Semarang (Antara Bali) - Praktisi hukum Theodorus Yosep Parera
menilai masyarakat yang memberikan sejumlah uang yang masuk kategori
pungutan liar (pungli) kepada aparat negara tidak bisa dijerat secara
pidana.
Hal itu disampaikan Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kota Semarang tersebut di Semarang, Senin, menanggapi pemasangan spanduk imbauan yang berisi "Pemberi dan Penerima Pungli Bisa Dipidana" di berbagai tempat.
"Aturan soal pungli sebenarnya sudah diatur dalam Undang-undang Tipikor," ucapnya.
Menurut dia, aturan tentang pungli terdapat pada Pasal 12 huruf e Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Yosep mengutip pasal 12 huruf e, "Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri".
Ia menilai dari penjelasan pasal 12 tersebut diketahui jika pungli berbeda dengan suap.
Menurut dia, dalam pungli masyarakat yang memberikan uang berada dalam keadaan terpaksa karena memerlukan sesuatu yang harus segera diperolehnya.
Adapun dalam suap, ada kesepakatan antara pemberi dan penerima. "Berbeda lagi dengan gratifikasi aturannya," ujarnya, menegaskan.
Oleh karena itu, ia menyarankan spanduk imbauan semacam itu dipertimbangkan kembali. Sementara masyarakat yang mengalami pungli dipersilakan untuk melapor dengan bukti yang lengkap.
Menurut dia, jangan sampai jadi laporan palsu yang justru akan menyebabkan berurusan dengan hukum. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Hal itu disampaikan Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kota Semarang tersebut di Semarang, Senin, menanggapi pemasangan spanduk imbauan yang berisi "Pemberi dan Penerima Pungli Bisa Dipidana" di berbagai tempat.
"Aturan soal pungli sebenarnya sudah diatur dalam Undang-undang Tipikor," ucapnya.
Menurut dia, aturan tentang pungli terdapat pada Pasal 12 huruf e Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Yosep mengutip pasal 12 huruf e, "Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri".
Ia menilai dari penjelasan pasal 12 tersebut diketahui jika pungli berbeda dengan suap.
Menurut dia, dalam pungli masyarakat yang memberikan uang berada dalam keadaan terpaksa karena memerlukan sesuatu yang harus segera diperolehnya.
Adapun dalam suap, ada kesepakatan antara pemberi dan penerima. "Berbeda lagi dengan gratifikasi aturannya," ujarnya, menegaskan.
Oleh karena itu, ia menyarankan spanduk imbauan semacam itu dipertimbangkan kembali. Sementara masyarakat yang mengalami pungli dipersilakan untuk melapor dengan bukti yang lengkap.
Menurut dia, jangan sampai jadi laporan palsu yang justru akan menyebabkan berurusan dengan hukum. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016