Dr dr Tri Maharani, seorang dokter spesialis biomedik, memilih pengabdiannya di bidang "management snake bite".
"Masyarakat banyak yang salah kaprah dalam menangani kasus gigitan ular, dan sayangnya pengetahuan tersebut diperoleh dari film-film cerita yang tidak didasari ilmu pengetahuan yang benar," ujar perempuan kelahiran Kediri, Jawa Timur itu dengan nada sesal.
Penanganan situasi gawat darurat yang benar bisa menyelamatkan orang, tetapi kekeliruannya bisa berakibat mematikan, mengingat beberapa bisa ular yang sangat keras dapat mencabut nyawa hanya dalam hitungan menit.
Ketertarikan pada penanganan kasus gigitan ular menjadi semakin kuat setelah dr Maharani mendalami bidang ini, yang kemudian membuatnya semakin masuk menyelami ilmu tentang ular dan cara mengatasi gigitannya.
Bekal pengetahuan dan pengalamannya mendapat pengakuan di dalam negeri dan internasional antara lain dia menjadi pembicara pada konferensi tingkat ASEAN di Kuala Lumpur pada 2012 dan menjadi penasihat tentang ular dan satwa laut beracun di ASEAN, bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjuknya sebagai penasihat tentang gigitan ular di Asia Tenggara (Advisor Temporary of Snake Bites).
Saat ini, Maharani menjabat sebagai kepala Instalasi Gawat Darurat di RS Dungus, Madiun di Jawa Timur, tetapi gerak langkahnya amat lincah menjelajah berbagai kota di Indonesia dari Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Papua untuk berbicara tentang penanganan gigitan ular dan hewan beracun lainnya.
Kerap kali kegiatan itu dilakukan dengan biaya perjalanan sendiri, karena kepeduliannya yang tinggi untuk keselamatan manusia maupun satwa-satwa beracun itu.
"Ular sebenarnya tidak mengganggu dan juga takut sama manusia, tetapi orang yang panik ketika bertemu ular biasanya langsung membunuhnya," ungkap perempuan yang murah senyum itu.
Ia menganjurkan masyarakat agar tidak panik, tetapi tetap waspada dan ular biasanya juga akan segera pergi.
"Ular menyerang untuk membela diri dan bila terkejut."
Menurutnya, kasus gigitan ular banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia termasuk yang membawa akibat kematian, namun musibah ini tidak mendapat perhatian karena seringkali kejadiannya tidak dilaporkan sehingga tidak ada data yang akurat mengenai musibah akibat gigitan ular.
"Keluarga korban biasanya pasrah dan menganggapnya sebagai musibah," ucapnya.
Menurut catatannya, di kawasan Banten diperkirakan dalam satu bulan rata-rata terdapat 10-15 kasus gigitan ular, sedangkan antara Maret 2015 hingga April 2016 tercatat 176 kasus gigitan ular yang dilaporkan di Bondowoso, Jawa Timur, kota tempat dr Maharani pernah menjalani pengabdiannya sebagai dokter pada awal karirnya.
Data tersebut berasal dari satu rumah sakit dan yang korbannya dikirim ke rumah sakit saja, sehingga kemungkinan jumlah sesungguhnya lebih besar lagi. Kebanyakan korban adalah petani peladang dan nelayan.
Banyak pula kejadian yang korbannya masih sempat dibawa ke puskesmas atau rumah sakit, tetapi tidak tertolong karena jumlah persediaan serum anti-bisa ular (Sabu) juga terbatas dan hanya dapat digunakan untuk jenis ular tertentu.
Jenis ular di Indonesia ada banyak dan bisanya juga berbeda-beda sehingga satu jenis serum tidak bisa dipakai untuk menyembuhkan gigitan ular dari jenis yang lain.
"Untuk mengatasi kelangkaan sabu tersebut saya mengandeng komunitas pecinta ular guna meminta bisa ular guna dijadikan sebagai serum anti-bisa," tegasnya.
