Pelepah daun-daun itu bergemerisik tatkala puluhan petani dengan terampil memanen tandan demi tandan segar buah kelapa sawit.
Tatkala tandan-tandan buah itu terkumpul, seutas harapan menyirat di benak petani kelapa sawit tentang sebuah kesejahteraan untuk keluarga. Kelapa sawit memang menjadi tumpuan penghidupan bagi sebagian penduduk Indonesia.
Kelapa sawit inilah, yang digadang-gadang dapat memutus siklus ketergantungan negara pada keran impor bahan bakar fosil. Ketergantungan ini sudah saatnya dikoreksi, dan tiba waktunya berpaling pada bahan bakar nabati (BBN).
Salah satunya, dengan mengoptimalkan berlimpahnya kelapa sawit (Elaeis guineensis) sebagai pengganti bahan bakar fosil.
Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak yang digunakan di berbagai negara. Kelapa sawit diperkirakan berasal dari Afrika, hingga sampai di Sierra Leone serta Kongo, dan akhirnya menyebar di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Sampai saat ini, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 11 juta hektare lebih. Perkembangan industri kelapa sawit pun cukup fenomenal, dan menempatkan Indonesia sebagai produsen kelapa sawit yang amat diperhitungkan di dunia.
Wacana untuk menurunkan ketergantungan terhadap energi fosil dan digantikan BBN, akhir-akhir ini meningkat. Hal ini seiring hasil temuan sejumlah peneliti yang menyatakan bahwa bahan bakar fosil bakal habis dalam rentang waktu antara 50-75 tahun lagi.
BBN yang dianggap potensial di Tanah Air adalah kelapa sawit. Dianggap potensial karena kelapa sawit dinilai sebagai alternatif sumber energi yang paling baik, mengingat tanaman tersebut mempunyai produktivitas yang tinggi dan ramah lingkungan.
Pada perhelatan kegiatan "Bali Clean Energy Forum" beberapa waktu lalu, Manajer Pengembangan Teknologi dan Produk Pertamina, Andianto Hidayat menjelaskan defisit dalam neraca perdagangan Indonesia sebagian besar disebabkan minyak dan gas. Di mana pada tahun 2018 mendatang, Indonesia akan menjadi pengimpor bahan bakar terbesar di dunia.
"Akhirnya bakal terjadi peningkatan investasi dalam proses mencari alternatif bahan bakar minyak dan gas yang layak. Pertamina akan fokus pada peningkatan produksi biodiesel, terutama dari kelapa sawit," ucap Andianto.
BioEco Energy
Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Ernan Rustiadi menyatakan, belakangan ini banyak negara mulai mengembangkan BioEco Energy (biofuel). Sumber energi ini dianggap paling tepat untuk menggantikan energi fosil. Dalihnya, mudah diproduksi karena berasal dari sumber daya alam hayati serta ramah lingkungan.
Salah satu bahan yang potensinya paling tinggi untuk produksi biofuel ialah minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).
Pengembangan minyak kelapa sawit menjadi bioenergi adalah hal yang strategis, di tengah krisis energi yang terjadi di dunia saat ini.
Di samping itu, pengembangan industri kelapa sawit nasional sangat prospektif karena saat ini pemerintah Indonesia sedang menjalankan program pengembangan biofuel (biodiesel) yang menggunakan CPO sebagai bahan bakunya.
Dikatakan Ernan, sejumlah penelitian telah membuktikan biofuel dinilai sangat efesien, karena menggunakan bahan-bahan yang melimpah di Indonesia dan dapat diperbarui.
Ketersediaan cadangan bahan bakar ini bisa diatur sesuai dengan kebutuhan, sehingga menjamin kestabilan neraca minyak dan energi nasional.
Sementara itu, Ketua Pusat Penelitian Kelapa Sawit Nasional (PPKS) Witjaksana Darmosarkoro mengatakan tujuan percepatan mengatasi krisis energi melalui industri kelapa sawit ini tidak akan mendapatkan keberhasilan, apabila tidak didukung oleh semua pihak yang terkait dengan kelapa sawit.
Oleh karena itu, pihaknya meminta dukungan dari Kementerian Pertanian, Kementerian Riset dan Teknologi, serta Kementerian Perdagangan untuk melakukan kerja sama yang sinergis.
