Leluhur orang Bali mempunyai cara tersendiri mengajari anak-anaknya untuk tumbuh dan berkembang tanpa kehilangan karakter kearifan lokal.
Hal ini terlihat jelas dari adanya prosesi ritual yang disebut Tumpek Wayang, hari baik dalam kelender Bali untuk melaksanakan kegiatan ritual yang bermakna untuk menghormati wayang kulit agar tetap mempunyai taksu (karisma) sesuai dengan watak dalam pementasan wayang kulit.
Tumpek Wayang yang diperingati setiap enam bulan sekali, kali ini jatuh pada hari Sabtu, 11 April 2015, tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr. I Ketut Sumadi.
Hal itu dilakukan dengan mempersembahkan rangkaian janur (banten) kombinasi bunga, kue, dan buah-buahan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa yang umumnya dilakukan di tempat suci keluarga masing-masing (merajan).
Selain lewat prosesi ritual Tumpek Wayang, leluhur orang Bali sejak dini juga mengajarkan perilaku nyata sejak usia dini. Hanya saja cara atau metode masih bersifat tidak transparan dan penuh misteri (mekulit) sehingga untuk mengupasnya diperlukan ketajaman intuisi dan intelektual tersendiri.
Para orang tua zaman dahulu seperti sengaja tidak mau memberi penjelasan secara perinci karena mereka takut metode itu disalahgunakan atau bisa mengurangi nilai sakralnya, khususnya yang berkaitan dengan bidang kesenian, nilai-nilai pendidikan, karakter yang terkandung dalam ritual Tumpek Wayang.
Hal itu diimplementasikan dengan membentuk seka (grup) penari dan penabuh yang semua aktivitas mereka berolah seni berlangsung di balai banjar dan mendapat pengayoman dari warga banjar dengan baik.
Setiap banjar (dusun) di Bali memiliki grup kesenian yang anggotanya anak-anak dan orang dewasa sehingga setiap banjar sepertinya berlomba mementaskan kepiawaian menari dan menabuh, baik dalam rangka pementasan (ngayah) di pura saat piodalan maupun pada hari-hari tertentu, seperti pada Hari Raya Galungan dan Kuningan, memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan).
Fenomena tersebut tidak mengherankan jika wisatawan mancanegara yang berliburan ke Pulau Dewata menyebut hidup orang Bali penuh warna kesenian. Saat masih dalam kandungan orang Bali memang telah dibuatkan upacara "magedong-gedongan" dengan persembahan sesaji yang ditata sedemikian rupa penuh nuansa seni sehingga sesaji tersebut tidak hanya bernilai religius yang diharapkan dapat menjaga keselamatan bayi dalam kandungan.
Selain itu, juga mengandung makna penuh cita rasa seni membuat si ibu yang mengandung menjadi senang, penuh sukacita, dan gembira. Secara otomatis ritual itu telah memasukkan vibrasi kesenian kepada bayi yang ada dalam kandungan.
Demikian pula, saat baru lahir, kemudian berumur bulan pitung dina (satu bulan tujuh hari), telu bulan (tiga bulan), satu oton (enam bulan), dan seterusnya sampai dewasa dibuatkan upacara dengan perlengkapan sesajen yang sangat rumit dan makin tinggi pula nilai seninya.
Bagi orang ekonominya mampu, setiap rangkaian ritual itu diiringi dengan pementasan kesenian, termasuk wayang kulit yang tentunya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Dalang wayang kulit di Bali pada hari baik, yang kali ini jatuh pada hari Sabtu (11/3) melaksanakan ritual dengan menghaturkan "bebantenan" (rangkaian janur), ibarat memperingati hari kelahiran yang dilakukan setiap 210 hari sekali atau setiap enam bulan sekali.
Masyarakat Bali hingga kini masih mempercayai bahwa orang yang lahir tepat pada hari Tumpek Wayang dianggap "salah lahir". Untuk menjadikan yang bersangkutan kembali mempunyai keseimbangan lahir dan batin, pada saat hari ulang tahun, yang di Bali lumrah disebut "Otonan", wajib dibuatkan ritual otonan dan dimeriahkan dengan pementasan wayang kulit,
Hal itu, menurut Ketut Sumadi, bukan berarti hari-hari lain tidak perlu mementaskan wayang kulit. Pementasan seni tradisional itu erat kaitan dengan kelengkapan ritual keagamaan yang dilaksanakan di Pura maupun oleh masing-masing warga masyarkat setempat.
Paradigma Baru
Pementasan wayang pada hari Tumpek Wayang umumnya terjadi di mana-mana meskipun dalam beberapa tahun belakangan ini tidak begitu meriah dan terbatas hanya di beberapa tempat.