Menolong orang
Menjadi dokter adalah impiannya sejak kecil, karena terdorong oleh keinginannya untuk menolong sesama.
"Ayah saya tentara yang pangkatnya tidak tinggi, sehingga saya sangat bersyukur bisa menyelesaikan pendidikan kedokteran dari Universitas Brawijaya, Malang," ujarnya mengenang perjalanan karirnya.
Maharani adalah sosok yang selalu ingin tahu, sehingga dia memutuskan untuk bersekolah lagi mengambil master (S2) di bidang imunologi dari Universitas Airlangga di Surabaya dan dalam waktu bersamaan ia juga mengambil spesialis "emergency medecine" di Universitas Brawijaya dan secara bersamaan juga mengambil doktoral biomedic.
"Kalau diingat-ingat saya nekat juga kuliah dua spesialis dan doktoral berbarengan," kantanya dengan tawa berderai.
Sebagai dokter spesialis kegawat daruratan, Maharani juga sering diminta oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk mengisi pelatihan bagi para petugas lapangan.
Selain memberi ceramah berkeliling, Maharani juga memanfaatkan jaringan telepon untuk memberi konsultasi tentang penanganan gigitan ular.
"Dulu banyak yang mencemooh, tetapi sekarang mulai ada beberapa dokter yang menghubungi saya untuk berkonsultasi, tentu saja saya senang karena semakin banyak dokter yang peduli maka semakin banyak orang yang akan tertolong dari gigitan ular," ujarnya.
Memanfaatkan jaringan telepon untuk konsultasi masalah kegawatdaruratan khususnya mengenai kasus gigitan ular merupakan harapan yang diimpikannya untuk menyelamatkan banyak orang.
Menurutnya banyak cara mudah yang bisa dilakukan untuk menghindari gigitan ular, misalnya, bagaimana harus bersikap ketika mendadak bertemu dengan ular, mengamankan rumah tinggal dari kemungkinan dikunjungi ular serta memberi pertolongan pada korban.
"Tidur memakai kelambu adalah salah satu cara untuk menghindari ular menyusup ke tempat tidur karena ular tidak akan bisa melata di kelambu," imbuhnya.
Masyarakat masih banyak yang percaya bahwa menaburkan garam di sekeliling rumah atau memasang tali ijuk bisa mencegah ular masuk, tetapi itu semua tidak benar, tegasnya.
Ular adalah hewan yang suka berada di tempat lembab, di balik tumpukan kayu dan semak-semak, untuk menghindarinya maka halaman rumah harus dijaga agar tidak disukai oleh ular.
"Para nelayan paling banyak digigit ular yang terjaring bersama ikan, karena mereka sering menarik ular dengan tangan kosong. Sebaiknya nelayan selalu membawa capit untuk membebaskan ular dari jaring," katanya membagikan ilmu.
Bila berceramah, Maharani sering memberikan demonstrasi cara melakukan pertolongan pertama yaitu dengan membebat luka dan sesedikit mungkin menggerakkan tangan atau kaki korban yang terkena gigitan agar aliran darah tidak cepat bergerak naik.
"Acapkali orang meniru tindakan di film-film fiksi yaitu mengisap darah untuk mengeluarkan bisa, padahal cara itu justru mempercepat aliran darah ke otak dan jantung," tuturnya.
"Saya tidak akan berhenti berkeliling menyebarkan pengetahuan karena masih banyak orang yang memerlukannya," kata Maharani yang siap diundang kemana saja untuk berbagi secara gratis.
"Ini sudah janji saya, termasuk mamakai separuh dari gaji untuk membiayai perjalanan ke luar kota," katanya dengan tawa lebar yang khas.
Sepertinya tiada akhir pekan yang kosong untuk bersantai karena bila ditengok pada akun facebook-nya, terlihat betapa padatnya kegiatan perempuan lajang ini dalam membagi pengetahuan dan ilmunya.
