Denpasar (Antara Bali) - Pengembangan sektor pertanian di Indonesia selama ini dinilai kurang menggembirakan, akibat orientasi kebijakan ekonomi kurang akrab dengan pembangunan pertanian.
"Sektor pertanian cenderung kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan sektor lainnya," kata Kepala Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr Wayan Windia, di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, pembangunan pertanian yang digaungkan cenderung merupakan slogan saja, sehingga agak kontradiktif, Indonesia yang mempunyai sumberdaya alam (pertanian) yang sangat besar, justru menjadi negara importir sejumlah komoditi yang sebenarnya produksinya dapat ditingkatkan di dalam negeri.
Komoditas yang didatangkan dari luar negeri itu antara lain buah-buahan, daging sapi, terigu, gula, beras, paha ayam, bahkan sampai garam.
Windia menilai, padahal komoditas yang didatangkan dari luar negeri itu sebenarnya produksi dapat ditingkatkan sampai swasembada, jika pemerintah menggarap pertanian secara serius.
Walau ada program revitalisasi pertanian, namun sampai kini belum banyak membawa perubahan di sektor pertanian, sehingga kondisi itu sangat merisaukan.
Sementara itu, tampaknya berkembang pola pikir yang cendrung menganggap bahwa perekonomian makro maupun sektor riil lainnya, tidak terkait secara erat dengan keragaan sektor pertanian.
Hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan pertanian dalam mendukung pembangunan ekonomi. Ekses lebih jauh, para pelaku di sektor pertanian, mulai dari petani padi, pengusaha kecil sampai perusahaan pertanian menjadi tidak berdaya dan frustrasi menghadapi politik pertanian diskriminatif.
Windia mengingatkan, menyadari kemunduran yang dialami sektor pertanian, kehutanan dan kelautan, lalu dicanangkan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan untuk lima tahun ke depan.
Dokumen revitalisasi itu sangat strategis, namun belum jelas bagaimana kebijakan revitalisasi ini dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah. Kemudian diturunkan dalam rencana pembangunan tahunan, sehingga bisa dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja.
Hal itu penting menurut Prof Windia, tanpa diturunkan sampai ke level kebijakan operasional dan anggaran, implementasi peletakan dasar revitalisasi sebagai proses berkelanjutan sulit dilakukan.
Revitalisasi seharusnya menjadikan pertanian sebagai basis pembangunan ekonomi. Artinya, sektor-sektor ekonomi non-pertanian juga diarahkan untuk mendukung pertanian. Misalnya pembiayaan, baik oleh bank maupun lembaga non-bank, tutur Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Sektor pertanian cenderung kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan sektor lainnya," kata Kepala Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr Wayan Windia, di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, pembangunan pertanian yang digaungkan cenderung merupakan slogan saja, sehingga agak kontradiktif, Indonesia yang mempunyai sumberdaya alam (pertanian) yang sangat besar, justru menjadi negara importir sejumlah komoditi yang sebenarnya produksinya dapat ditingkatkan di dalam negeri.
Komoditas yang didatangkan dari luar negeri itu antara lain buah-buahan, daging sapi, terigu, gula, beras, paha ayam, bahkan sampai garam.
Windia menilai, padahal komoditas yang didatangkan dari luar negeri itu sebenarnya produksi dapat ditingkatkan sampai swasembada, jika pemerintah menggarap pertanian secara serius.
Walau ada program revitalisasi pertanian, namun sampai kini belum banyak membawa perubahan di sektor pertanian, sehingga kondisi itu sangat merisaukan.
Sementara itu, tampaknya berkembang pola pikir yang cendrung menganggap bahwa perekonomian makro maupun sektor riil lainnya, tidak terkait secara erat dengan keragaan sektor pertanian.
Hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan pertanian dalam mendukung pembangunan ekonomi. Ekses lebih jauh, para pelaku di sektor pertanian, mulai dari petani padi, pengusaha kecil sampai perusahaan pertanian menjadi tidak berdaya dan frustrasi menghadapi politik pertanian diskriminatif.
Windia mengingatkan, menyadari kemunduran yang dialami sektor pertanian, kehutanan dan kelautan, lalu dicanangkan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan untuk lima tahun ke depan.
Dokumen revitalisasi itu sangat strategis, namun belum jelas bagaimana kebijakan revitalisasi ini dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah. Kemudian diturunkan dalam rencana pembangunan tahunan, sehingga bisa dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja.
Hal itu penting menurut Prof Windia, tanpa diturunkan sampai ke level kebijakan operasional dan anggaran, implementasi peletakan dasar revitalisasi sebagai proses berkelanjutan sulit dilakukan.
Revitalisasi seharusnya menjadikan pertanian sebagai basis pembangunan ekonomi. Artinya, sektor-sektor ekonomi non-pertanian juga diarahkan untuk mendukung pertanian. Misalnya pembiayaan, baik oleh bank maupun lembaga non-bank, tutur Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015