Denpasar (Antara Bali) - Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Gede Arya Sugiartha, S.Skar, M.Hum dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang ilmu kajian seni budaya pada Fakultas Seni Pertunjukkan lembaga pendidikan tinggi seni tersebut di kampus setempat, Kamis.
Dalam pidato ilmiah yang berjudul "Genjek Sebuah Seni Vokal, Pembentukan dan Perkembangannya", dia mengungkapkan, genjek merupakan genre seni kerawaitan Bali yang menggunakan vokal sebagai sumber bunyi utama.
Sepuluh hingga dua puluh orang pemain duduk membentuk sebuah lingkaran menyanyi disertai gerakan tubuh yang menghasilkan sebuah paduan bunyi. Satu orang bertindak sebagai pembawa melodi sekaligus komando dan satu orang sebagai pemegang ritme.
Sementara yang lainnya membuat jalinan ritme suara-suara yang kebanyakan meniru bunyi instrumen gamelan Bali seperti tawa-tawa, cengceng, kendang, reyong dan gong. Jalinan dan perpaduan yang harmonis berbagai jenis dan warna suara itulah membentuk sebuah musik yang diberi nama genjek.
Genjek yang berarti bersenda gurau untuk menghibur diri dan sering diselingi nyanyian. Dalam genjek juga mengandung seni sastra, lewat lirik-lirik lagu yang dinyanyikan. Pengungkapan tema selain lirik juga diperkuat dengan olahan melodi, ritme dan ekspresi.
Pria kelahiran Tabanan 1 Desember 1966 atau 50 tahun yang silam itu menilai tema lagu genjek sebagian besar mengenai kegembiraan, yakni ada yang bersifat romantis, rayuan, nasehat atau sindiran.
Tema romantis biasanya mendominasi jika dalam grup genjek terdapat pemain wanitanya. Dengan flesisibelitas garap dalam tema lagunya, seni genjek sering juga untuk tujuan-tujuan tertentu seperti penerangan kesehatan, keluarga berencana, sosialisasi, program pembangunan dan propaganda politik.
Dalam acara pengenalan guru besar yang dihadiri Gubernur Bali Made Mangku Pastika, mahasiswa dan dosen di lingkungan perguruan tinggi seni itu Arya Sugiartha juga mengungkapkan secara musikal genjek menggunakan lagu-lagu Bali yang sederhana yakni jenis gending.
Genre tersebut termasuk jenis "folksong" karena identitas fokloritasnya dapat dikenali dari cara penyebarannya "oral transmission" di antara anggota kolektif tertentu, benbentuk tradisional serta banyak mempunyai variasi.
Dua unsur penting dari bentuk gegendingan adalah lirik dan lagu, kendati dalam kenyataannya banyak terjadi salah satu unsur lebih menonjol. Dalam seni genjek lagu lebih dominan dari pada lirik.
Kesederhanaan
Identitas lain lagu genjek adalah kesederhanaan bentuk baik musikalitas maupun liriknya. Kalimat lagu pendek-pendek menggunakan bahasa Bali lumrah. Setiap lagu genjek dibagi menjadi tiga bagian, pertama sekaligus mengawali adalah lagu berlirik beberapa bait yang ditawarkan oleh seorang pemain.
Dilanjutkan dengan lagu tanpa lirik oleh beberapa orang pemain yang disebut toreng. Sementara toreng tetap bernyanyi, pemain yang lain menyertai dengan membuat jalinan ritmis sesuai dengan jenis bunyi yang telah ditetapkan.
Suami dari Ni Nengah Mustiari menjelaskan satu lagu genjek biasanya dimainkan sekitar 3-4 menit berulang-ulang, kemudian digantikan dengan lagu-lagu selanjutnya dengan pola yang sama.
Ketika genjek sudah dilengkapi dengan beberapa alat instrumental, digunakan instrumen suling untuk mengawali lagu, sekaligus berfungsi untuk mengambil nada dasar. Dulu ada satu tradisi unik dari sajian genjek yakni kebiasaan minum tuak (minuman keras) sebagai teman akrab sebelum dan selama pertunjukkan.
Konon minuman beralkohol tinggi itu dapat merangsang gairah mereka dalam bernyanyi sehingga sajian menjadi lebih mantap. Lebih menarik lagi bahwa seni genjek ini konon lahir dari kebiasaan berkumpul disertai minum tuak dan jika dalam keadaan setengah mabuk nyanyian genjek keluar dengan lancar, merekapun bernyanyi bersama membuat jalinan irama dan melodi yang cukup menarik.
