Denpasar (Antara Bali) - Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III dilaporkan ke Polda Bali karena tidak membayarkan dana purnabhakti seorang pegawainya Hamonganan Ritonga.
Ahli waris almarhum Hamonganan Ritonga, yakni isterinya Delila Harahap di Denpasar, Kamis mengatakan pihaknya melaporkan Direktur Utama PT Pelindo III, karena perusahaan BUMN tersebut tidak membayar hak-hak pensiunan suaminya.
"Suami saya sudah pensiun dari PT Pelindo III Cabang Benoa, Bali sejak tahun 2001 dan sampai dengan meninggal tahun 2013, tidak dibayar dana purnabhakti oleh PT Pelindo III," katanya dengan raut sedih.
Bahkan, kata dia, saat suaminya meninggal tidak ada satu pun pegawai Pelindo III Benoa, Bali yang datang melayat.
"Padahal, suami saya bekerja selama 25 tahun di PT Pelindo sebagai pemandu kapal dan sampai saat ini saya masih menempati rumah Dinas Pelindo yang terletak di Jalan Pulau Ambon Denpasar," ujarnya.
Delila menjelaskan, awalnya tidak pernah tahu kalau suaminya mendapatkan dana purnabhakti dari perusahan milik negara tersebut. Selama memasuki masa pensiun, mendiang suaminya tidak pernah memberitahu bahwa ada dana pensiun atau dana purnabhakti sebagaimana layaknya yang diberlakukan di perusahaan tersebut.
Selama masa pensiun, pihak PT Pelindo III tidak pernah berkoordinasi, tidak pernah bersurat atau menghubungi pihak keluarga untuk mengurus dana purnabhakti tersebut.
"Sejak suami saya Hamonganan pensiun tahun 2001, sampai dengan meninggal tahun 2013, saya tidak pernah diberitahu, menerima surat resmi dari PT Pelindo III soal dana tersebut," ucapnya.
Ia mengatakan malah mengetahui dana purna bhakti milik suaminya telah diajukan, digugat ke pengadilan oleh PT Pelindo III melalui surat rincian pembayaran uang penghargaan purnabhakti sebesar Rp43.540.000. Tetapi anehnya surat tersebut tidak dibubuhi tanggal, tahun, kapan diajukan," ujarnya.
Kuasa hukum Delila, M. Pasaribu menjelaskan, surat rincian pembayaran itu oleh PT Pelindo III atas nama Budi Siswanto. Dalam surat tersebut terdapat banyak keanehan. Selain tidak ada tanggal, bulan, tahun dan nama penerima dana purnabhakti atas nama Hamoganan Ritonga juga ditulis salah, maupun NIPP juga salah.
"Dari sinilah awalnya kami mengetahui ada niat untuk menggelapkan dana purnabhakti milik almarhum Hamonganan Ritonga karena dokumen yang sangat penting ternyata tidak ada. Bahkan saat diminta dokumen asli, pihak Pelindo menjawabnya tidak ada," katanya.
Dikatakan, keanehan lain juga terjadi saat gelar perkara di Polda Bali tanggal 15 Maret 2016 bertempat di Ruangan Dit Reskrimum Polda Polda Bali berdasarkan laporan nomor:TBL/470/1X/2014/SPKT Polda Bali tertanggal 11 September 2014.
Saat itu pihak PT Pelindo III diwakili Heribertus Haryance dan beberapa staf lainnya. Dalam gelar perkara tersebut terungkap jumlah dana purnabhakti yang dibayarkan bukan lagi sebesar Rp43.540.000, tetapi ada kekurangan sejumlah Rp22.100.000. Sehingga total yang dibayarkan berjumlah Rp65 juta.
"Perbedaan ini sangat tidak beralasan karena sepatutnya pembayaran dilaksanakan pada saat pegawai yang bersangkutan memasuki masa pensiun (MPP) atau berhenti bekerja," ujarnya.
Hal tersebut sudah sesuai dengan Keputusan No 66/KP/1.04/P.III/99 tentang penyempurnaan lampiran keputusan Direksi No Kep.74/KP.1.04/P.III/98 tanggal 28 Desember 1998 tentang pemberian penghargaan purnabhakti PT Pelindo III.
"Artinya, bahwa uang purnabhakti itu harus sudah dibayarkan pada saat pegawai memasuki masa pensiun," ujarnya.
Setelah dilakukan perhitungan, sebenarnya jumlah uang yang harus dibayarkan berkisar antara Rp85 juta sampai Rp100 juta sesuai dengan berbagai tunjangan jabatan struktural, tunjangan prestasi atau kinerja.
Delila berharap agar PT Pelindo III perlu mengganti kerugian yang diderita suaminya di masa pensiunnya.
