Tari Legong bagi kebanyakan penikmat seni, mungkin
diidentikkan dengan tari yang dilakonkan oleh kaum hawa. Namun, ternyata
Legong pada awal penciptaannya justru ditarikan oleh kaum laki-laki.
Sanggar Balerung Mandera Srinetrya Waditra, Desa Peliatan, Kabupaten
Gianyar, berusaha mengajak generasi muda untuk mengenal sejarah tari
klasik ini, sekaligus menepis kesan banci bagi pragina muani (seniman
laki-laki) yang menarikannya.
Kalangan Ayodhya di pojok timur Taman Budaya, Denpasar, Rabu
(28/6) sore itu penuh sesak penonton yang menyaksikan pementasan Legong
Lanang yang dibawakan Sanggar Balerung Srinetrya Waditra, Desa Peliatan,
Kabupaten Gianyar. Para penari pria menjadi berparas ayu dengan riasan
yang begitu apik, alis tebal, perona mata padu padan warna ungu, merah
dan sedikit kuning, lengkap dengan pemerah pipi dan lipstik di bibir.
Layaknya penari perempuan, dengan senyum tipis dengan
seledetan (lirikan mata) disertai agem (gerakan tari) yang pas, semakin
membuai penonton di ajang Pesta Kesenian Bali ke-39 itu. Mata pun
menjadi seakan enggan berkedip menyaksikan gemulai gerak tari penari
Legong Lanang.
Pimpinan Sanggar Balerung Mandera Srinetrya Waditra, Anak
Agung Gde Oka Dalem mengatakan, Desa Peliatan selama ini memang sudah
terkenal dengan palegongannya. Legong yang awalnya muncul di Sukawati,
Gianyar, sekitar awal abad ke-19, kemudian berkembang ke daerah Peliatan
untuk menjadi hiburan raja-raja. Saat itu, Legong memang biasa
ditarikan oleh "pragina muani" karena kesenian klasik ini sangat erat
kaitannya dengan Pegambuhan yang dibawakan oleh kaum pria.
"Untuk Palegongan, di Peliatan ada ciri khas tersendiri, baik
dari sisi tetabuhan maupun pakemnya yang masih utuh dan dimainkan secara
lengkap. Kalau yang sering kita lihat adalah Legong kreasi, namun tetap
memakai gaya Peliatan, di samping dari tata busana sudah ada
perubahan," ucapnya yang memerankan Legong Lasem dalam pementasan itu.
Legong mulai ditarikan oleh penari perempuan, setelah adanya
misi kesenian dari Peliatan ke Paris pada 1931 silam. Oleh karena tari
Legong kesannya lembut, sehingga kaum hawa saat itu dinilai dapat pula
menarikannya dengan baik. Semenjak itu pula kemasyuran tari Legong
merebak ke mancanegara menjadi salah satu jenis tari Bali yang paling
elok.
"Palegongan di Peliatan pun terus berkembang dan tidak pernah
putus hingga saat ini," tutur Oka Dalem seraya tidak memungkiri akhirnya
Legong kemudian mendapat dominasi kaum hawa untuk setiap pementasannya.
Sanggarnya semenjak beberapa tahun terakhir tidak hanya
melibatkan penari laki-laki untuk membawakan Legong, namun juga berupaya
mengemas unsur-unsur sejarah dalam lakon legong yang dibawakan.
Pihaknya telah menciptakan Legong dengan lakon Jayapangus, Legong
Indramaya, dan Legong Prabu Bedahulu.
"Jadi, kami harapkan generasi muda, khususnya yang laki-laki
jangan takut untuk menari Legong dan tidak tabu untuk menarikan, karena
memang sejarahnya berawal dari penari laki-laki. Kalau mereka bisa
menarikan dengan baik, sama halnya dengan penari wanita juga boleh
membawakan tari Baris. Setiap orang tentu mempunyai rasa seni, baik itu
laki-laki maupun perempuan," kata Oka Dalem.
Menurut dia, tari Bali sendiri juga bisa dibagi tiga yakni
tari laki-laki, tari bebancihan, dan tari perempuan. Baginya, seorang
seniman akan menjadi lengkap kemampuannya kalau bisa menarikan ketiga
jenis tari itu. "Jadi, bukan berarti yang menari bebancihan itu lantas
orangnya banci jika dikaitkan dalam konteks kehidupan sehari-hari,
demikian juga ketika seniman laki-laki membawakan tari perempuan," kata
Oka Dalem.
Membawakan tari Legong ini juga bukan perkara mudah. Gede
Wahyudi, salah satu penari Legong mengatakan mesti banyak latihan untuk
melakukan perpindahan agem tari Legong. "Kalau mau maksimal, ya harus
latihan yang rutin," ujarnya.
Meskipun dirinya sedang mengenyam pendidikan jurusan tari di
ISI Denpasar, diakui tidak lantas membuatnya dapat menyesuaikan dengan
mudah tari Legong itu. Apalagi Gede Wahyudi mengaku biasa membawakan
tari laki-laki seperti tari Baris dan Kebyar Duduk.
Legong Nandira Indra Maya
Pada Pesta Kesenian Bali ke-39 ini, Sanggar Balerung Mandera
Srinetrya Waditra membawakan dua jenis tari Legong yakni Legong Lasem
Lanang dan Legong Lanang Nandira Indra Maya. Legong Lasem menjadi
pembuka pementasan yang dibawakan oleh tiga penari, selanjutnya diisi
tari Kebyar Terompong dan Kebyar Duduk, barulah di penghujung acara
ditampilkan Legong Indra Maya.
Cerita Legong Lasem diambil dari kisah cinta Prabu Lasem dan
Putri Rangkesari dari Kerajaan Daha sekitar abad ke-12 hingga 13.
Selanjutnya dari kisah cinta itu berakhir sampai terjadi peperangan
antara Prabu Lasem dengan Prabu Kahuripan hingga munculnya burung
Garuda.
Sementara Legong Lanang Nandira Indra Maya menceritakan
tentang peperangan Dewa Indra dengan Mayadenawa, hingga akhirnya
Mayadenawa dapat dibunuh di suatu ladang di dekat Banjar Saraseda,
Gianyar dan darahnya mengalir membentuk sebuah sungai yang disebut Tukad
(sungai) Petanu.
"Dari kisah tersebut, dapat dimaknai bahwa air bisa menjadi
bencana jika tidak dijaga dengan baik. Air sungai dalam kisah tersebut
menjadi tercemar karena sifat dari Mayadenawa yang kasar dan dalam
konteks kekinian dikaitkan dengan pencemaran limbah serta sampah.
Sedangkan air sangat penting artinya jika digunakan untuk tujuan mulia,"
ujar Oka Dalem.
Pihaknya sengaja mengangkat lakon Indra Maya tersebut,
sekaligus dikaitkan dengan tema PKB tahun ini yakni Ulun Danu, Air
sebagai Sumber Kehidupan. Lewat lakon ini juga diangkat sejarah
terjadinya daerah Pejeng, Blusung, Manukaya, Tampaksiring, dan Tirta
Empul yang kesemuanya berada di aliran Sungai Petanu, Gianyar. "Kami
ingin menambah wawasan generasi muda bahwa sejarah juga bisa dikemas
dalam garapan tari, khususnya Palegongan," tuturnya. (*/adt)
Mengenal Sejarah Bali lewat Legong Lanang
Kamis, 29 Juni 2017 13:40 WIB