Namun, pementasan wayang kulit itu rutin dilakukan di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang lokasinya bersebelahan dengan Taman Budaya.
Mahasiswa Jurusan Pedalangan Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar berhasil melakukan terobosan untuk menemukan paradigma baru dalam dunia pewayangan. Mereka berharap pagelaran seni pewayangan itu mampu menarik perhatian masyarakat luas.
Upaya tersebut dilakukan dengan membentuk karakter seorang tokoh serta memadukan unsur tradisi dan kreasi untuk memperkaya pertunjukan wayang kulit.
Made Darma, alumnus Program Studi Seni Pedalangan FSP ISI Denpasar yang berhasil meraih gelar S-1 pada tahun 2011 itu mengemas pagelaran wayang agar menjadi sebuah pementasan yang menarik dan diminati masyarakat.
Hal itu dilakukan karena pegelaran wayang kulit di Bali selama ini identik dengan pertunjukan untuk kelengkapan ritual keagamaan dan adat sehingga jenis seni hiburan itu kurang menarik minat masyarakat setempat sebagai tontonan.
Pustaka Tarka, menurut Made Darma, adalah anugerah Dewa Siwa kepada Gana Kumara yang sedang belajar di Pesraman Kasurgwa Rena yang dipimpin Bagawan Asmaranata.
Guna Kumara mendapat tugas dari Begawan Asmaranata untuk memimpin pesraman. Dalam kondisi demikian banyak para dewa yang datang untuk bertenung sehingga menimbulkan kecemburuan Dewa Wisnu dan Dewa Brahma.
Dewa Brahma menguji kemampuan Gena Kumara. Setelah ditenung, Dewa Brahma sangat marah karena merasa ada yang tidak beres dan segera menggempur dengan kekuatan 100 raksasa yang muncul dari dalam dirinya.
Dewa Siwa mengetahui hal itu segera mengeluarkan kekuatan pancadewata dari dalam dirinya membela Guna Kumara sehingga terjadi pertempuran yang dahsyat. Namun, pancadewata akhirnya menang.
Kolaborasikan
I Wayan Nardayana (50), seniman dari Desa Belayu, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan yang juga alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dalam melakukan pementasan wayang kulit melakukan terobosan dengan mengolaborasikan unsur tradisi dan kreasi memperkaya pertunjukan wayang kulit.
Wayang "Cenk Blonk" yang dipentaskan dengan melibatkan belasan seniman setiap pagelarannya mampu memukau masyarakat penonton. Bahkan, penonton bisa ketagihan menyaksikan lelucon dengan penampilan si dalang yang khas, gaya memainkan wayang serta perpaduan instrumen gamelan yang mengiringinya sangat serasi dan harmonis.
Wayang "Cenk Blonk" adalah wayang Ramayana (wayang betel), bukan wayang Tantri ataupun wayang Babad. Nama Cenk Blonk diambil dari salah satu tokoh punakawan bernama Nang Klencenk dan Nang Keblonk yang lucu, baik wajah, suara, maupun sifat perilakunya.
Meskipun pertunjukannya sama seperti pertunjukan wayang lainnya, "Cenk Blonk" sarat dengan petuah-petuah (nasihat) dan lebih menonjolkan humor yang mengundang tawa penonton.
Suami Sagung Putri Puspadi (46) adalah sosok seniman dalang yang beda dengan dalang wayang kulit lainnya di Pulau Dewata. Pertujukannya dikemas sedemikian rupa sehingga berbagai kalangan relatif cukup menggemari.
Selain dikenal dengan banyolannya, juga memasukkan "gerong" (sinden) seperti halnya Wayang Jawa ataupun sendratari Bali. Pelibatan peran wanita dalam setiap pertunjukan membuat pementasan wayang menjadi lebih manis dan menarik.
Musik pengiring merupakan kolaborasi dari berbagai alat musik gamelan, seperti gamelan gender rambat, ceng-ceng kopyak, suling, rebab, dan kulkul dari bambu, mampu menambah meriah suasana pementasan.
Setiap pementasan sedikitnya melibatkan 30 penabuh. Beda dengan pementasan wayang biasa yang hanya melibatkan delapan sampai sepuluh orang. Meskipun demikian, sosok pria sederhana itu mengaku tidak pernah merasa puas terhadap hasil kreativitasnya dalam bidang seni.
