Denpasar (Antaranews Bali) - Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana menawarkan sejumlah solusi menyikapi polemik rencana pembangunan saluran udara tegangan ekstra tinggi "Jawa Bali Crossing" yang mendapat penolakan dari lembaga keagamaan di Bali.
"Bhisama Kesucian Pura tetap harus kita hormati dan hargai, karena persoalan JBC ini sekarang bukan lagi dari sisi aspek teknis semata, namun masalah kesucian yang diatur bhisama," kata Ketua PPLH Unud Dr I Made Sudarma, di Denpasar, Jumat.
Jika saja radius dua kilometer dari Pura Segara Rupek, Kabupaten Buleleng, seperti yang diamanatkan "bhisama" dapat dipenuhi oleh PLN untuk rencana pembangunan tower JBC, menurut dia proyek tersebut bisa berjalan.
"Namun, jika opsi ini sulit dipenuhi karena harus mengubah jarak dan jika tidak dimungkinkan lewat atas, maka opsi yang dimungkinkan adalah lewat kabel bawah laut, sehingga listrik tetap masuk dan eksistensi bhisama tetap dihargai," ucapnya pada acara bertajuk Diskusi Terbuka, Bali Mandiri Energi, Mungkinkah? itu.
Selain itu, kalau Bali memilih untuk mandiri energi, hendaknya pembangkit listrik yang dibangun adalah yang ramah lingkungan karena Bali telah mendeklarasikan diri menjadi provinsi yang bersih dan hijau (Bali Clean and Green).
"Jika ingin membuat Bali bersih, bebas pencemaran, tetapi membuat pencemaran di daerah lain (di Paiton, Jatim-red), menurut saya Bali tidak fair juga. Oleh karena itu, kalau Bali mau menikmati listrik, harus siap dengan segala risikonya dan ada win-win solution," ujarnya pada acara yang diselenggarakan oleh DPP Peradah Indonesia Bali itu.
Sudarma menambahkan, untuk memanfaatkan energi terbarukan seperti dari air dan matahari untuk pembangkit listrik juga bukan persoalan sederhana karena biaya produksinya yang sangat inggi.
"Kalau bicara energi terbarukan, apakah dari air, matahari, sampah itu biayanya tinggi dan itu biasanya dilakukan oleh swasta. Orang yang berinvestasi tentu akan berhitung juga berapa harga listrik yang mau dibeli oleh PLN. Jika harga listrik yang dibeli lebih kecil dari biaya produksi, tentu tidak ada investor yang mau membangun," ucapnya.
Di samping itu, kalau menggunakan energi terbarukan, ancamannya dari sisi keberlanjutan dan stabilitas pasokan energi. Misalnya kalau hutan rusak, dan sungai tiba-tiba kering, pasokannya pasti tidak stabil, berbeda halnya jika menggunakan batu bara, gas, dan diesel.
Sementara itu, Wakil Ketua PHDI Bali I Ketut Pasek Swastika mengatakan PHDI tidak hanya sekadar menolak, tetapi telah berdasarkan Bhisama PHDI dan juga hasil keputusan Pesamuhan PHDI Bali.
"Bhisama akan tetap kami tegakkan, ingat Bali itu dikelilingi dan dijaga oleh berbagai pura sehingga kami tidak menginginkan kalau kesucian pura sampai tercemari," ucapnya.
Apalagi, rencananya jarak pembangunan tower "Jawa-Bali Crossing" dengan kapasitas listrik 500 kV itu hanya 300 meter dari Pura Segara Rupek yang merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan di Bali.
Dalam acara itu juga diisi dengan penandatanganan sikap bersama organisasi pemuda, BEM, dan perwakilan mahasiswa se-Bali terkait proyek Jawa Bali Crossing. Isi sikap bersama tersebut secara garis besarnya mendukung Bhisama Kesucian Pura yang dikeluarkan PHDI Bali dan menolak pembangunan proyek tersebut di kawasan radius kesucian Pura Segara Rupek, serta mendukung sepenuhnya bali mandiri energi dengan melihat potensi energi yang ada di Bali.
Dalam diskusi tersebut juga menghadirkan pembicara lainnya yakni Ketua Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali Jero Gede Suwena Putus Upadesha, akademisi Prof Dr I Putu Gelgel dari Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar dan Manajer Conservation Internasional wilayah Bali Made Iwan Dewantama. (WDY)