Menurut dia, Indonesia saat ini adalah produsen CPO terbesar di dunia dengan perkebunan kelapa sawit yang terluas di dunia. Jadi sudah selayaknya menempatkan Indonesia sebagai rujukan pengembangan kelapa sawit dunia.
Kebijakan dan langkah konkret pemerintah telah terlihat, dengan telah mencanangkan mandatory BBN sebesar 15 persen tahun 2015 dan 20 persen untuk tahun 2016. Pencampuran 20 persen sudah dilakukan pengujian, dengan hasil "tidak ada permasalahan yang signifikan".
Penggunaan biofuel di berbagai negara maju yang semakin meningkat, turut mendorong laju pertumbuhan industri perkebunan kelapa sawit. Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Brazil, dan Australia, biofuel dimanfaatkankan sebagai bahan bakar maupun campuran bahan bakar untuk menerbangkan pesawat dan kapal perang.
Peningkatan kandungan bahan bakar nabati yang berasal dari minyak kelapa sawit tersebut dapat mengurangi impor BBM sebesar 15 persen, dengan begitu diperkirakan dapat menghemat devisa sekitar 1,3 miliar dolar AS.
Energi Terbarukan
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Achdiat Atmawinata menyebutkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan penghasil CPO terbesar di dunia.
Terkait dengan itu, kebijakan pemerintah yang mencampur 20 persen CPO ke solar (biodiesel) bakal menjadi alternatif energi baru terbarukan menggantikan bahan bakar konvensional.
"Saya yakin biodiesel bisa menggantikan itu. Indonesia merupakan Arab Saudi untuk biodiesel dan bakal menjadi penghasil terbesar dunia," ujar Achdiat pada kesempatan Forum Dialog bertajuk 'Hipmi: Peluang Bisnis Hilir BBM untuk Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN)'.
Menurutnya, potensi CPO Indonesia sebanyak 200 juta hektare, dan baru dimanfaatkan sebanyak 11 juta hektare saat ini. Potensi tersebut harusnya dimanfaatkan untuk mendorong penggunaan biodiesel pada masyarakat.
Dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN), kandungan BBN pada solar yang saat ini baru sebanyak 20 persen akan ditingkatkan. Pada 2025, campuran tersebut mesti sebanyak 23 persen dan pada 2050 harus sebanyak 31 persen.
Dalam RUEN targetnya pada 2025 sampai 23 persen dan 2050 harus 31 persen. Jika ini digenjot, Indonesia punya alternatif energi bahan bakar dan bisa menggantikan cadangan minyak yang dalam 12-13 tahun mendatang persediaannya semakin menipis.
Di sisi lain, tingkat konsumsi minyak domestik masih terus meningkat, dengan pertumbuhan sekitar tujuh persen per tahun. Kondisi ini yang semestinya menjadi titik tolak untuk tidak menunda-nunda lagi penggunaan kelapa sawit sebagai bahan bakar nabati secara maksimal.
Di mana, merujuk data dari JourneytoForever, satu hektare kelapa sawit dapat menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah.
Berlimpahnya potensi kelapa sawit sebagai BBN, serta sebagai sumber energi baru yang terbarukan, membuat kelapa sawit bisa menjadi mercusuar energi di Indonesia; menuju Indonesia yang mandiri energi, tidak lagi tergantung terhadap negara lain.
Selain itu, juga menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih merdeka dan bermartabat, serta menjadikan negara yang berpenduduk lebih dari 252 juta jiwa ini, lebih sejahtera dalam menata masa depan setelah melampaui titik swasembada energi secara nasional.
Berpijak dari keinginan memandirikan energi nasional, beberapa waktu lalu Vice President Research and Development Direktorat Pengolahan Pertamina Eko Wahyu Laksono mengatakan, Pertamina sedang mengembangkan tiga produk bahan bakar energi baru terbarukan.
