Denpasar (Antara Bali) - Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerja sama dengan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar pameran lukisan serangkaian dengan pelaksanaan `International Symposium on Austronesian Diaspora`.
"Pameran yang dilaksanakan di Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar mengusung tema `Kita, Austronesia dan Gambar Cadas Prasejarah di Indonesia`", kata Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Drs. I Made Geria, M.Si di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan, pameran tersebut berlangsung selama lima hari, sejak 16-20 Juli 2016. Pameran menyuguhkan materi berupa artefak-artefak hasil penelitian, replika, poster dan gambar-gambar lukisan dinding Cadas Prasejarah.
Selain itu juga dimaknai dengan pemutaran film dokumenter bertajuk `The Austronesian Cultural Diversity`.
Simposium berskala internasional mengusung tema "Diaspora Austronesia" berlangsung selama enam hari, 18-23 Juli 2016 bertempat di Ayodya Resort, Nusa Dua, Bali.
Kegiatan tersebut diikuti 200 peserta, 45 orang di antaranya merupakan para pakar dari mancanegara yang terdiri dari ahli terkait Austronesia dari berbagai disiplin ilmu yang meliputi arkeologi, antropologi, sejarah, geologi, geokronologi, palinologi, paleoiklim, paleogeografi, paleoantropologi, paleomusikologi, linguistik, dan genetika.
Made Geria menjelaskan, peserta simposium berasal dari 19 negara masing-masing China, Jepang, Taiwan, Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, Timor Leste, Australia, Selandia Baru, Prancis, Jerman, Inggris, Belanda, Swis, Irlandia, Amerika Serikat, dan tuan rumah Indonesia.
Kegiatan simposium internasional membahas akar-akar kultur yang masih hidup di sisi masyarakat. "Di Pusat Penelitian (Puslit) kami tidak hanya mengangkat nilai menjadi pemaknaan, tetapi juga menjadikannya model", ujar Made Geria.
Sementara Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM), Harry Widianto, menegaskan, PCBM senantiasa mendukung upaya Puslit, khususnya dalam hal penelitian Austronesia, melalui pelestarian dan pemanfaatan hasil penelitian tersebut.
Misalnya dengan penyelenggaraan seminar, pameran, serta pendirian museum di situs-situs hasil penelitian, seperti Gua Harimau dan Situs Gilimanuk.
Salah seorang peneliti senior, Prof. Harry Truman Simanjuntak, menyatakan bahwa tujuan simposium yang mengundang pakar-pakar berbagai negara itu sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan, mengangkat nilai-nilai luhur kebangsaan (kemaritiman, gotong royong, keberagaman), merajut serta membangun hubungan yang baik dengan pakar berbagai negara, khususnya yang tertarik pada Austronesia, serta membangun solidaritas antara sesama penutur Austronesia, Austronesia dan Penuturnya.
Austronesia, sebuah rumpun bahasa yang mencakup sekitar 1.200 bahasa dituturkan oleh populasi yang mendiami kawasan lebih dari setengah bola dunia, mulai dari Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, serta dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan.
Itulah rumpun bahasa dengan sebaran terluas sebelum kolonisasi barat menjangkau berbagai bagian dunia, yang merupakan jumlah bahasa terbesar di antara belasan rumpun Bahasa di dunia, katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Pameran yang dilaksanakan di Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar mengusung tema `Kita, Austronesia dan Gambar Cadas Prasejarah di Indonesia`", kata Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Drs. I Made Geria, M.Si di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan, pameran tersebut berlangsung selama lima hari, sejak 16-20 Juli 2016. Pameran menyuguhkan materi berupa artefak-artefak hasil penelitian, replika, poster dan gambar-gambar lukisan dinding Cadas Prasejarah.
Selain itu juga dimaknai dengan pemutaran film dokumenter bertajuk `The Austronesian Cultural Diversity`.
Simposium berskala internasional mengusung tema "Diaspora Austronesia" berlangsung selama enam hari, 18-23 Juli 2016 bertempat di Ayodya Resort, Nusa Dua, Bali.
Kegiatan tersebut diikuti 200 peserta, 45 orang di antaranya merupakan para pakar dari mancanegara yang terdiri dari ahli terkait Austronesia dari berbagai disiplin ilmu yang meliputi arkeologi, antropologi, sejarah, geologi, geokronologi, palinologi, paleoiklim, paleogeografi, paleoantropologi, paleomusikologi, linguistik, dan genetika.
Made Geria menjelaskan, peserta simposium berasal dari 19 negara masing-masing China, Jepang, Taiwan, Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, Timor Leste, Australia, Selandia Baru, Prancis, Jerman, Inggris, Belanda, Swis, Irlandia, Amerika Serikat, dan tuan rumah Indonesia.
Kegiatan simposium internasional membahas akar-akar kultur yang masih hidup di sisi masyarakat. "Di Pusat Penelitian (Puslit) kami tidak hanya mengangkat nilai menjadi pemaknaan, tetapi juga menjadikannya model", ujar Made Geria.
Sementara Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM), Harry Widianto, menegaskan, PCBM senantiasa mendukung upaya Puslit, khususnya dalam hal penelitian Austronesia, melalui pelestarian dan pemanfaatan hasil penelitian tersebut.
Misalnya dengan penyelenggaraan seminar, pameran, serta pendirian museum di situs-situs hasil penelitian, seperti Gua Harimau dan Situs Gilimanuk.
Salah seorang peneliti senior, Prof. Harry Truman Simanjuntak, menyatakan bahwa tujuan simposium yang mengundang pakar-pakar berbagai negara itu sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan, mengangkat nilai-nilai luhur kebangsaan (kemaritiman, gotong royong, keberagaman), merajut serta membangun hubungan yang baik dengan pakar berbagai negara, khususnya yang tertarik pada Austronesia, serta membangun solidaritas antara sesama penutur Austronesia, Austronesia dan Penuturnya.
Austronesia, sebuah rumpun bahasa yang mencakup sekitar 1.200 bahasa dituturkan oleh populasi yang mendiami kawasan lebih dari setengah bola dunia, mulai dari Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, serta dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan.
Itulah rumpun bahasa dengan sebaran terluas sebelum kolonisasi barat menjangkau berbagai bagian dunia, yang merupakan jumlah bahasa terbesar di antara belasan rumpun Bahasa di dunia, katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016