"Saya memang tidak bisa melawan perusahan sebesar Pelindo. Dan angka uang seperti itu mungkin sangat tidak berarti bagi Pelindo. Tetapi saya hanya meminta hak-hak kita selaku karyawan Pelindo," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Ahli waris almarhum Hamonganan Ritonga, yakni isterinya Delila Harahap di Denpasar, Kamis mengatakan pihaknya melaporkan Direktur Utama PT Pelindo III, karena perusahaan BUMN tersebut tidak membayar hak-hak pensiunan suaminya.
"Suami saya sudah pensiun dari PT Pelindo III Cabang Benoa, Bali sejak tahun 2001 dan sampai dengan meninggal tahun 2013, tidak dibayar dana purnabhakti oleh PT Pelindo III," katanya dengan raut sedih.
Bahkan, kata dia, saat suaminya meninggal tidak ada satu pun pegawai Pelindo III Benoa, Bali yang datang melayat.
"Padahal, suami saya bekerja selama 25 tahun di PT Pelindo sebagai pemandu kapal dan sampai saat ini saya masih menempati rumah Dinas Pelindo yang terletak di Jalan Pulau Ambon Denpasar," ujarnya.
Delila menjelaskan, awalnya tidak pernah tahu kalau suaminya mendapatkan dana purnabhakti dari perusahan milik negara tersebut. Selama memasuki masa pensiun, mendiang suaminya tidak pernah memberitahu bahwa ada dana pensiun atau dana purnabhakti sebagaimana layaknya yang diberlakukan di perusahaan tersebut.
Selama masa pensiun, pihak PT Pelindo III tidak pernah berkoordinasi, tidak pernah bersurat atau menghubungi pihak keluarga untuk mengurus dana purnabhakti tersebut.
"Sejak suami saya Hamonganan pensiun tahun 2001, sampai dengan meninggal tahun 2013, saya tidak pernah diberitahu, menerima surat resmi dari PT Pelindo III soal dana tersebut," ucapnya.
Ia mengatakan malah mengetahui dana purna bhakti milik suaminya telah diajukan, digugat ke pengadilan oleh PT Pelindo III melalui surat rincian pembayaran uang penghargaan purnabhakti sebesar Rp43.540.000. Tetapi anehnya surat tersebut tidak dibubuhi tanggal, tahun, kapan diajukan," ujarnya.
Kuasa hukum Delila, M. Pasaribu menjelaskan, surat rincian pembayaran itu oleh PT Pelindo III atas nama Budi Siswanto. Dalam surat tersebut terdapat banyak keanehan. Selain tidak ada tanggal, bulan, tahun dan nama penerima dana purnabhakti atas nama Hamoganan Ritonga juga ditulis salah, maupun NIPP juga salah.
"Dari sinilah awalnya kami mengetahui ada niat untuk menggelapkan dana purnabhakti milik almarhum Hamonganan Ritonga karena dokumen yang sangat penting ternyata tidak ada. Bahkan saat diminta dokumen asli, pihak Pelindo menjawabnya tidak ada," katanya.
Dikatakan, keanehan lain juga terjadi saat gelar perkara di Polda Bali tanggal 15 Maret 2016 bertempat di Ruangan Dit Reskrimum Polda Polda Bali berdasarkan laporan nomor:TBL/470/1X/2014/SPKT Polda Bali tertanggal 11 September 2014.
Saat itu pihak PT Pelindo III diwakili Heribertus Haryance dan beberapa staf lainnya. Dalam gelar perkara tersebut terungkap jumlah dana purnabhakti yang dibayarkan bukan lagi sebesar Rp43.540.000, tetapi ada kekurangan sejumlah Rp22.100.000. Sehingga total yang dibayarkan berjumlah Rp65 juta.
"Perbedaan ini sangat tidak beralasan karena sepatutnya pembayaran dilaksanakan pada saat pegawai yang bersangkutan memasuki masa pensiun (MPP) atau berhenti bekerja," ujarnya.
Hal tersebut sudah sesuai dengan Keputusan No 66/KP/1.04/P.III/99 tentang penyempurnaan lampiran keputusan Direksi No Kep.74/KP.1.04/P.III/98 tanggal 28 Desember 1998 tentang pemberian penghargaan purnabhakti PT Pelindo III.
"Artinya, bahwa uang purnabhakti itu harus sudah dibayarkan pada saat pegawai memasuki masa pensiun," ujarnya.
Setelah dilakukan perhitungan, sebenarnya jumlah uang yang harus dibayarkan berkisar antara Rp85 juta sampai Rp100 juta sesuai dengan berbagai tunjangan jabatan struktural, tunjangan prestasi atau kinerja.
Delila berharap agar PT Pelindo III perlu mengganti kerugian yang diderita suaminya di masa pensiunnya.
"Saya memang tidak bisa melawan perusahan sebesar Pelindo. Dan angka uang seperti itu mungkin sangat tidak berarti bagi Pelindo. Tetapi saya hanya meminta hak-hak kita selaku karyawan Pelindo," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016