Tiga produk itu ialah jenis Hydrotreated Biodiesel (HBD) yang berbahan dasar minyak sawit "Fatty Acid Methyl Tester" (FAME) yang diproses secara hidro oksidasi untuk menambah efektivitas pembakaran. Kedua, minyak alga atau lumut dan yang ketiga adalah solar campur air. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Tatkala tandan-tandan buah itu terkumpul, seutas harapan menyirat di benak petani kelapa sawit tentang sebuah kesejahteraan untuk keluarga. Kelapa sawit memang menjadi tumpuan penghidupan bagi sebagian penduduk Indonesia.
Kelapa sawit inilah, yang digadang-gadang dapat memutus siklus ketergantungan negara pada keran impor bahan bakar fosil. Ketergantungan ini sudah saatnya dikoreksi, dan tiba waktunya berpaling pada bahan bakar nabati (BBN).
Salah satunya, dengan mengoptimalkan berlimpahnya kelapa sawit (Elaeis guineensis) sebagai pengganti bahan bakar fosil.
Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak yang digunakan di berbagai negara. Kelapa sawit diperkirakan berasal dari Afrika, hingga sampai di Sierra Leone serta Kongo, dan akhirnya menyebar di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Sampai saat ini, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 11 juta hektare lebih. Perkembangan industri kelapa sawit pun cukup fenomenal, dan menempatkan Indonesia sebagai produsen kelapa sawit yang amat diperhitungkan di dunia.
Wacana untuk menurunkan ketergantungan terhadap energi fosil dan digantikan BBN, akhir-akhir ini meningkat. Hal ini seiring hasil temuan sejumlah peneliti yang menyatakan bahwa bahan bakar fosil bakal habis dalam rentang waktu antara 50-75 tahun lagi.
BBN yang dianggap potensial di Tanah Air adalah kelapa sawit. Dianggap potensial karena kelapa sawit dinilai sebagai alternatif sumber energi yang paling baik, mengingat tanaman tersebut mempunyai produktivitas yang tinggi dan ramah lingkungan.
Pada perhelatan kegiatan "Bali Clean Energy Forum" beberapa waktu lalu, Manajer Pengembangan Teknologi dan Produk Pertamina, Andianto Hidayat menjelaskan defisit dalam neraca perdagangan Indonesia sebagian besar disebabkan minyak dan gas. Di mana pada tahun 2018 mendatang, Indonesia akan menjadi pengimpor bahan bakar terbesar di dunia.
"Akhirnya bakal terjadi peningkatan investasi dalam proses mencari alternatif bahan bakar minyak dan gas yang layak. Pertamina akan fokus pada peningkatan produksi biodiesel, terutama dari kelapa sawit," ucap Andianto.
BioEco Energy
Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Ernan Rustiadi menyatakan, belakangan ini banyak negara mulai mengembangkan BioEco Energy (biofuel). Sumber energi ini dianggap paling tepat untuk menggantikan energi fosil. Dalihnya, mudah diproduksi karena berasal dari sumber daya alam hayati serta ramah lingkungan.
Salah satu bahan yang potensinya paling tinggi untuk produksi biofuel ialah minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).
Pengembangan minyak kelapa sawit menjadi bioenergi adalah hal yang strategis, di tengah krisis energi yang terjadi di dunia saat ini.
Di samping itu, pengembangan industri kelapa sawit nasional sangat prospektif karena saat ini pemerintah Indonesia sedang menjalankan program pengembangan biofuel (biodiesel) yang menggunakan CPO sebagai bahan bakunya.
Dikatakan Ernan, sejumlah penelitian telah membuktikan biofuel dinilai sangat efesien, karena menggunakan bahan-bahan yang melimpah di Indonesia dan dapat diperbarui.
Ketersediaan cadangan bahan bakar ini bisa diatur sesuai dengan kebutuhan, sehingga menjamin kestabilan neraca minyak dan energi nasional.
Sementara itu, Ketua Pusat Penelitian Kelapa Sawit Nasional (PPKS) Witjaksana Darmosarkoro mengatakan tujuan percepatan mengatasi krisis energi melalui industri kelapa sawit ini tidak akan mendapatkan keberhasilan, apabila tidak didukung oleh semua pihak yang terkait dengan kelapa sawit.
Oleh karena itu, pihaknya meminta dukungan dari Kementerian Pertanian, Kementerian Riset dan Teknologi, serta Kementerian Perdagangan untuk melakukan kerja sama yang sinergis.
