Denpasar (Antara Bali) - Ketua Komisi II DPRD Provinsi Bali Ketut Suwandhi mendesak para anggota DPR dari Pulau Dewata itu turut memperjuangkan kelonggaran penjualan bir di daerah-daerah pariwisata.
"Untuk perjuangan ini, ujung tombaknya tentu wakil rakyat kita yang ada di Jakarta," kata politikus Partai Golongan Karya tersebut di Denpasar, Senin.
Menurut dia, jika Peraturan Menteri Perdagangan No 6 Tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol efektif diberlakukan, maka akan berdampak terhadap ribuan pedagang bir di kawasan wisata Bali.
"Di sana ada ribuan pedagang yang akan kehilangan pendapatan. Padahal dalam satu krat saja, mereka bisa mendapatkan keuntungan di atas Rp150 ribu," ujarnya.
Pihaknya dalam waktu dekat akan mengumpulkan fraksi-fraksi di DPRD Bali terkait persoalan itu untuk kemudian masukannya akan disampaiikan kepada anggota DPR dan DPRD dari daerah pemilihan Bali.
"Di sisi lain, kami lihat Permendag tersebut munculnya kebablasan dan dengan sosialisasi yang kurang," katanya.
Sementara itu, pelukis Wayan Redika berpendapat bahwa yang lebih penting bukan pelarangan untuk menjual di minimarket dan warung pengecer, melainkan materi tata kelolanya yang harus diatur.
"Di sektor kesenian akan banyak sekali dampak pelarangan tersebut karena tidak sedikit seniman yang baru bisa berekspresi ketika sudah menenggak bir," ujarnya.
Seniman pun setelah meminum bir, ucap dia, selama ini tidak ada yang sampai membuat keributan.
Ia membayangkan juga kalau di kafe-kafe daerah wisata itu tidak terdapat bir, justru akan memicu keributan.
Kartunis Jango Paramartha menimpali bahwa aturan penjualan minuman beralkohol selama ini tidaklah mengancam generasi muda untuk ikut-ikutan mengonsumsi itu.
"Justru yang lebih banyak dampak positifnya bagi perekonomian kita," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Untuk perjuangan ini, ujung tombaknya tentu wakil rakyat kita yang ada di Jakarta," kata politikus Partai Golongan Karya tersebut di Denpasar, Senin.
Menurut dia, jika Peraturan Menteri Perdagangan No 6 Tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol efektif diberlakukan, maka akan berdampak terhadap ribuan pedagang bir di kawasan wisata Bali.
"Di sana ada ribuan pedagang yang akan kehilangan pendapatan. Padahal dalam satu krat saja, mereka bisa mendapatkan keuntungan di atas Rp150 ribu," ujarnya.
Pihaknya dalam waktu dekat akan mengumpulkan fraksi-fraksi di DPRD Bali terkait persoalan itu untuk kemudian masukannya akan disampaiikan kepada anggota DPR dan DPRD dari daerah pemilihan Bali.
"Di sisi lain, kami lihat Permendag tersebut munculnya kebablasan dan dengan sosialisasi yang kurang," katanya.
Sementara itu, pelukis Wayan Redika berpendapat bahwa yang lebih penting bukan pelarangan untuk menjual di minimarket dan warung pengecer, melainkan materi tata kelolanya yang harus diatur.
"Di sektor kesenian akan banyak sekali dampak pelarangan tersebut karena tidak sedikit seniman yang baru bisa berekspresi ketika sudah menenggak bir," ujarnya.
Seniman pun setelah meminum bir, ucap dia, selama ini tidak ada yang sampai membuat keributan.
Ia membayangkan juga kalau di kafe-kafe daerah wisata itu tidak terdapat bir, justru akan memicu keributan.
Kartunis Jango Paramartha menimpali bahwa aturan penjualan minuman beralkohol selama ini tidaklah mengancam generasi muda untuk ikut-ikutan mengonsumsi itu.
"Justru yang lebih banyak dampak positifnya bagi perekonomian kita," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015