Denpasar (Antara Bali) - Bali mengalami inflasi perdesaan sebesar 0,43 persen pada bulan Juni 2016, lebih rendah dibanding inflasi perdesaan tingkat nasional pada bulan yang sama tercatat 0,59 persen.
"Dari 33 provinsi di Indonesia yang menjadi sasaran survei, 32 provinsi di antaranya mengalami inflasi perdesaan dan satu provinsi mengalami deflasi," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Adi Nugroho di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, inflasi perdesaan tertinggi terjadi di Provinsi Bengkulu sebesar 1,19 persen, dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 0,66 persen.
Satu-satunya provinsi yang mengalami deflasi perdesaan adalah Gorontalo sebesar 0,25 persen.
Secara umum pemicu inflasi perdesaan tersebut akibat naiknya rata-rata harga semua kelompok komoditas mulai dari bahan makanan sebesar 0,58 persen, makanan jadi 0,86 persen, perumahan 0,28 persen, kesehatan 0,20 persen, pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,14 persen serta transportasi dan komunikasi 0,07 persen.
Adi Nugroho menambahkan, penyumbang inflasi tersebut antara lain beras, gula pasir, telur ayam ras, apel, daging ayam ras dan tongkol.
Demikian pula dari sisi indeks yang diterima petani (lt) mengalami kenaikan sebesar 0,91 persen, dari 127,66 persen pada bulan Mei 2016 menjadi 128,83 persen pada bulan Juni 2016.
Sementara pada sisi yang dibayar petani (lb) tercatat mengalami kenaikan sebesar 0,31 persen dari 120,50 persen menjadi 120,88 persen.
Adi Nugroho menjelaskan, dari lima subsektor yang menentukan pembentukan NTP Bali, empat di antaranya mengalami kenaikan dan satu subsektor mengalami penurunan.
Keempat subsektor yang mengalami peningkatan tersebut terdiri atas subsektor hortikultura naik 0,28 persen, tanaman perkebunan rakyat 1,98 persen, peternakan 0,52 persen dan subsektor perikanan 1,36 persen.
Satu-satunya subsektor yang mengalami penurunan adalah subsektor tanaman pangan sebesar 0,39 persen. NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan dan daya beli petani di daerah perdesaan.
NTP juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian terhadap barang dan jasa yang diperlukan petani untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk biaya produk pertanian, ujar Adi Nugroho. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Dari 33 provinsi di Indonesia yang menjadi sasaran survei, 32 provinsi di antaranya mengalami inflasi perdesaan dan satu provinsi mengalami deflasi," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Adi Nugroho di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, inflasi perdesaan tertinggi terjadi di Provinsi Bengkulu sebesar 1,19 persen, dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 0,66 persen.
Satu-satunya provinsi yang mengalami deflasi perdesaan adalah Gorontalo sebesar 0,25 persen.
Secara umum pemicu inflasi perdesaan tersebut akibat naiknya rata-rata harga semua kelompok komoditas mulai dari bahan makanan sebesar 0,58 persen, makanan jadi 0,86 persen, perumahan 0,28 persen, kesehatan 0,20 persen, pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,14 persen serta transportasi dan komunikasi 0,07 persen.
Adi Nugroho menambahkan, penyumbang inflasi tersebut antara lain beras, gula pasir, telur ayam ras, apel, daging ayam ras dan tongkol.
Demikian pula dari sisi indeks yang diterima petani (lt) mengalami kenaikan sebesar 0,91 persen, dari 127,66 persen pada bulan Mei 2016 menjadi 128,83 persen pada bulan Juni 2016.
Sementara pada sisi yang dibayar petani (lb) tercatat mengalami kenaikan sebesar 0,31 persen dari 120,50 persen menjadi 120,88 persen.
Adi Nugroho menjelaskan, dari lima subsektor yang menentukan pembentukan NTP Bali, empat di antaranya mengalami kenaikan dan satu subsektor mengalami penurunan.
Keempat subsektor yang mengalami peningkatan tersebut terdiri atas subsektor hortikultura naik 0,28 persen, tanaman perkebunan rakyat 1,98 persen, peternakan 0,52 persen dan subsektor perikanan 1,36 persen.
Satu-satunya subsektor yang mengalami penurunan adalah subsektor tanaman pangan sebesar 0,39 persen. NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan dan daya beli petani di daerah perdesaan.
NTP juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian terhadap barang dan jasa yang diperlukan petani untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk biaya produk pertanian, ujar Adi Nugroho. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016