Ayah dari dua putra itu tetap menerima masukan ataupun pendapat dari semua kalangan demi tetap eksisnya pertunjukan wayang kulit di Bali. Bahkan, ingin menjadikan wayang kulit sebagai salah satu kesenian yang tetap lestari dan disenangi semua kalangan, terutama generasi muda. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
Hal ini terlihat jelas dari adanya prosesi ritual yang disebut Tumpek Wayang, hari baik dalam kelender Bali untuk melaksanakan kegiatan ritual yang bermakna untuk menghormati wayang kulit agar tetap mempunyai taksu (karisma) sesuai dengan watak dalam pementasan wayang kulit.
Tumpek Wayang yang diperingati setiap enam bulan sekali, kali ini jatuh pada hari Sabtu, 11 April 2015, tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr. I Ketut Sumadi.
Hal itu dilakukan dengan mempersembahkan rangkaian janur (banten) kombinasi bunga, kue, dan buah-buahan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa yang umumnya dilakukan di tempat suci keluarga masing-masing (merajan).
Selain lewat prosesi ritual Tumpek Wayang, leluhur orang Bali sejak dini juga mengajarkan perilaku nyata sejak usia dini. Hanya saja cara atau metode masih bersifat tidak transparan dan penuh misteri (mekulit) sehingga untuk mengupasnya diperlukan ketajaman intuisi dan intelektual tersendiri.
Para orang tua zaman dahulu seperti sengaja tidak mau memberi penjelasan secara perinci karena mereka takut metode itu disalahgunakan atau bisa mengurangi nilai sakralnya, khususnya yang berkaitan dengan bidang kesenian, nilai-nilai pendidikan, karakter yang terkandung dalam ritual Tumpek Wayang.
Hal itu diimplementasikan dengan membentuk seka (grup) penari dan penabuh yang semua aktivitas mereka berolah seni berlangsung di balai banjar dan mendapat pengayoman dari warga banjar dengan baik.
Setiap banjar (dusun) di Bali memiliki grup kesenian yang anggotanya anak-anak dan orang dewasa sehingga setiap banjar sepertinya berlomba mementaskan kepiawaian menari dan menabuh, baik dalam rangka pementasan (ngayah) di pura saat piodalan maupun pada hari-hari tertentu, seperti pada Hari Raya Galungan dan Kuningan, memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan).
Fenomena tersebut tidak mengherankan jika wisatawan mancanegara yang berliburan ke Pulau Dewata menyebut hidup orang Bali penuh warna kesenian. Saat masih dalam kandungan orang Bali memang telah dibuatkan upacara "magedong-gedongan" dengan persembahan sesaji yang ditata sedemikian rupa penuh nuansa seni sehingga sesaji tersebut tidak hanya bernilai religius yang diharapkan dapat menjaga keselamatan bayi dalam kandungan.
Selain itu, juga mengandung makna penuh cita rasa seni membuat si ibu yang mengandung menjadi senang, penuh sukacita, dan gembira. Secara otomatis ritual itu telah memasukkan vibrasi kesenian kepada bayi yang ada dalam kandungan.
Demikian pula, saat baru lahir, kemudian berumur bulan pitung dina (satu bulan tujuh hari), telu bulan (tiga bulan), satu oton (enam bulan), dan seterusnya sampai dewasa dibuatkan upacara dengan perlengkapan sesajen yang sangat rumit dan makin tinggi pula nilai seninya.
Bagi orang ekonominya mampu, setiap rangkaian ritual itu diiringi dengan pementasan kesenian, termasuk wayang kulit yang tentunya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Dalang wayang kulit di Bali pada hari baik, yang kali ini jatuh pada hari Sabtu (11/3) melaksanakan ritual dengan menghaturkan "bebantenan" (rangkaian janur), ibarat memperingati hari kelahiran yang dilakukan setiap 210 hari sekali atau setiap enam bulan sekali.
Masyarakat Bali hingga kini masih mempercayai bahwa orang yang lahir tepat pada hari Tumpek Wayang dianggap "salah lahir". Untuk menjadikan yang bersangkutan kembali mempunyai keseimbangan lahir dan batin, pada saat hari ulang tahun, yang di Bali lumrah disebut "Otonan", wajib dibuatkan ritual otonan dan dimeriahkan dengan pementasan wayang kulit,
Hal itu, menurut Ketut Sumadi, bukan berarti hari-hari lain tidak perlu mementaskan wayang kulit. Pementasan seni tradisional itu erat kaitan dengan kelengkapan ritual keagamaan yang dilaksanakan di Pura maupun oleh masing-masing warga masyarkat setempat.
Paradigma Baru
Pementasan wayang pada hari Tumpek Wayang umumnya terjadi di mana-mana meskipun dalam beberapa tahun belakangan ini tidak begitu meriah dan terbatas hanya di beberapa tempat.
