Jakarta (Antara Bali) - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia
meminta kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang
mengeluarkan larangan transshipment atau alih muatan terhadap komoditas perikanan di tengah laut jangan dipukul rata.
"Kadin minta penerapan kebijakan transshipment benar-benar melihat realitas di lapangan. Jadi, tidak dipukul rata," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut Yugi Prayanto, kebijakan larangan alih muatan penting untuk tidak dipukul rata karena Kadin mencatat bahwa tidak semua pelaku alih muatan tersebut belum tentu semuanya bermain nakal.
Jika kebijakan transshipment harus tetap dijalankan secara merata pada seluruh nelayan dari semua golongan, menurut dia, penangkapan ikan tuna bisa mengalami pembusukan.
Masalahnya, ujar dia, ukuran kapal nelayan dari tingkatan yang kecil tentu tidak memiliki kecanggihan kapal-kapal yang lebih besar, khususnya dengan kapal-kapal yang memiliki teknologi cold storage (ruang pendingin) yang memadai.
"Jadi, mereka itu hanya punya penyimpanan ikan tuna bermodalkan es batu saja. Dengan demikian, kalau balik lagi ke daratan, tidak efisien," katanya.
Oleh karena itu, Kadin berharap agar penerapan kebijakan transshipment memperhatikan kondisi nelayan di lapangan.
Sebelumnya, tindakan transshipment atau alih muatan kapal di tengah laut dinilai merupakan indikator kuat yang mengarah terjadinya tindak pidana pencurian ikan di berbagai negara, termasuk juga di Indonesia.
"Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) juga menggarisbawahi bahwa transshipment adalah indikator terkuat terjadinya IUU fishing (pencurian ikan)," kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Hakim, di Jakarta, Rabu (3/12).
Apalagi, menurut dia, sekitar 30 persen yang diperdagangkan dari Indonesia ke pasar-pasar dunia diindikasikan mengandung IUU Fishing.
Menyinggung sejumlah asosiasi perikanan yang menolak larangan transshipment karena dikhawatirkan komoditas ikan yang ditangkap dapat cepat basi, Abdul Halim mengingatkan para pengusaha perikanan terkait dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
"Baca kembali UU Perikanan, pengelolaan sumber daya perikanan berdasarkan sistem bisnis perikanan: pramelaut, melaut, pengolahan, dan pemasaran," katanya.
Dengan demikian, lanjut dia, seharusnya pengusaha perikanan sudah memiliki rencana komplit dari penangkapan hingga pengolahan dan penjualan.
"Indonesia harus meniru Norwegia, tidak lagi jual barang mentah, tetapi olahan," pungkasnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Kadin minta penerapan kebijakan transshipment benar-benar melihat realitas di lapangan. Jadi, tidak dipukul rata," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut Yugi Prayanto, kebijakan larangan alih muatan penting untuk tidak dipukul rata karena Kadin mencatat bahwa tidak semua pelaku alih muatan tersebut belum tentu semuanya bermain nakal.
Jika kebijakan transshipment harus tetap dijalankan secara merata pada seluruh nelayan dari semua golongan, menurut dia, penangkapan ikan tuna bisa mengalami pembusukan.
Masalahnya, ujar dia, ukuran kapal nelayan dari tingkatan yang kecil tentu tidak memiliki kecanggihan kapal-kapal yang lebih besar, khususnya dengan kapal-kapal yang memiliki teknologi cold storage (ruang pendingin) yang memadai.
"Jadi, mereka itu hanya punya penyimpanan ikan tuna bermodalkan es batu saja. Dengan demikian, kalau balik lagi ke daratan, tidak efisien," katanya.
Oleh karena itu, Kadin berharap agar penerapan kebijakan transshipment memperhatikan kondisi nelayan di lapangan.
Sebelumnya, tindakan transshipment atau alih muatan kapal di tengah laut dinilai merupakan indikator kuat yang mengarah terjadinya tindak pidana pencurian ikan di berbagai negara, termasuk juga di Indonesia.
"Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) juga menggarisbawahi bahwa transshipment adalah indikator terkuat terjadinya IUU fishing (pencurian ikan)," kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Hakim, di Jakarta, Rabu (3/12).
Apalagi, menurut dia, sekitar 30 persen yang diperdagangkan dari Indonesia ke pasar-pasar dunia diindikasikan mengandung IUU Fishing.
Menyinggung sejumlah asosiasi perikanan yang menolak larangan transshipment karena dikhawatirkan komoditas ikan yang ditangkap dapat cepat basi, Abdul Halim mengingatkan para pengusaha perikanan terkait dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
"Baca kembali UU Perikanan, pengelolaan sumber daya perikanan berdasarkan sistem bisnis perikanan: pramelaut, melaut, pengolahan, dan pemasaran," katanya.
Dengan demikian, lanjut dia, seharusnya pengusaha perikanan sudah memiliki rencana komplit dari penangkapan hingga pengolahan dan penjualan.
"Indonesia harus meniru Norwegia, tidak lagi jual barang mentah, tetapi olahan," pungkasnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015