Denpasar (Antara Bali) - Lima subak abian (kelompok) petani kakao di Kabupaten Tabanan, Bali, memperoleh sertifikat organik dari sebuah lembaga di Bogor karena seluruh proses produksinya menerapkan pola ramah lingkungan.
"Sertifikat organik itu menjadi salah satu persyaratan dalam perdagangan bebas pada eraglobalisasi yang diwarnai dengan persaingan semakin ketat," kata Kabag Publikasi dan Dokumentasi pada Biro Humas dan Protokol Pemprov Bali I Ketut Teneng di Denpasar, Minggu.
Kelima subak abian itu menghimpun 271 petani dengan garapan tanaman kakao seluas 180,9 hektare itu meliputi subak abian Catur Guna, Desa Akah, Kecamatan Selemadeg Barat, beranggotalan 75 petani, dengan lahan garapan seluas 26,65 hektare dengan produksi setiap tahun 19,9 ton.
Demikian pula Subak Abian Pangkung Sakti I menghimpun 70 petani, memiliki lahan 72 hektare dengan produksi 52,3 ton per tahun, Subak Abian Pangkung Sakti II beranggotakan 69 petani menggarap 29 hektare tanaman kakao dengan produksi 29 ton per tahun.
Selain itu juga Subak Abian Buana Mekar Desa Akah, Kecamatan Selemadeg Barat, menghimpun 30 petani dengan lahan seluas 23,3 hektare memperoleh hasil 17,5 ton per tahun dan Aubak Abian Pemaksan Kaja beranggotakan 27 petani memiliki tanaman seluas 18,8 hektare dengan produksi 13,5 ton per tahun.
Ketut Teneng menjelaskan, pemberian sertifikat organik kepada lima kelompok tani kakao itu membutuhkan waktu cukup lama, karena sebelumnya lembaga dari Bogor itu melakukan penelitian dan pengkajian dalam jangka waktu tertentu terhadap seluruh proses yang digeluti petani kakao di Bali.
Kelima subak abian yang meraih sertifikat organik itu dalam proses produksi mulai dari penanaman, pemeliharaan hingga pengolahan hasil dilakukan secara ramah lingkungan, tidak lagi menggunakan pestisida untuk membasmi hama penyakit maupun pupuk anorganik untuk menyuburkan tanaman.
Ke depan diharapkan semakin banyak subak abian tanaman kakao di Bali memperoleh sertifikat organik dari organisasi ataupun lembaga di tingkat nasional dan internasional.
Dengan demikian produksi kakao yang selama ini hanya sebagai matadagangan antarpulau, nantinya bisa menembus pasaran ekspor seperti halnya hasil kopi, vanili dan jambu mete, harap Ketut Teneng.
Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menjadi sasaran gerakan peningkatan mutu dan produksi secara nasional (Gernas) matadagangan kakao.
Menurut Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Bali Ir Made Sudartha MS, Gernas kakao dalam 2010 menjangkau 800 hektare, merupakan kegiatan lanjutan tahun sebelumnya seluas 2.800 hektare, sepenuhnya mendapat dukungan dana dari pemerintah pusat.
Bali merupakan salah satu dari sembilan provinsi di Indonesia yang menjadi sasaran Gernas kakao dalam waktu tiga tahun, 2009-2011. Bali selama tiga tahun itu mempunyai sasaran menggarap lahan seluas 8.000 hektare, namun kini baru terealisasi 1.800 hektare.
Bali kini memiliki tanaman kakao seluas 12.390 hektar, 9.624 hektare diantaranya tanaman produktif dengan menghasilkan 6.800 ton selama 2009 dan diperkitakan meningkat dalam 2010, karena bertambahnya tanaman produktif.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
"Sertifikat organik itu menjadi salah satu persyaratan dalam perdagangan bebas pada eraglobalisasi yang diwarnai dengan persaingan semakin ketat," kata Kabag Publikasi dan Dokumentasi pada Biro Humas dan Protokol Pemprov Bali I Ketut Teneng di Denpasar, Minggu.
Kelima subak abian itu menghimpun 271 petani dengan garapan tanaman kakao seluas 180,9 hektare itu meliputi subak abian Catur Guna, Desa Akah, Kecamatan Selemadeg Barat, beranggotalan 75 petani, dengan lahan garapan seluas 26,65 hektare dengan produksi setiap tahun 19,9 ton.
Demikian pula Subak Abian Pangkung Sakti I menghimpun 70 petani, memiliki lahan 72 hektare dengan produksi 52,3 ton per tahun, Subak Abian Pangkung Sakti II beranggotakan 69 petani menggarap 29 hektare tanaman kakao dengan produksi 29 ton per tahun.
Selain itu juga Subak Abian Buana Mekar Desa Akah, Kecamatan Selemadeg Barat, menghimpun 30 petani dengan lahan seluas 23,3 hektare memperoleh hasil 17,5 ton per tahun dan Aubak Abian Pemaksan Kaja beranggotakan 27 petani memiliki tanaman seluas 18,8 hektare dengan produksi 13,5 ton per tahun.
Ketut Teneng menjelaskan, pemberian sertifikat organik kepada lima kelompok tani kakao itu membutuhkan waktu cukup lama, karena sebelumnya lembaga dari Bogor itu melakukan penelitian dan pengkajian dalam jangka waktu tertentu terhadap seluruh proses yang digeluti petani kakao di Bali.
Kelima subak abian yang meraih sertifikat organik itu dalam proses produksi mulai dari penanaman, pemeliharaan hingga pengolahan hasil dilakukan secara ramah lingkungan, tidak lagi menggunakan pestisida untuk membasmi hama penyakit maupun pupuk anorganik untuk menyuburkan tanaman.
Ke depan diharapkan semakin banyak subak abian tanaman kakao di Bali memperoleh sertifikat organik dari organisasi ataupun lembaga di tingkat nasional dan internasional.
Dengan demikian produksi kakao yang selama ini hanya sebagai matadagangan antarpulau, nantinya bisa menembus pasaran ekspor seperti halnya hasil kopi, vanili dan jambu mete, harap Ketut Teneng.
Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menjadi sasaran gerakan peningkatan mutu dan produksi secara nasional (Gernas) matadagangan kakao.
Menurut Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Bali Ir Made Sudartha MS, Gernas kakao dalam 2010 menjangkau 800 hektare, merupakan kegiatan lanjutan tahun sebelumnya seluas 2.800 hektare, sepenuhnya mendapat dukungan dana dari pemerintah pusat.
Bali merupakan salah satu dari sembilan provinsi di Indonesia yang menjadi sasaran Gernas kakao dalam waktu tiga tahun, 2009-2011. Bali selama tiga tahun itu mempunyai sasaran menggarap lahan seluas 8.000 hektare, namun kini baru terealisasi 1.800 hektare.
Bali kini memiliki tanaman kakao seluas 12.390 hektar, 9.624 hektare diantaranya tanaman produktif dengan menghasilkan 6.800 ton selama 2009 dan diperkitakan meningkat dalam 2010, karena bertambahnya tanaman produktif.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011