Namun, pementasan wayang kulit itu rutin dilakukan di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang lokasinya bersebelahan dengan Taman Budaya.
Mahasiswa Jurusan Pedalangan Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar berhasil melakukan terobosan untuk menemukan paradigma baru dalam dunia pewayangan. Mereka berharap pagelaran seni pewayangan itu mampu menarik perhatian masyarakat luas.
Upaya tersebut dilakukan dengan membentuk karakter seorang tokoh serta memadukan unsur tradisi dan kreasi untuk memperkaya pertunjukan wayang kulit.
Made Darma, alumnus Program Studi Seni Pedalangan FSP ISI Denpasar yang berhasil meraih gelar S-1 pada tahun 2011 itu mengemas pagelaran wayang agar menjadi sebuah pementasan yang menarik dan diminati masyarakat.
Hal itu dilakukan karena pegelaran wayang kulit di Bali selama ini identik dengan pertunjukan untuk kelengkapan ritual keagamaan dan adat sehingga jenis seni hiburan itu kurang menarik minat masyarakat setempat sebagai tontonan.
Pustaka Tarka, menurut Made Darma, adalah anugerah Dewa Siwa kepada Gana Kumara yang sedang belajar di Pesraman Kasurgwa Rena yang dipimpin Bagawan Asmaranata.
Guna Kumara mendapat tugas dari Begawan Asmaranata untuk memimpin pesraman. Dalam kondisi demikian banyak para dewa yang datang untuk bertenung sehingga menimbulkan kecemburuan Dewa Wisnu dan Dewa Brahma.
Dewa Brahma menguji kemampuan Gena Kumara. Setelah ditenung, Dewa Brahma sangat marah karena merasa ada yang tidak beres dan segera menggempur dengan kekuatan 100 raksasa yang muncul dari dalam dirinya.
Dewa Siwa mengetahui hal itu segera mengeluarkan kekuatan pancadewata dari dalam dirinya membela Guna Kumara sehingga terjadi pertempuran yang dahsyat. Namun, pancadewata akhirnya menang.
Kolaborasikan
I Wayan Nardayana (50), seniman dari Desa Belayu, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan yang juga alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dalam melakukan pementasan wayang kulit melakukan terobosan dengan mengolaborasikan unsur tradisi dan kreasi memperkaya pertunjukan wayang kulit.
Wayang "Cenk Blonk" yang dipentaskan dengan melibatkan belasan seniman setiap pagelarannya mampu memukau masyarakat penonton. Bahkan, penonton bisa ketagihan menyaksikan lelucon dengan penampilan si dalang yang khas, gaya memainkan wayang serta perpaduan instrumen gamelan yang mengiringinya sangat serasi dan harmonis.
Wayang "Cenk Blonk" adalah wayang Ramayana (wayang betel), bukan wayang Tantri ataupun wayang Babad. Nama Cenk Blonk diambil dari salah satu tokoh punakawan bernama Nang Klencenk dan Nang Keblonk yang lucu, baik wajah, suara, maupun sifat perilakunya.
Meskipun pertunjukannya sama seperti pertunjukan wayang lainnya, "Cenk Blonk" sarat dengan petuah-petuah (nasihat) dan lebih menonjolkan humor yang mengundang tawa penonton.
Suami Sagung Putri Puspadi (46) adalah sosok seniman dalang yang beda dengan dalang wayang kulit lainnya di Pulau Dewata. Pertujukannya dikemas sedemikian rupa sehingga berbagai kalangan relatif cukup menggemari.
Selain dikenal dengan banyolannya, juga memasukkan "gerong" (sinden) seperti halnya Wayang Jawa ataupun sendratari Bali. Pelibatan peran wanita dalam setiap pertunjukan membuat pementasan wayang menjadi lebih manis dan menarik.
Musik pengiring merupakan kolaborasi dari berbagai alat musik gamelan, seperti gamelan gender rambat, ceng-ceng kopyak, suling, rebab, dan kulkul dari bambu, mampu menambah meriah suasana pementasan.
Setiap pementasan sedikitnya melibatkan 30 penabuh. Beda dengan pementasan wayang biasa yang hanya melibatkan delapan sampai sepuluh orang. Meskipun demikian, sosok pria sederhana itu mengaku tidak pernah merasa puas terhadap hasil kreativitasnya dalam bidang seni.
Ayah dari dua putra itu tetap menerima masukan ataupun pendapat dari semua kalangan demi tetap eksisnya pertunjukan wayang kulit di Bali. Bahkan, ingin menjadikan wayang kulit sebagai salah satu kesenian yang tetap lestari dan disenangi semua kalangan, terutama generasi muda. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015