Denpasar (Antaranews Bali) - Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri menilai kebijakan pasar tenaga kerja inklusif menjadi salah satu solusi dalam menghadapi sejumlah tantangan transformasi pekerjaan yang ditimbulkan dari Revolusi Industri 4.0
"Inklusif artinya keberpihakan kepada yang lemah, yakni pendidikan dan pelatihan untuk semua, yang berarti lebih banyak kesempatan yang sama untuk meningkatkan tingkat kompetensi kapan saja dan di mana saja," kata Hanif saat menyampaikan arahan pada Rapat Koordinasi Bidang Pelatihan dan Produktivitas tahun 2018, di Denpasar, Selasa.
Menurut dia, Revolusi Industri 4.0 lebih menekankan pada demand (permintaan) produksi barang dan jasa dengan cara yang lebih individual dan spesifik dibandingkan mekanisme produksi berbasis suplai secara masif agar dapat kompetitif.
"Dengan demikian Revolusi Industri 4.0 memberi banyak tantangan transformasi ketenagakerjaan seperti tantangan transformasi keterampilan, tantangan transformasi pekerjaan, dan tantangan transformasi masyarakat," ujarnya.
Hanif mencontohkan, terkait tantangan transformasi pekerjaan, maka akibat perkembangan teknologi, bekerja tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu. Bekerja saat ini bisa dimana saja. "Seorang karyawan kantor bisa bekerja di kantornya pada siang harinya dan menjajakan properti di malam harinya melalui situs online," ucapnya.
Hal tersebut memiliki sisi positif bagi yang memiliki kompetensi dan akses, namun juga memberi tantangan bagi masyarakat dan pemerintah karena ekonomi yang tumbuh adalah ekonomi informal.
Sedangkan terkait tantangan transformasi masyarakat, Revolusi Industri 4.0 memiliki potensi untuk memengaruhi industri dan ekonomi masyarakat yakni dengan munculnya Society 5.0. Masyarakat Cerdas Society 5.0 merupakan suatu bentuk masyarakat baru setelah berburu, pertanian, industri dan masyarakat informasi. Society 5.0 diyakini sebagai hasil dari industri 4.0 karena menciptakan nilai baru dalam hal gaya hidup dan budaya di masyarakat.
Hanif menambahkan, selain kebijakan pasar kerja inklusif, maka redistribusi pendapatan dan akses juga menjadi cara terbaik untuk menghadapi ketidakpastian dan perubahan yang ketat di masa mendatang dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0. Redistribusi pendapatan dan aset, yang berarti lebih banyak jaminan sosial untuk individu yang lemah dan UMKM.
Selain itu, Kementerian Tenaga Kerja juga telah membuat rencana program pelatihan vokasi. Salah satunya melalui program-program pelatihan dan sertifikasi serta pelatihan peningkatan produktivitas bersumber dari APBN yang dilaksanakan di Balai Latihan Kerja (BLK), baik BLK pemerintah, swasta ( LPKS, BLK Komunitas), BPP dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).
Sampai saat ini jumlah BLK milik pemerintah sebanyak 303 BLK dan pada tahun 2017 telah dibangun BLK komunitas sebanyak 50 BLK dan sudah bisa melatih sebanyak 4.000 orang. Dan pada tahun 2018 segera terbangun sebanyak 75 BLK komunitas sehingga secara langsung akan membuka akses pelatihan bagi masyarakat di daerah yang sulit untuk mengikuti pelatihan.
Berdasarkan Instruksi Presiden, maka 2019 agar dibangun lagi 1.000 BLK Komunitas sehingga akan menambah kapasitas pelatihan pada tahun 2019. Pembentukan LSP sebagai bagian proses sertifikasi perlu dilakukan. Jumlah LSP sampai dengan tahun 2018 sebanyak 1.321 LSP di semua sektor.
"Untuk tahun ini, kami memiliki target untuk melatih sebanyak 159.064 orang dan mensertifikasi sebanyak 260.024 orang tenaga kerja. Di 2019 direncanakan melatih sebanyak 526.189 orang, termasuk di dalamnya program pemagangan, dan mensertifikasi sebanyak 526.189 orang tenaga kerja," katanya.
Itu semua, ucap Hanif, menjadi bukti nyata bahwa pemerintah serius untuk menangani masalah kompetensi tenaga kerja nasional. Pihaknya berharap jumlah tersebut terus meningkat hingga dapat melatih sekitar 1,4 juta orang tenaga kerja yang berkualitas per tahun. (WDY).
Menaker: kebijakan tenaga kerja inklusif solusi Revolusi 4.0
Selasa, 9 Oktober 2018 12:58 WIB