"Dari pada mabuk disertai berbicara ngawur tak karuan lebih baik mabuk disalurkan lewat megenjekan," ujar ayah dari dua putra putri yakni I Putu Arya Jonottama dan Ni Made Mirah Andriyani. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Dalam pidato ilmiah yang berjudul "Genjek Sebuah Seni Vokal, Pembentukan dan Perkembangannya", dia mengungkapkan, genjek merupakan genre seni kerawaitan Bali yang menggunakan vokal sebagai sumber bunyi utama.
Sepuluh hingga dua puluh orang pemain duduk membentuk sebuah lingkaran menyanyi disertai gerakan tubuh yang menghasilkan sebuah paduan bunyi. Satu orang bertindak sebagai pembawa melodi sekaligus komando dan satu orang sebagai pemegang ritme.
Sementara yang lainnya membuat jalinan ritme suara-suara yang kebanyakan meniru bunyi instrumen gamelan Bali seperti tawa-tawa, cengceng, kendang, reyong dan gong. Jalinan dan perpaduan yang harmonis berbagai jenis dan warna suara itulah membentuk sebuah musik yang diberi nama genjek.
Genjek yang berarti bersenda gurau untuk menghibur diri dan sering diselingi nyanyian. Dalam genjek juga mengandung seni sastra, lewat lirik-lirik lagu yang dinyanyikan. Pengungkapan tema selain lirik juga diperkuat dengan olahan melodi, ritme dan ekspresi.
Pria kelahiran Tabanan 1 Desember 1966 atau 50 tahun yang silam itu menilai tema lagu genjek sebagian besar mengenai kegembiraan, yakni ada yang bersifat romantis, rayuan, nasehat atau sindiran.
Tema romantis biasanya mendominasi jika dalam grup genjek terdapat pemain wanitanya. Dengan flesisibelitas garap dalam tema lagunya, seni genjek sering juga untuk tujuan-tujuan tertentu seperti penerangan kesehatan, keluarga berencana, sosialisasi, program pembangunan dan propaganda politik.
Dalam acara pengenalan guru besar yang dihadiri Gubernur Bali Made Mangku Pastika, mahasiswa dan dosen di lingkungan perguruan tinggi seni itu Arya Sugiartha juga mengungkapkan secara musikal genjek menggunakan lagu-lagu Bali yang sederhana yakni jenis gending.
Genre tersebut termasuk jenis "folksong" karena identitas fokloritasnya dapat dikenali dari cara penyebarannya "oral transmission" di antara anggota kolektif tertentu, benbentuk tradisional serta banyak mempunyai variasi.
Dua unsur penting dari bentuk gegendingan adalah lirik dan lagu, kendati dalam kenyataannya banyak terjadi salah satu unsur lebih menonjol. Dalam seni genjek lagu lebih dominan dari pada lirik.
Kesederhanaan
Identitas lain lagu genjek adalah kesederhanaan bentuk baik musikalitas maupun liriknya. Kalimat lagu pendek-pendek menggunakan bahasa Bali lumrah. Setiap lagu genjek dibagi menjadi tiga bagian, pertama sekaligus mengawali adalah lagu berlirik beberapa bait yang ditawarkan oleh seorang pemain.
Dilanjutkan dengan lagu tanpa lirik oleh beberapa orang pemain yang disebut toreng. Sementara toreng tetap bernyanyi, pemain yang lain menyertai dengan membuat jalinan ritmis sesuai dengan jenis bunyi yang telah ditetapkan.
Suami dari Ni Nengah Mustiari menjelaskan satu lagu genjek biasanya dimainkan sekitar 3-4 menit berulang-ulang, kemudian digantikan dengan lagu-lagu selanjutnya dengan pola yang sama.
Ketika genjek sudah dilengkapi dengan beberapa alat instrumental, digunakan instrumen suling untuk mengawali lagu, sekaligus berfungsi untuk mengambil nada dasar. Dulu ada satu tradisi unik dari sajian genjek yakni kebiasaan minum tuak (minuman keras) sebagai teman akrab sebelum dan selama pertunjukkan.
Konon minuman beralkohol tinggi itu dapat merangsang gairah mereka dalam bernyanyi sehingga sajian menjadi lebih mantap. Lebih menarik lagi bahwa seni genjek ini konon lahir dari kebiasaan berkumpul disertai minum tuak dan jika dalam keadaan setengah mabuk nyanyian genjek keluar dengan lancar, merekapun bernyanyi bersama membuat jalinan irama dan melodi yang cukup menarik.
"Dari pada mabuk disertai berbicara ngawur tak karuan lebih baik mabuk disalurkan lewat megenjekan," ujar ayah dari dua putra putri yakni I Putu Arya Jonottama dan Ni Made Mirah Andriyani. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016