Maka, bila ada pertanyaan mengenai cara mengatasi gigitan ular, pada Dr dr Tri Maharani-lah bisa disampaikan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Masyarakat banyak yang salah kaprah dalam menangani kasus gigitan ular, dan sayangnya pengetahuan tersebut diperoleh dari film-film cerita yang tidak didasari ilmu pengetahuan yang benar," ujar perempuan kelahiran Kediri, Jawa Timur itu dengan nada sesal.
Penanganan situasi gawat darurat yang benar bisa menyelamatkan orang, tetapi kekeliruannya bisa berakibat mematikan, mengingat beberapa bisa ular yang sangat keras dapat mencabut nyawa hanya dalam hitungan menit.
Ketertarikan pada penanganan kasus gigitan ular menjadi semakin kuat setelah dr Maharani mendalami bidang ini, yang kemudian membuatnya semakin masuk menyelami ilmu tentang ular dan cara mengatasi gigitannya.
Bekal pengetahuan dan pengalamannya mendapat pengakuan di dalam negeri dan internasional antara lain dia menjadi pembicara pada konferensi tingkat ASEAN di Kuala Lumpur pada 2012 dan menjadi penasihat tentang ular dan satwa laut beracun di ASEAN, bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjuknya sebagai penasihat tentang gigitan ular di Asia Tenggara (Advisor Temporary of Snake Bites).
Saat ini, Maharani menjabat sebagai kepala Instalasi Gawat Darurat di RS Dungus, Madiun di Jawa Timur, tetapi gerak langkahnya amat lincah menjelajah berbagai kota di Indonesia dari Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Papua untuk berbicara tentang penanganan gigitan ular dan hewan beracun lainnya.
Kerap kali kegiatan itu dilakukan dengan biaya perjalanan sendiri, karena kepeduliannya yang tinggi untuk keselamatan manusia maupun satwa-satwa beracun itu.
"Ular sebenarnya tidak mengganggu dan juga takut sama manusia, tetapi orang yang panik ketika bertemu ular biasanya langsung membunuhnya," ungkap perempuan yang murah senyum itu.
Ia menganjurkan masyarakat agar tidak panik, tetapi tetap waspada dan ular biasanya juga akan segera pergi.
"Ular menyerang untuk membela diri dan bila terkejut."
Menurutnya, kasus gigitan ular banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia termasuk yang membawa akibat kematian, namun musibah ini tidak mendapat perhatian karena seringkali kejadiannya tidak dilaporkan sehingga tidak ada data yang akurat mengenai musibah akibat gigitan ular.
"Keluarga korban biasanya pasrah dan menganggapnya sebagai musibah," ucapnya.
Menurut catatannya, di kawasan Banten diperkirakan dalam satu bulan rata-rata terdapat 10-15 kasus gigitan ular, sedangkan antara Maret 2015 hingga April 2016 tercatat 176 kasus gigitan ular yang dilaporkan di Bondowoso, Jawa Timur, kota tempat dr Maharani pernah menjalani pengabdiannya sebagai dokter pada awal karirnya.
Data tersebut berasal dari satu rumah sakit dan yang korbannya dikirim ke rumah sakit saja, sehingga kemungkinan jumlah sesungguhnya lebih besar lagi. Kebanyakan korban adalah petani peladang dan nelayan.
Banyak pula kejadian yang korbannya masih sempat dibawa ke puskesmas atau rumah sakit, tetapi tidak tertolong karena jumlah persediaan serum anti-bisa ular (Sabu) juga terbatas dan hanya dapat digunakan untuk jenis ular tertentu.
Jenis ular di Indonesia ada banyak dan bisanya juga berbeda-beda sehingga satu jenis serum tidak bisa dipakai untuk menyembuhkan gigitan ular dari jenis yang lain.
"Untuk mengatasi kelangkaan sabu tersebut saya mengandeng komunitas pecinta ular guna meminta bisa ular guna dijadikan sebagai serum anti-bisa," tegasnya.
Menolong orang
Menjadi dokter adalah impiannya sejak kecil, karena terdorong oleh keinginannya untuk menolong sesama.
