Denpasar (Antara Bali) - Ketua Pusat Penelitian (Puslit) Subak Universitas Udayana, Prof. Dr. Wayan Windia mengatakan, pihak investor memiliki peran yang siginifikan dalam mengancurkan sawah dan subak di Bali.

"Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat luas sawah di Pulau Dewata berkurang rata-rata 750 hektare setiap tahunnya dan saya memperkirakan bisa mencapai 1.000 hektare/tahun," kata Prof Wayan Windia yang juga guru besar Fakultas Pertanian Unud di Denpasar, Sabtu.

Ia mengatakan, ketika pihak investor mengkonversi sawah, maka mereka membeton hingga pada saluran irigasi milik subak, sehingga sawah yang berada lebih di hilir menjadi terganggu irigasinya dan akhirnya rusak.

Hal itu disebabkan, karena pihak pekaseh tidak dilibatkan dalam proses jual-beli sawah, seperti halnya pada zaman sebelumnya. Proses jual beli dan sertifikasi alih fungsi sawah, justru yang dilibatkan adalah kepala desa, di bawah pengelolaan notaris.

"Kepala desa nyaris tidak paham tentang sistem irigasi di persawahan. Justru yang paham adalah pekaseh subak," ujar Prof Windia.

Oleh sebab itu perlu dibuatkan peraturan di Bali, agar dalam proses alih fungsi sawah, harus melibatkan pihak pekaseh yang ikut membubuhkan tanda-tangan. Bukan lurah atau kepala desa.

Kasus-kasus di Subak Bongan di Kabupaten Tabanan dan sekitarnya menunjukkan, betapa kawasan persawahan dan subak menjadi hancur dan tidak berfungsi. Hal itu disebabkan karena di kawasan hulu dibangun proyek perumahan (properti) yang menghancur saluran irigasi bagi kawasan sawah di hilir.

Sementara itu petani dan subak dalam keadaan yang terpinggirkan, karena tidak ada tempatnya pasti untuk mengadu. Kalaupun masih ada lembaga sedahan agung, maka fungsinya lebih banyak untuk hanya memungut pajak. Bukan untuk mengurus subak.

Bahkan Perda Provinsi Bali No. 9 tahun 2012 tentang subak secara tegas telah mengeliminir lembaga sedahan dan sedahan agung.

Hal itu tampaknya dapat diartikan bahwa Pemprov Bali dan DPRD Bali secara bersama-sama telah ikut menghancurkan sistem subak di Bali.

Prof Windia mencontohkan kasus yang saat ini sedang hangat terjadi adalah proses alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Payangan Gianyar.

Prof. Cokorde Nindya (Puri Payangan) mengeluh keras karena kasus yang sama dengan di Tabanan terjadi pula di Payangan.

Pembangunan properti di kawasan hulu subak di Payangan, telah menghancurkan saluran irigasi subak. Dengan demikian persawahan yang ada di hilir menjadi rusak, karena air irigasinya terganggu.

Untuk itu Windia mengusulkan pemerintah segera turun tangan. Diusulkan juga, agar subak-subak di Bali yang merasa memiliki sumber air yang sama, mempersatukan diri menjadi subak gede atau subak agung.

Sementara itu Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra Denpasar, Dr. Gde Sedana sependapat dengan Prof Windia.

Ia mengharapkan agar pemerintah segera turun tangan untuk menyelamatkan sawah dan subak di Bali. Tidak cukup hanya dengan memberikan hibah setiap tahun. Tapi kelembagaan subak harus diperkuat, agar mereka mampu menghadapi kekuatan pihak eksternal katanya. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016