Denpasar (Antara Bali) - Pusat Penelitian (Puslit) Subak Universitas Udayana melibatkan seluruh dekan Fakultas Pertanian perguruan tinggi swasta di Bali menggelar diskusi membahas berbagai hal tentang nasib pertanian dan petaninya dalam perkembangan depan.

"Diskusi akan digelar Senin (29/6) melibatkan para cendikiawan, Himpunan Kontak Tani Nelayan Andalan (HKTI) dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap nasib petani dan kelangsungan sektor pertanian," kata Ketua Pusat Penelitian Subak Unud Prof. Dr Wayan Windia di Denpasar, Sabtu.

Ia mengatakan, diskusi tersebut diharapkan mampu menghasilkan solusi terbaik, mengingat keberadaan sektor pertanian, termasuk petaninya selama ini terpinggirkan.

Padahal pembangunan sektor pertanian dan upaya menjaga kelangsungan organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Bali sangat penting sebagai upaya melestarikan budaya dan mengentaskan kemiskinan di kalangan petani.

Kehidupan dan tingkat kesejahteraan petani di Bali selama ini masih rendah yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak. Kondisi tersebut tercermin dari nilai tukar petani (NTP) subsektor pertanian tahun 2014 turun sebesar 1,79 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

NTP Bali kini sebesar 104,58 persen yang berarti nilai produk pertanian adalah 104,58, sementara pengeluaran petani 100, sehingga pendapatan petani sangat rendah.

Pendapatan petani Bali hanya sedikit di atas 100, ditunjang oleh nilai pendapatan di sektor hortikultura, sementara sumbangan tanaman pangan kurang dari 100.

Windia menjelaskan, hal itu menandakan bahwa petani di sektor pertanian tanaman pangan kini dalam kondisi merugi, sehingga wajar petani dalam aktivitasnya itu perlu mendapatkan bantuan berupa subsidi dan proteksi, sehingga petani tidak menjual sawahnya.

"Jika sampai petani menjual sawah akan mengakibatkan subak menjadi punah serta budaya Bali akan goyah dan hancur," ujar Windia.

Padahal Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) telah mengukuhkan subak di Bali menjadi warisan budaya dunia (WBD).

Kondisi demikian menuntut adanya subak untuk tetap kokoh, lestari dan dijaga kesinambungannya dengan membangun subak abadi (sawah lestari).

Sawah abadi itu tidak hanya dibangun pada 14 subak di kawasan Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan dan tiga subak di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dengan total luas sekitar 1.000 hektare menjadi satu kesatuan yang telah ditetapkan menjadi WBD.

Windia mengingatkan, subak abadi itu juga perlu dibangun atau dikembangkan oleh delapan kabupaten dan satu kota lainnya di Bali sebagai upaya menyelamatkan subak, menyediakan udara yang bersih, segar dan menghindari alih fungsi lahan pertanian yang belakangan ini tidak terkendali.

Padahal subak adalah suatu sistem irigasi di Bali, sekaligus salah satu dari sistem irigasi tradisional tertua di dunia, yang diakui eksistensinya oleh Raja- Raja di Bali pada tahun 1071, dan hingga kini masih tetap eksis di kalangan petani namun menghadapi berbagai kendala dan hambatan.

Sistem subak pada hakekatnya merupakan simbol dari implementasi harmoni dan kebersamaan, yang dalam bahasa Bali Kuno disebut Tri Hita Karana (THK), hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

"Artinya, kalau ingin hidup bahagia, harus membangun harmoni dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam. Konsep tersebut memang universal, namun hanya di Bali ada sebuah lembaga bernama subak, yang menerapkan THK dalam kehidupan organisasinya," ujar Prof Windia. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015