Singaraja (Antara Bali) - Puluhan nelayan Desa Kubutambahan, Singaraja, Bali, sejak sepuluh hari terakhir tidak melaut karena dihadang gelombang tinggi dan angin kencang, sehingga hanya melakukan rutinitas duduk santai di gubuk tepi pantai sambil meratapi jukung dan perahunya.

"Kami menghadapi gelombang tinggi bahkan sesekali gelombang hampir mencapai empat meter, sementara angin kencang sangat luar biasa hingga membuat seng atap rumah penduduk beterbangan. Kami harus menunggu situasi gelombang normal kembali baru bisa memutuskan melaut," ujar Gede Bagiade di Pantai Segara, Kubutambahan, Minggu.

Bagiade di dampingi dua rekannya sesama nelayan porsain (perahu serek) yaitu Komang Andana dan Komang Sumenase menjelaskan, sudah sepuluh hari terakhir kami hanya bisa duduk duduk saja di gubuk ini.

"Sementara, simpanan uang dari hasil melaut sebelumnya sudah hampir ludes, bagaimana nasib kami kalau cuaca terus begini," ujarnya.

Menurut dia, situasi gelombang yang tinggi disertai angin kencang memang baru kali ini sangat membahayakan jika memaksakan diri melaut jelas dihadang musibah, situasi sekarang berbeda dengan tahun lalu tidak separah ini, namun kalau situasi gelombang cepat normal akan dipaksanakan melaut untuk sekedar bisa menutupi biaya biaya dapur.

Ia menjelaskan, kalau situasi normal hasil melaut memang lumayan bisa untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak, bahkan bisa sedikit menyisakan uang untuk berjaga jaga saat tidak bisa melaut, sebab menjadi nelayan porsain sangat berat kerjanya saat mengangkat jaring porsain bersama teman teman seberat lebih 1 ton bisa menimbulkan resiko cedera.

Ia menyatakan, dalam satu bulan hitungan 30 hari rata rata bisa melaut 15 hari dengan penghasilan rata rata 400 ribu sekali melaut, sehingga kalau dihitung satu bulan menghasilkan uang Rp6.000.000 (enam juta rupiah), namun seperti saya bilang tadi pekerjaan melaut apalagi sebagai nelayan serek sangat berat memerlukan asupan gizi dan doping yang lumayan tinggi.

"Kalau dihitung uangnya kelihatan banyak per bulannya, tetapi kenyataannya kami yang sudah menjadi nelayan turun temurun sejak dari para leluhur selalu saja hidup seadanya seperti ini, hanya sekerdar bisa hidup dan menyekolahkan anak, jadi hidup monoton seperti ini saja secara turun temurun," ujarnya.

Ia menyatakan pekerjaan sebagai nelayan perahu serek yang menggunakan jaring porsain sangat berat karena kami bersama 12 orang awak perahu harus menyeberangi lautan sejauh 40 kilometer (km), hingga sampai di rumpon buatan yang sengaja dipasang sebagai tempat kami memasang jaring untuk menangkap ikan.

Menurut dia, setiap sekali berangkat mulai subuh melibatkan dua perahu yaitu perahu besar diisi delapan awak dan perahu kecil yang khusus untuk mengangkut jaring di lokasi rumpon berisi empat awak, setelah tiba di lokasi rumpon jaring yang melebihi berat 1 ton itu ditarik empat orang nelayan untuk tugas itu sehingga sangat berat dan melelahkan.

Ia menjelaskan jumlah cukong di Kubutambahan 15 orang dan setiap cukong perahu serek memiliki 15 sampai 20 rumpon yang disebarkan dalam satu lokasi, sedangkan biaya yang dikeluarkan membuat satu unit rumpon dari bambu dan beton mencapai Rp20 juta. Secara keseluruhan rumpon seluruhnya di perairan Kubutambahan mencapai 200 unit.

Sedangkan harga satu unit perahu serek sekitar Rp150 jutaan seberat 1 ton dengan awak nelayan delapan orang dan biasanya setiap perahu serek diikuti satu perahu yang lebih kecil seberat 300 kilogram (kg) khusus untuk membawa peralatan jaring dengan awak nelayan empat orang, sehingga sekali berangkat harus ada 12 orang nelayan yang bertugas delapan orang di perahu serek dan empat orang di perahu kecil yang membawa peralatan.

Sedangkan untuk biaya keberangkatan memerlukan 90 liter bensin dengan alokasi anggaran Rp1 juta, sedangkan untuk ransum (makanan awak perahu) dianggarkan Rp50.000 per orang, jadi sekali berangkat untuk 12 orang perlu Rp600.000.

Ia menjelaskan, pendapatan nelayan diperoleh dari penjualan hasil ikan dengan rincian 50 persen untuk cukong dan 50 persen untuk nelayan yang kemudian dibagi rata bersama 12 orang teman teman.

Tentunya hasil jualan ikan baru bisa dibagi nelayan dengan cukong setelah dikurangi biaya bensin yang dianggarkan Rp1 juta dan ransum Rp600.000.

"Terkadang juga sering tidak mendapatkan ikan sehingga tidak ada yang bisa dibagi, karena itu biasanya kami menabung uang di rumah atau ada juga teman teman menabung dengan emas untuk dijual saat paceklik ikan tiba atau musibah alam seperti sekarang ini angin kencang yang tidak memungkinkan kami melaut," ujarnya. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Bagus Andi

Editor : I Nyoman Aditya T I


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015