa adat harus dilakukan berdasarkan kesepakatan melalui Paruman Desa Adat/Banjar Adat bersangkutan (pasal 11).
Pemerintah Provinsi Bali akan segera membentuk perangkat daerah yang secara khusus akan menangani urusan desa adat.