Denpasar (Antara Bali) - Sawah, lahan terbuka hijau di sela-sela bangunan hotel atau gedung-gedung bertingkat di daerah tujuan wisata Pulau Bali, selama ini sulit dipertahankan oleh pemiliknya yang tetap menggeluti usaha sebagai petani.
Lahan sawah di tempat-tempat strategis itu tetap dikena pajak bumi dan bangunan (PBB) yang nilainya disesuaikan dengan bangunan hotel atau usaha yang ada di sekitarnya, meski lahan itu tetap difungsikan untuk budi daya pertanian.
Kondisi demikian menyebabkan alih fungsi lahan pertanian di Bali sulit dihindari, meskipun UNESCO telah menetapkan subak, daerah irigasi pertanian tradisional, khususnya di kawasan Jatiluwih Catur Angga Batukaru, Pura Taman Ayun, Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan dan Pura Ulundanu Batur, sebagai satu kesatuan menjadi warisan budaya dunia (WBD).
Atas kondisi demikian Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta merencanakan penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di pusat pengembangan pariwisata Pulau Dewata dengan harapan dapat meringankan beban masyarakat, khususnya petani.
Pemkab dan Pemkot dalam era otonomi daerah sekarang ini sangat memungkinkan untuk menggratiskan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, sebagai salah satu terobosan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan.
Hal itu menurut Bupati Nyoman Giri Prasta, petani yang akan digratiskan tidak membayar PBB telah diatur dalam Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Bupati yang berpasangan dengan Wakilnya Ketut Suiasa untuk periode 2016-2021 itu menegaskan rencana menggratiskan pembayaran PBB hanya khusus untuk warga asli Kabupaten Badung yang lahannya belum dikomersialkan.
Sedangkan, tanah milik orang luar atau investor tetap wajib membayar PBB sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kabupaten Badung sebagai pusat pengembangan pariwisata di Bali memang memiliki lahan-lahan pertanian, khususnya di kawasan Kuta yang sebagian besar telah beralih fungsi.
Sosok Bupati Badung yang merakyat itu mengaku sedang melakukan kajian untuk pematangan rencana menggratiskan para petani dan nelayan dari kewajiban membayar PBB yang lahannya tidak dikomersialkan.
"Kami masih meminta pertimbangan hukum ke instansi terkait agar penghapusan PBB nanti tidak menjadi masalah dikemudian hari," kata mantan Ketua DPRD Badung itu.
Pria asal Pelaga, Petang itu berharap kajian yang sedang dilakukan dapat rampung setelah umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1939.
Terobosan berani itu agar masyarakat Badung tidak lagi menjual lahan pertanian dengan alasan tidak mampu membayar PBB. Selain terobosan yang dilakukan untuk menyejahterakan petani dan nelayan, juga membuat program yang pro rakyat, terutama dalam memberikan santunan kepada penunggu pasien yang keluarganya sakit di kamar rawat inap kelas tiga.
Beri Apresiasi
Ketua Pusat Penelitian (Puslit) Subak, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Windia, MS memberi apresiasi terhadap langkah dan terobosan Bupati Nyoman Giri Prasta yang berencana memberi subsidi penuh kepada masyarakat dalam membayar PBB.
Upaya itu dinilai tepat, karena petani dan nelayan selama ini merupakan komunitas yang dianggap sebagai kerak kemiskinan di Bali yang perlu mendapat perhatian dan penanganan dari berbagai pihak.
Pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949 atau 68 tahun silam itu menilai, upaya yang akan ditempuh Pemkab Badung dengan menggratiskan pembayaran PBB bagi petani merupakan langkah non-konvensional dalam mengentaskan kemiskinan.
Upaya itu mampu mengurangi beban biaya petani, karena subsidi pajak PBB itu akan diberikan secara penuh. "Hal itu akan sangat membantu karena biaya PBB selama ini mencekik leher petani" ujar putra dari almarhum Made Sanggra, anggota veteran pejuang yang juga sastrawan Bali modern.
Sebelumnya dengan adanya pembayaran pajak PBB yang "mencekik leher" sangat berat dalam meningkatkan pendapatan petani dari kegiatan usaha tani.
Untuk itu, langkah Bupati Badung Giri Prasta yang akan menggratiskan pembayaran PBB sesuai dengan butir-butir program rencana pembangunan semesta berencana (RPSB) yang kini sedang diintensifkan pelaksanaannya.
"Saya harapkan Pemerintah Provinsi Bali dapat membangun sinergi dengan delapan kabupaten dan satu kota untuk juga kelak membebaskan sawah petani dari PBB (pajak)," kata mantan anggota DPR-RI pada era orde baru itu.
Ayah dua putra putri itu mengritik sistem pajak PBB yang mendasarkan nilai asetnya atau berdasarkan lokasi asetnya. Jika pemerintah memang memihak kepada petani, maka pajak petani seharusnya berdasarkan produksi asetnya, bukan berdasarkan lokasi aset.
Untuk itu, ia mengharapkan Bali dapat memelopori perubahan terhadap UU tentang PBB tersebut. "Sawah harus gratis dari pajak seperti yang akan dilakukan Pemkab Badung, karena fungsi sawah sangat multi (multi-manfaat)," katanya.
UU pajak PBB itulah yang menyebabkan banyaknya alih fungsi lahan sawah di Bali, khususnya di kawasan strategis. Percuma ada UU tentang perlindungan sawah, kalau sawah masih dikenai pajak (PBB).
Selain itu mengusulkan agar semua hibah yang diberikan kepada Subak berdasarkan pada luas areal Subak bersangkutan. "Jangan sama rata, seperti kebijakan sekarang ini.
Dengan demikian, Subak yang melakukan alih fungsi lahan sawah akan mendapatkan hukuman, sedangkan Subak yang mampu menahan alih fungsi lahan sawah mendapatkan imbalan (hadiah).
Konsep tersebut sebenarnya sudah pernah diusulkan kepada Gubernur Bali. Pada dasarnya, Gubernur sudah menyetujui, kemudian Gubernur meminta Kepala Dinas Kebudayaan tidak lagi melakukan kajian, tapi langsung melaksanakannya.
"Masalahnya, hingga saat ini, Kadis Kebudayaan Provinsi Bali tidak merealisasikannya," katanya. (WDY)