Denpasar (Antara Bali) - Bank Indonesia bersama dengan Desa Adat Kuta, Kabupaten Badung, Bali, sepakat bekerja sama dalam upaya menertibkan kegiatan usaha penukaran valuta asing (kupva) ilegal di kawasan wisata itu.
"Masyarakat adat Kuta akan sangat membantu menyelesaikan sehingga perbuatan yang tidak dikehendaki dari KUPVA bukan bank yang tidak berizin bisa ditanggulangi," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Dewi Setyowati usai menyaksikan penandatanganan pernyataan bersama kerja sama dan koordinasi terkait KUPVA Bukan Bank di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, dengan adanya kerja sama ini, maka apabila ada wisatawan yang menjadi korban dari ulah oknum tidak bertanggungjawab saat mereka menukarkan uang, masyarakat adat Kuta bisa berpartisipasi melaporkan hal tersebut kepada pihak berwajib.
Kerja sama dengan masyarakat adat di Kuta itu merupakan hal yang mendesak mengingat banyaknya keluhan yang disampaikan wisatawan saat mereka menukarkan uang di Penukaran Valuta Asing (PVA) atau "money changer" yang ditengarai tidak berizin sehingga berdampak terhadap keberlangsungan pariwisata.
Dengan adanya kerja sama itu, BI menyakini akan membuat bisnis penukatan valuta asing semakin terang benderang untuk membedakan ilegal dengan yang benar-benar memiliki izin.
"Mungki ada administrasi itu hak mereka (desa adat), ini bukan mempersulit justru memperlancar. Selama ini belum ada transparansi jadi terang benderang," ucapnya.
Bank sentral itu mencatat dari total KUPVA bukan bank di Bali mencapai 594 kantor, 67 persen atau sekitar 418 kantor di antaranya berada di Kabupaten Badung.
Dari 418 itu, 300 PVA berada di kawasan Desa Adat Kuta.
Selama tahun 2015, total transaksi penukaran valuta asing di Bali mencapai Rp29,7 triliun terdiri dari pembelian dan penjualan masing-masing mencapai Rp14,8 triliun.
Bendesa Adat Kuta, Wayan Swarsa ditemui pada kesempatan sama menyatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan tim pengawas yang ikut mengawasi kegiatan PVA bodong.
Nantinya tim yang berjumlah sekitar tujuh orang itu akan ikut mengawasi mulai melakukan survei lokasi hingga menentukan layak atau tidaknya mendapatkan surat dukungan dari desa adat.
Desa Adat Kuta sendiri telah memiliki peraturan adat atau "perarem" yang salah satu pasalnya mengatur KUPVA bukan bank yang menyangkut agar pengusaha wajib mendapatkan surat dukungan dari desa adat sebelum pengusaha memeroleh Surat Keterangan Tempat Usaha (SKTU) dari aparat kelurahan setempat.
"SKTU itu dari Kuta itu akan diterbitkan apabila mendapat dukungan dari desa adat," ucapnya.
Pihaknya menjamin tidak ada biaya yang dipungut dari pengusaha untuk mendapat surat dukungan atau rekomendasi dari desa adat itu karena tidak diatur di dalam "perarem".
Hingga saat ini, lanjut Swarsa, sudah ada 15 KUPVA bukan bank yang selama ini disinyalir ilegal, mengakukan permohonan menjadi pelaku usaha yang berizin. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Masyarakat adat Kuta akan sangat membantu menyelesaikan sehingga perbuatan yang tidak dikehendaki dari KUPVA bukan bank yang tidak berizin bisa ditanggulangi," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Dewi Setyowati usai menyaksikan penandatanganan pernyataan bersama kerja sama dan koordinasi terkait KUPVA Bukan Bank di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, dengan adanya kerja sama ini, maka apabila ada wisatawan yang menjadi korban dari ulah oknum tidak bertanggungjawab saat mereka menukarkan uang, masyarakat adat Kuta bisa berpartisipasi melaporkan hal tersebut kepada pihak berwajib.
Kerja sama dengan masyarakat adat di Kuta itu merupakan hal yang mendesak mengingat banyaknya keluhan yang disampaikan wisatawan saat mereka menukarkan uang di Penukaran Valuta Asing (PVA) atau "money changer" yang ditengarai tidak berizin sehingga berdampak terhadap keberlangsungan pariwisata.
Dengan adanya kerja sama itu, BI menyakini akan membuat bisnis penukatan valuta asing semakin terang benderang untuk membedakan ilegal dengan yang benar-benar memiliki izin.
"Mungki ada administrasi itu hak mereka (desa adat), ini bukan mempersulit justru memperlancar. Selama ini belum ada transparansi jadi terang benderang," ucapnya.
Bank sentral itu mencatat dari total KUPVA bukan bank di Bali mencapai 594 kantor, 67 persen atau sekitar 418 kantor di antaranya berada di Kabupaten Badung.
Dari 418 itu, 300 PVA berada di kawasan Desa Adat Kuta.
Selama tahun 2015, total transaksi penukaran valuta asing di Bali mencapai Rp29,7 triliun terdiri dari pembelian dan penjualan masing-masing mencapai Rp14,8 triliun.
Bendesa Adat Kuta, Wayan Swarsa ditemui pada kesempatan sama menyatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan tim pengawas yang ikut mengawasi kegiatan PVA bodong.
Nantinya tim yang berjumlah sekitar tujuh orang itu akan ikut mengawasi mulai melakukan survei lokasi hingga menentukan layak atau tidaknya mendapatkan surat dukungan dari desa adat.
Desa Adat Kuta sendiri telah memiliki peraturan adat atau "perarem" yang salah satu pasalnya mengatur KUPVA bukan bank yang menyangkut agar pengusaha wajib mendapatkan surat dukungan dari desa adat sebelum pengusaha memeroleh Surat Keterangan Tempat Usaha (SKTU) dari aparat kelurahan setempat.
"SKTU itu dari Kuta itu akan diterbitkan apabila mendapat dukungan dari desa adat," ucapnya.
Pihaknya menjamin tidak ada biaya yang dipungut dari pengusaha untuk mendapat surat dukungan atau rekomendasi dari desa adat itu karena tidak diatur di dalam "perarem".
Hingga saat ini, lanjut Swarsa, sudah ada 15 KUPVA bukan bank yang selama ini disinyalir ilegal, mengakukan permohonan menjadi pelaku usaha yang berizin. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016