Menurut dia, Indonesia saat ini adalah produsen CPO terbesar di dunia dengan perkebunan kelapa sawit yang terluas di dunia. Jadi sudah selayaknya menempatkan Indonesia sebagai rujukan pengembangan kelapa sawit dunia.
Kebijakan dan langkah konkret pemerintah telah terlihat, dengan telah mencanangkan mandatory BBN sebesar 15 persen tahun 2015 dan 20 persen untuk tahun 2016. Pencampuran 20 persen sudah dilakukan pengujian, dengan hasil "tidak ada permasalahan yang signifikan".
Penggunaan biofuel di berbagai negara maju yang semakin meningkat, turut mendorong laju pertumbuhan industri perkebunan kelapa sawit. Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Brazil, dan Australia, biofuel dimanfaatkankan sebagai bahan bakar maupun campuran bahan bakar untuk menerbangkan pesawat dan kapal perang.
Peningkatan kandungan bahan bakar nabati yang berasal dari minyak kelapa sawit tersebut dapat mengurangi impor BBM sebesar 15 persen, dengan begitu diperkirakan dapat menghemat devisa sekitar 1,3 miliar dolar AS.
Energi Terbarukan
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Achdiat Atmawinata menyebutkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan penghasil CPO terbesar di dunia.
Terkait dengan itu, kebijakan pemerintah yang mencampur 20 persen CPO ke solar (biodiesel) bakal menjadi alternatif energi baru terbarukan menggantikan bahan bakar konvensional.
"Saya yakin biodiesel bisa menggantikan itu. Indonesia merupakan Arab Saudi untuk biodiesel dan bakal menjadi penghasil terbesar dunia," ujar Achdiat pada kesempatan Forum Dialog bertajuk 'Hipmi: Peluang Bisnis Hilir BBM untuk Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN)'.
Menurutnya, potensi CPO Indonesia sebanyak 200 juta hektare, dan baru dimanfaatkan sebanyak 11 juta hektare saat ini. Potensi tersebut harusnya dimanfaatkan untuk mendorong penggunaan biodiesel pada masyarakat.
Dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN), kandungan BBN pada solar yang saat ini baru sebanyak 20 persen akan ditingkatkan. Pada 2025, campuran tersebut mesti sebanyak 23 persen dan pada 2050 harus sebanyak 31 persen.
Dalam RUEN targetnya pada 2025 sampai 23 persen dan 2050 harus 31 persen. Jika ini digenjot, Indonesia punya alternatif energi bahan bakar dan bisa menggantikan cadangan minyak yang dalam 12-13 tahun mendatang persediaannya semakin menipis.
Di sisi lain, tingkat konsumsi minyak domestik masih terus meningkat, dengan pertumbuhan sekitar tujuh persen per tahun. Kondisi ini yang semestinya menjadi titik tolak untuk tidak menunda-nunda lagi penggunaan kelapa sawit sebagai bahan bakar nabati secara maksimal.
Di mana, merujuk data dari JourneytoForever, satu hektare kelapa sawit dapat menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah.
Berlimpahnya potensi kelapa sawit sebagai BBN, serta sebagai sumber energi baru yang terbarukan, membuat kelapa sawit bisa menjadi mercusuar energi di Indonesia; menuju Indonesia yang mandiri energi, tidak lagi tergantung terhadap negara lain.
Selain itu, juga menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih merdeka dan bermartabat, serta menjadikan negara yang berpenduduk lebih dari 252 juta jiwa ini, lebih sejahtera dalam menata masa depan setelah melampaui titik swasembada energi secara nasional.
Berpijak dari keinginan memandirikan energi nasional, beberapa waktu lalu Vice President Research and Development Direktorat Pengolahan Pertamina Eko Wahyu Laksono mengatakan, Pertamina sedang mengembangkan tiga produk bahan bakar energi baru terbarukan.
Tiga produk itu ialah jenis Hydrotreated Biodiesel (HBD) yang berbahan dasar minyak sawit "Fatty Acid Methyl Tester" (FAME) yang diproses secara hidro oksidasi untuk menambah efektivitas pembakaran. Kedua, minyak alga atau lumut dan yang ketiga adalah solar campur air. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016