Denpasar (Antaranews Bali) - Radikalisasi itu memiliki "dua sisi" yakni tindakan dan pemikiran.
Tindakan radikal itu terkait bom, bom bunuh diri, baku tembak, dan sebagainya, sedangkan pemikiran radikal itu terkait radikalisme, jihad, mati syahid, masuk sorga, dan sebagainya.
Siapa pun tahu, Detasemen Khusus (Densus) 88 antiteror yang dimiliki Kepolisian RI (Polri) memiliki kemampuan tindakan yang tidak diragukan dalam deteksi, intelijen, pengepungan, baku tembak atau penyerangan, penggeledahan, dan sebagainya.
Bahkan, kemampuan Densus 88/Antiteror itu diacungi jempol oleh banyak pihak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, karena personel Densus memang cukup terlatih melalui serangkaian pelatihan penanganan terorisme di dalam negeri dan di luar negeri.
Namun, kemampuan tindak Densus 88/Antiteror itu memang terkendala UU Terorisme, karena UU itu justru mensyaratkan tindakan kepolisian itu perlu menunggu "action" teroris, sehingga korban berjatuhan dan pelaku bisa juga tewas di tempat kejadian.
Oleh karena itu, upaya memberantas terorisme secara yuridis itu tidak cukup, meskipun ada revisi untuk UU Terorisme itu, karena tindakan yuridis dalam aksi terorisme itu ibarat menunggu tumbuhnya terorisme.
Dalam konteks ini, cara radikal untuk mengatasi radikalisasi adalah melakukan kontra-pemikiran terhadap pemikiran radikal untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya radikalisasi itu sendiri. Radikalisme adalah bibit terorisme.
Nah, radikalisme itu kini tumbuh dalam logika yang "mematahkan" asumsi selama ini bahwa teroris itu tumbuh dalam kondisi kemiskinan, ketidakterdidikan, dan status sosial yang terpinggirkan.
Setidaknya, Dita Upriyanto sekeluarga yang melakukan aksi bom bunuh diri pada tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018 adalah keluarga terdidik, ekonomi juga mapan, dan status sosial yang terpandang di kampungnya.
Artinya, akar terorisme atau radikalisme yang sesungguhnya adalah persoalan ideologis yang memapar dari satu generasi ke generasi lain melalui indoktrinasi dalam dua cara yakni kaderisasi (baiat nyata) dan medsos-isasi (baiat maya).
Penelitian "Alvara Research Center" pada 1 September-5 Oktober 2017 menunjukkan bahwa paparan radikalisme itu menyasar 23,5 persen mahasiswa dan 16,3 persen pelajar SMA. Mereka setuju dengan jihad untuk menegakkan Negara Islam atau khilafah.
Mayoritas pelajar dan mahasiswa memang masih setuju dengan NKRI sebagai bentuk negara dibandingkan dengan khilafah, namun fakta "sangat setuju" dengan jihad dan khilafah untuk mahasiswa 5,8 persen serta pelajar 8,1 persen bukanlah fakta sepele.
"Itulah yang memiliki potensi menjadi teroris, apalagi semakin muda usianya justru jumlah yang menjawab sangat setuju dan sangat setuju sekali menjadi semakin besar," kata CEO Alvara, Hasanuddin Ali, saat mengumumkan survei terhadap 1.800 mahasiswa dari 25 perguruan tinggi unggulan dan 2.400 pelajar SMAN unggulan di kota-kota besar.
Fakta kelam itu didukung dengan bukti bahwa rata-rata usia bomber saat ini berkisar antara 20-30 tahun, bahkan ada yang masih belasan. Artinya, mereka belum lama lulus dari SMA dan lulusan segar bagi yang mengenyam bangku kuliah.
Identifikasi secara khusus sebenarnya mudah dilakukan untuk mereka yang berpikiran radikal, karena mereka yang berpikir radikal cenderung menilai perbedaan pendapat sebagai salah, bid`ah, kafir, neraka, dan justifikasi sejenisnya.
Jangankan orang biasa atau ulama lokal, bahkan ulama nasional sekaliber Prof. Quraish Shihab, KH. Said Aqil Siradj, Buya Syafi`i Ma`arif, KH. Mustofa Bisri, dan (alm) Gus Dur, pun diolok-olok dengan penilaian diatas.
Diakui atau tidak, identifikasi semata terhadap teroris tidak akan menyelesaikan masalah, termasuk fatwa MUI bahwa bom bunuh diri bukan bagian dari jihad yang ditandatangani pada 24 Januari 2004 itu juga bukan jawaban yang mampu mengerem radikalisme/terorisme.
Kontrapemikiran
Agaknya jawaban yang tepat untuk mengatasi radikalisme/terorisme adalah jawaban dari "dua sisi" yakni tindakan yang didukung UU Terorisme yang memadai dan "kontrapemikiran" yang bersifat nyata (kaderisasi/indoktrinasi) dan maya (medsos-isasi).
Namun, jawaban dari "dua sisi" itu agaknya "kontra pemikiran" merupakan jawaban yang harus diutamakan atau diprioritaskan, karena fakta hasil penelitian tentang semakin meningkatkan generasi muda (pelajar-mahasiswa) yang terpapar secara pemikiran.