"Ayah saya tentara yang pangkatnya tidak tinggi, sehingga saya sangat bersyukur bisa menyelesaikan pendidikan kedokteran dari Universitas Brawijaya, Malang," ujarnya mengenang perjalanan karirnya.
Maharani adalah sosok yang selalu ingin tahu, sehingga dia memutuskan untuk bersekolah lagi mengambil master (S2) di bidang imunologi dari Universitas Airlangga di Surabaya dan dalam waktu bersamaan ia juga mengambil spesialis "emergency medecine" di Universitas Brawijaya dan secara bersamaan juga mengambil doktoral biomedic.
"Kalau diingat-ingat saya nekat juga kuliah dua spesialis dan doktoral berbarengan," kantanya dengan tawa berderai.
Sebagai dokter spesialis kegawat daruratan, Maharani juga sering diminta oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk mengisi pelatihan bagi para petugas lapangan.
Selain memberi ceramah berkeliling, Maharani juga memanfaatkan jaringan telepon untuk memberi konsultasi tentang penanganan gigitan ular.
"Dulu banyak yang mencemooh, tetapi sekarang mulai ada beberapa dokter yang menghubungi saya untuk berkonsultasi, tentu saja saya senang karena semakin banyak dokter yang peduli maka semakin banyak orang yang akan tertolong dari gigitan ular," ujarnya.
Memanfaatkan jaringan telepon untuk konsultasi masalah kegawatdaruratan khususnya mengenai kasus gigitan ular merupakan harapan yang diimpikannya untuk menyelamatkan banyak orang.
Menurutnya banyak cara mudah yang bisa dilakukan untuk menghindari gigitan ular, misalnya, bagaimana harus bersikap ketika mendadak bertemu dengan ular, mengamankan rumah tinggal dari kemungkinan dikunjungi ular serta memberi pertolongan pada korban.
"Tidur memakai kelambu adalah salah satu cara untuk menghindari ular menyusup ke tempat tidur karena ular tidak akan bisa melata di kelambu," imbuhnya.
Masyarakat masih banyak yang percaya bahwa menaburkan garam di sekeliling rumah atau memasang tali ijuk bisa mencegah ular masuk, tetapi itu semua tidak benar, tegasnya.
Ular adalah hewan yang suka berada di tempat lembab, di balik tumpukan kayu dan semak-semak, untuk menghindarinya maka halaman rumah harus dijaga agar tidak disukai oleh ular.
"Para nelayan paling banyak digigit ular yang terjaring bersama ikan, karena mereka sering menarik ular dengan tangan kosong. Sebaiknya nelayan selalu membawa capit untuk membebaskan ular dari jaring," katanya membagikan ilmu.
Bila berceramah, Maharani sering memberikan demonstrasi cara melakukan pertolongan pertama yaitu dengan membebat luka dan sesedikit mungkin menggerakkan tangan atau kaki korban yang terkena gigitan agar aliran darah tidak cepat bergerak naik.
"Acapkali orang meniru tindakan di film-film fiksi yaitu mengisap darah untuk mengeluarkan bisa, padahal cara itu justru mempercepat aliran darah ke otak dan jantung," tuturnya.
"Saya tidak akan berhenti berkeliling menyebarkan pengetahuan karena masih banyak orang yang memerlukannya," kata Maharani yang siap diundang kemana saja untuk berbagi secara gratis.
"Ini sudah janji saya, termasuk mamakai separuh dari gaji untuk membiayai perjalanan ke luar kota," katanya dengan tawa lebar yang khas.
Sepertinya tiada akhir pekan yang kosong untuk bersantai karena bila ditengok pada akun facebook-nya, terlihat betapa padatnya kegiatan perempuan lajang ini dalam membagi pengetahuan dan ilmunya.
Maka, bila ada pertanyaan mengenai cara mengatasi gigitan ular, pada Dr dr Tri Maharani-lah bisa disampaikan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016