Negara (Antara Bali) -Perkembangan jumlah Sekaa Jegog sebagai kesenian khas Jembrana belakangan ini mengalami peningkatan. Dari sisi penabuh diyakini jumlahnya semakin meningkat. Pasalnya penabuh gambelan jegog sudah bisa dilakukan mulai dari anak-anak, remaja termasuk dewasa. Sehingga dari penabuh itu menjadi salah faktor tetap lestarinya kesenian jegog di Jembrana. Akan tetapi yang nyaris terlupakan adalah pembuat gambelan jegog itu sendiri. Meskipun penabuh jegog sudah cukup banyak, namun jika pembuatnya tidak ada, kelestarian kesenian jegog dikhawatirkan akan cepat punah.
 
Tidak ingin hal itu terjadi Wakil Bupati Jembrana I Made Kembang Hartawan melakukan langkah progresif untuk memberdayakan pembuat gambelan jegog. Upaya ini sebagai bentuk implementasi dari Program Pembangunan Semestas Berencana khususnya dalam bidang pengembangan dan pelestarian seni budaya. Rabu (5/9) pagi Wabup Kembang mengunjungi rumah I Ketut Darma di Banjar Pangkung Liplip Desa Kaliakah Kecamatan Negara. Dalam kunjungan tersebut terungkap, Ketut Darma yang akrab disapa Damok mengungkapkan perjalanannya sebagai pembuat jegog.

Pada awalnya ia diajak ayahnya yang juga pembuat jegog untuk membantu membuat jegog di Petapan Pesidi Desa Tegalcangkring, Kecamatan Mendoyo sekitar tahun 1970an.

Dari membantu ayahnya itu, Damok diberi kesempatan untuk membuat bilah-bilang gambelan jegog yang terbuat dari bambu. Lama-lama ia pun bisa membuat gambelan jegog hingga sekarang.
 
Pria kelahiran 1945 ini mengungkapkan saat ini ada empat sanggar jegog yang ia tangani, salah satunya Sanggar Sukarya di Kelurahan Tegalcangkring, Mendoyo yang kini membuka cabang di Jakarta. Bahkan Damok mengaku ia juga menangani jegog yang ada di Ubud Gianyar.

Ketika jegog-jegog tersebut mengalami kerusakan. Dialah yang dipanggil untuk memperbaikinya. Selain itu keahliannya membuat jegog memicu sejumlah sekaa maupun desa memesan jegog buatan Damok.

Dalam pembuatan jegog selain membuat di rumah, Damok justru lebih sering datang ke lokasi pemesan dan ia mengajak anaknya Ketut Madiasa (40) untuk membantunya.

Ketika ditanya soal harga, Damok enggan menyebutkan nominal lantaran pembuatan jegog yang ia lakukan murni karena kesukaan dan hobby. “Saya tidak bisa menghargai, karena menjalankan hobby dan tidak enak sama pemesan, “ terang Damok.

Meski begitu dari pemesannya sendiri disebutkan harga per satu unit jegog sekitar Rp. 300 ribu. Sedangkan satu setnya yang sudah jadi mencapai Rp. 50 juta.
 
Selain menemui Ketut Darma, Wabup Kembang juga menemui I Wayan Dendra di Banjar Berawantangi Desa Tukadaya, Kecamatan Melaya.

Pria yang kini berusia 70 tahun ini merupakan tukang laras (seting nada) jegog. Menurut penuturannya, ia mengetahui jenis dan kekuatan nada jegog-jegog yang ada di seputar wilayah Kecamatan Melaya. Sehingga ketika ada pementasan jegog yang biasanya diadu untuk ‘mebarung’ (adu kekerasan suara). Dendra dapat me-laras gambelan supaya lebih kuat dank eras dari lawannya. Namun disayangkan, ia sendiri tidak memiliki generasi penerus sebagai tukang laras jegog.
 
Wabup Kembang menyebutkan, dari sisi penabuh tidak perlu dikhawatirkan, tetapi untuk pembuatnya inilah yang perlu dipikirkan dan diberdayakan. Kehadiran Wabup Kembang di rumah pembuat jegog selain untuk memberikan semangat untuk terus berkarya, pihaknya juga ingin melihat langsung kondisi para pembuat jegog. “Ini merupakan langkah untuk mensukseskan program pembangunan semesta berencana dalam bidang seni budaya di Jembrana, dan memastikan pembuat jegog masih ada sekaligus melakukan pendataan jumlah pengerajin jegog, sehingga kedepan kita akan susun program yang tepat untuk mereka, “ jelasnya.

Kembang juga menyayangkan harga yang diberikan untuk pembuat jegog tergolong sangat murah. Padahal seni itu menurutnya sangat mahal.(GBI)

Pewarta: Pewarta: Gembong Ismadi

Editor : Gembong Ismadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016