Contohnya, Dita Upriyanto yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur (13/5/2018); atau Dita Siska Millenia yang merupakan siswi Pondok Darul Arqom, Kendal, Jawa Tengah yang ditangkap dalam aksi di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok; atau Dita-Dita yang lainnya.
Dalam wawancara khusus dengan Majalah Tempo (3/6/2018), Dita Siska Millenia menyebut demokrasi itu haram karena sistem buatan manusia dan mereka yang memakainya berarti kafir, bom itu tidak apa-apa kalau banyak merugikan orang kafir, dan banyak pemahaman serupa.
"Saya belajar otodidak (tentang pemahaman seperti itu) dari grup whatsapp dan channel telegram sejak November 2017. Di sana banyak artikel tentang Islamic State, video eksekusi/pemenggalan. Ada juga panduan memenggal. Saya juga banyak baca dari Instagram. Saya masuk grup-grup itu dimasukkan oleh ikhwan yang saya kenal lewat Instagram," kata Dita Siska Millenia (18 tahun).
Pesan yang kurang lebih sama juga ditinggalkan teroris yang tewas dalam penyerangan Mapolda Riau. Teroris itu menyebut ayat-ayat Al Qur`an sebagai alasan perang yakni Surat At-Taubah ayat 38-39 dan Surat An-Naam ayat 12 bahwa Allah akan menghukum dengan azab yang pedih jika tidak berperang di Jalan Allah.
Baca juga: Serangan bom di tiga Gereja di Surabaya
Bahkan, paparan pemikiran itu menjadi sangat sadis bila dikaitkan dengan politik, seperti cita-cita mendirikan Khilafah. Mereka setuju Negara Islam (anti-ideologi Pancasila), yang didakwahkan dengan menghalalkan segala cara, seperti cerita guru besar Universitas Al-Azhar, Dr. Mustafa Murad, tentang Kelompok Khawarij yang sadis.
Sahabat Abdullah bin Abbas merinci ciri-ciri Khawarij, yakni kaum yang menakjubkan dalam hal ibadah, tampak bekas-bekas sujud di dahi mereka, siang hari mereka berpuasa dan malam hari diisi dengan tahajjud dan membaca Al-Quran. Mereka adalah qori dan hafal Qur`an, namun Sahabat Ali bin Abi Thalib memerangi mereka sebagai bukti kesesatan mereka.
Ya, paparan pemikiran itu umumnya berasal dari media sosial (medsos). Mereka merupakan "generasi instan" yang belajar agama secara instan pula atau tanpa guru. Cara se-instan itu pula yang masuk ke sekolah atau kampus umum seperti hasil penelitian diatas.
Mereka tidak belajar agama dari ahli agama, mereka tidak belajar Al Qur`an dari ahli Al Qur`an yang memahami perbedaan makna hanya dari perbedaan panjang-pendek bacaan dalam Al Qur`an, atau memahami adanya perbedaan konteks dari lokasi turunnya ayat Al Qur`an, apakah di Mekkah atau Madinah.
Oleh karena itu, kini sudah saatnya untuk memahami paparan radikalisme/terorisme secara pemikiran (nyata atau maya) sebagai faktor terpenting dalam membedah dan akhirnya mengatasi radikalisme secara radikal.
Tentu, "perang pemikiran" atau "kontra pemikiran" menjadi jawaban penting untuk dilakukan atau diajarkan ke semua sektor, baik sekolah umum, kampus umum, maupun "perang medsos" terkait pemikiran radikalisme/terorisme itu.
Sejatinya, "perang" yang diajarkan Nabi Muhammad SAW itu jangan menyerang orang tua/lansia, wanita, anak-anak, menyerang mereka yang bukan musuh, merusak aset bukan milik musuh. "Dilarang membunuh anak, perempuan, orang tua dan orang yang sedang sakit" (Imam Abu Dawud).
Bahkan, dalam sebuah babak perjuangan yang babak-belur, Nabi Muhammad SAW pun pernah ditantang Malaikat Jibril untuk meluluhlantakkan Kota Thaif (musuh) dengan meminta Malaikat Penjaga Gunung untuk menimpakan gunung ke kota musuh Nabi itu, namun Nabi justru menolak tawaran malaikat.
"Jangan engkau lakukan wahai Jibril. Mereka memperlakukan aku seperti ini, karena mereka belum tahu. Aku harap suatu saat keturunan mereka (generasi baru) akan menjadi pengikutku" (Nabi Muhammad SAW).
Terkait Pancasila sebagai ideologi berbangsa itu mirip Piagam Madinah yang disepakati Nabi dengan kaum Yahudi. Dalam Muktamar NU di Situbondo (1983), para ulama menyebut Pancasila tetap Islami merujuk "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam sila-1 dan Pancasila ibarat konsep "hablumminan-nas" (hubungan antar-manusia) dalam Islam.
Jadi, "kontrapemikiran" terhadap ajaran radikalisme/terorisme yang meminggirkan Pancasila sebagai ideologi bangsa itu harus dipaparkan ke sekolah umum atau kampus melalui "perang pemikiran" yang ada dalam kurikulum pendidikan dan juga ada dalam jejaring medsos secara masif guna mengatasi radikalisme secara radikal pula. (WDY)