Denpasar (Antara Bali) - Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) mengimbau desa adat di Bali untuk membuat peraturan yang mengawasi peredaran minuman keras oplosan karena pengaruhnya saat ini mengkhawatirkan terlebih menjelang momen akhir tahun.
"Masih banyak desa pakraman yang belum memasukkan ini (aturan pengawasan miras oplosan) ke dalam `awig-awig` (aturan desa adat). Desa pakraman masih berorientasi seperti dulu misalnya terkait adat, budaya dan agama tetapi sekarang kemasyarakatan juga harus diawasi," kata Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, Jero Gede Putu Suwena Upadesha ditemui dalam lokakarya "generasi muda bebas dari miras oplosan" di Denpasar, Selasa.
Pihaknya telah memberikan imbauan kepada "prajuru" atau pengurus desa pakraman untuk memperhatikan hal tersebut mengingat sebagian besar korban miras oplosan ditemukan di daerah perdesan.
Ia juga meminta pengurus di desa adat untuk optimal bekerja sama dengan aparat terkait seperti Babinkamtibmas dan Babinsa serta tokoh masyarakat untuk bersama mengawasi miras oplosan.
Upadesha menyontohkan Desa Adat Muncan di Kabupaten Karangasem telah mengakomodir pengawasan tersebut dalam "perarem" atau keputusan rapat adat sehingga aparat desa pakraman juga bisa melakukan pengawasan.
Dalam perarem itu disebutkan bahwa penjual dilarang menjual minuman beralkohol tanpa rekomendasi dan izin dari desa pakraman.
"Jika ada izin nanti ada pengawasan termasuk juga orang yang datang dan yang menjual di awasi," ucapnya.
Upadesha menjelaskan bahwa sejatinya minuman tradisional seperti tuak, arak dan "berem" atau arak merah digunakan sebagai keperluan upacara.
Namun minuman tradisional yang sejatinya aman bagi masyarakat itu disalahgunakan mencampurnya dengan zat kimia berbahaya.
Dalam lokakarya yang digelar Liam Charitable Fund, Center for Public Health Innovation (CPHI) dan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana tersebut juga disebutkan bahwa korban arak oplosan yang dicampur oplosan sudah banyak berjatuhan.
Tahun 2012 sedikitnya 36 orang dilarikan ke RSUP Sanglah karena keracunan arak metanol dan dua orang dilaporkan meninggal dunia.
Delapan orang dilaporkan mengalami gagal ginjal danm menjalani cuci darah.
Tahun 2014, tiga orang meninggal dunia dan 55 orang lainnya dilaporkan mengalami keracunan arak metanol.
Tidak hanya orang lokal, turis mancanegara juga ikut menjadi korban arak metanol. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Masih banyak desa pakraman yang belum memasukkan ini (aturan pengawasan miras oplosan) ke dalam `awig-awig` (aturan desa adat). Desa pakraman masih berorientasi seperti dulu misalnya terkait adat, budaya dan agama tetapi sekarang kemasyarakatan juga harus diawasi," kata Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, Jero Gede Putu Suwena Upadesha ditemui dalam lokakarya "generasi muda bebas dari miras oplosan" di Denpasar, Selasa.
Pihaknya telah memberikan imbauan kepada "prajuru" atau pengurus desa pakraman untuk memperhatikan hal tersebut mengingat sebagian besar korban miras oplosan ditemukan di daerah perdesan.
Ia juga meminta pengurus di desa adat untuk optimal bekerja sama dengan aparat terkait seperti Babinkamtibmas dan Babinsa serta tokoh masyarakat untuk bersama mengawasi miras oplosan.
Upadesha menyontohkan Desa Adat Muncan di Kabupaten Karangasem telah mengakomodir pengawasan tersebut dalam "perarem" atau keputusan rapat adat sehingga aparat desa pakraman juga bisa melakukan pengawasan.
Dalam perarem itu disebutkan bahwa penjual dilarang menjual minuman beralkohol tanpa rekomendasi dan izin dari desa pakraman.
"Jika ada izin nanti ada pengawasan termasuk juga orang yang datang dan yang menjual di awasi," ucapnya.
Upadesha menjelaskan bahwa sejatinya minuman tradisional seperti tuak, arak dan "berem" atau arak merah digunakan sebagai keperluan upacara.
Namun minuman tradisional yang sejatinya aman bagi masyarakat itu disalahgunakan mencampurnya dengan zat kimia berbahaya.
Dalam lokakarya yang digelar Liam Charitable Fund, Center for Public Health Innovation (CPHI) dan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana tersebut juga disebutkan bahwa korban arak oplosan yang dicampur oplosan sudah banyak berjatuhan.
Tahun 2012 sedikitnya 36 orang dilarikan ke RSUP Sanglah karena keracunan arak metanol dan dua orang dilaporkan meninggal dunia.
Delapan orang dilaporkan mengalami gagal ginjal danm menjalani cuci darah.
Tahun 2014, tiga orang meninggal dunia dan 55 orang lainnya dilaporkan mengalami keracunan arak metanol.
Tidak hanya orang lokal, turis mancanegara juga ikut menjadi korban arak metanol. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016