Denpasar (Antara Bali) - Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr Wayan Windia mengingatkan Subak pasca-pengakuan UNESCO sebagai warisan budaya dunia (WBD) di Bali memerlukan upaya strategis agar abadi dan jangan sampai mengorbankan sawah untuk membangun tempat parkir.
"Bantuan terhadap 17 Subak di kawasan WBD yakni 14 subak di Tabanan dan tiga subak di Gianyar tidak hanya dalam bentuk bantuan material, namun upaya lebih strategis yang mampu menjadikan kawasan itu tetap lestari," katanya di Denpasar, Rabu.
Untuk menjadikan kawasan WBD tersebut tetap abadi, termasuk di Catur Angga Batukaru, Kabupaten Tabanan, masyarakat Jatiluwih, memerlukan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), agar ada kepastian hukum tentang apa-apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di kawasan itu.
"Dalam RDTR perlu diadopsi ketentuan-ketentian UNESCO tentang kawasan WBD tersebut," ujar Guru Besar Fakultas Pertanian Unud itu.
Ia mengingatkan sejak kedatangan tim monev WBD dari ICOMOS (konsultan UNESCO) ke kawasan Catur Angga Batukaru pada beberapa bulan lalu sudah ada keinginan membangun tempat parkir di kawasan WBD tersebut, dengan mengorbankan sawah yang ada di sana.
"Jika hal itu diizinkan maka sejak awal kawasan WBD itu akan semakin amburadul. Kanibalisasi sawah akan semakin menjadi-jadi," ujar Prof Windia.
Menurut dia, tidak perlu ada kawasan parkir persis di dekat kawasan sawah Subak Jatiluwih. Kalau saja lembaga yang dibentuk oleh Pemda Tabanan, bukan Badan Pengelola Daerah Tujuan Wisata (BP-DTW) Jatiluwih, tetapi Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia (BP-WBD) Jatiluwih.
Kondisi demikian akan berpengaruh terhadap pola pikir yang dikembangkan terhadap pola berpikir jangka panjang demi pelestarian Subak WBD.
"Untuk pelestarian kawasan budaya, kiranya tidak perlu wisatawan terlalu dimanjakan. Tidak perlu mereka harus parkir persis di tepi sawah," katanya.
Kendaraan wisatawan bisa diarahkan untuk diparkir di kawasan pedesaan. Biarkan wisatawan jalan kaki sebentar untuk menuju kawasan Subak yang ingin mereka nikmati.
"Dengan demikian, kawasan pedesaan Jatiluwih juga bisa berkembang dan menikmati kunjungan wisatawan yang berlipat ganda jumlahnya itu," katanya.
Dalam jangka panjang perlu dipikirkan untuk membuat tempat parkir di kawasan yang lebih jauh di bagian timur dan barat, kemudian disediakan penyewaan kendaraan angkut untuk menuju ke kawasan WBD (PP).
"Dengan demikian kawasan tempat parkir bisa hidup dan berkembang. Hal semacam ini sudah dikembangkan pula di kawasan Kuta. Kenapa tidak dicoba di kawasan Jatiluwih," ujar Prof Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Bantuan terhadap 17 Subak di kawasan WBD yakni 14 subak di Tabanan dan tiga subak di Gianyar tidak hanya dalam bentuk bantuan material, namun upaya lebih strategis yang mampu menjadikan kawasan itu tetap lestari," katanya di Denpasar, Rabu.
Untuk menjadikan kawasan WBD tersebut tetap abadi, termasuk di Catur Angga Batukaru, Kabupaten Tabanan, masyarakat Jatiluwih, memerlukan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), agar ada kepastian hukum tentang apa-apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di kawasan itu.
"Dalam RDTR perlu diadopsi ketentuan-ketentian UNESCO tentang kawasan WBD tersebut," ujar Guru Besar Fakultas Pertanian Unud itu.
Ia mengingatkan sejak kedatangan tim monev WBD dari ICOMOS (konsultan UNESCO) ke kawasan Catur Angga Batukaru pada beberapa bulan lalu sudah ada keinginan membangun tempat parkir di kawasan WBD tersebut, dengan mengorbankan sawah yang ada di sana.
"Jika hal itu diizinkan maka sejak awal kawasan WBD itu akan semakin amburadul. Kanibalisasi sawah akan semakin menjadi-jadi," ujar Prof Windia.
Menurut dia, tidak perlu ada kawasan parkir persis di dekat kawasan sawah Subak Jatiluwih. Kalau saja lembaga yang dibentuk oleh Pemda Tabanan, bukan Badan Pengelola Daerah Tujuan Wisata (BP-DTW) Jatiluwih, tetapi Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia (BP-WBD) Jatiluwih.
Kondisi demikian akan berpengaruh terhadap pola pikir yang dikembangkan terhadap pola berpikir jangka panjang demi pelestarian Subak WBD.
"Untuk pelestarian kawasan budaya, kiranya tidak perlu wisatawan terlalu dimanjakan. Tidak perlu mereka harus parkir persis di tepi sawah," katanya.
Kendaraan wisatawan bisa diarahkan untuk diparkir di kawasan pedesaan. Biarkan wisatawan jalan kaki sebentar untuk menuju kawasan Subak yang ingin mereka nikmati.
"Dengan demikian, kawasan pedesaan Jatiluwih juga bisa berkembang dan menikmati kunjungan wisatawan yang berlipat ganda jumlahnya itu," katanya.
Dalam jangka panjang perlu dipikirkan untuk membuat tempat parkir di kawasan yang lebih jauh di bagian timur dan barat, kemudian disediakan penyewaan kendaraan angkut untuk menuju ke kawasan WBD (PP).
"Dengan demikian kawasan tempat parkir bisa hidup dan berkembang. Hal semacam ini sudah dikembangkan pula di kawasan Kuta. Kenapa tidak dicoba di kawasan Jatiluwih," ujar Prof Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015