Denpasar (Antara Bali) - Praktisi pariwisata Bagus Sudibya menyatakan bahwa pembatasan pelaksanaan rapat pegawai negeri sipil (PNS) di hotel mulai 1 Desember 2014, berdampak besar terhadap industri pariwisata di Bali.
"Ini sudah krisis. Di satu sisi kami sepakat aturan itu karena untuk efisiensi anggaran pemerintah dan efisiensi itu bisa dialihkan untuk infrastruktur dan untuk kesejahteraan rakyat. Tetapi di sisi lain (aturan) itu berdampak besar bagi pariwisata," katanya dalam sebuah diskusi di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, pemberlakuan aturan tersebut akan berdampak terhadap hotel yang selama ini bergantung terhadap bisnis MICE atau "meeting, incentive, conference dan exhibition" yang kerap dilaksanakan oleh pemerintah.
"Kontribusi pemerintah terhadap MICE itu berkisar satu persen bahkan hingga 100 persen," ucap Wakil Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali itu.
Sementara itu Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali mencatat kerugian yang cukup besar sebagai akibat pelarangan rapat yang digelar oleh pemerintah di hotel.
"Dari Kabupaten Badung dilaporkan ada sekitar 25 persen (kerugian) dari sektor MICE (`meeting, incentive, conference and exhibition`) saja," kata Ketua PHRI Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati.
Menurut dia, industri MICE berkontribusi cukup besar untuk pendapatan perhotelan di Pulau Dewata yang selama ini banyak digelar oleh kementerian, BUMN atau pemerintah daerah.
"Masalah MICE sekarang tidak boleh padahal itu menjadi salah satu indikator pendapatan. Begitu kami kembangkan, sekarang tidak boleh," katanya dengan nada keluh.
Pemerintah sebelumnya mengeluarkan edaran Nomor 11 tahun 2014 yang berisi tentang pembatasan kegiatan pertemuan rapat di luar kantor seperti di hotel. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Ini sudah krisis. Di satu sisi kami sepakat aturan itu karena untuk efisiensi anggaran pemerintah dan efisiensi itu bisa dialihkan untuk infrastruktur dan untuk kesejahteraan rakyat. Tetapi di sisi lain (aturan) itu berdampak besar bagi pariwisata," katanya dalam sebuah diskusi di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, pemberlakuan aturan tersebut akan berdampak terhadap hotel yang selama ini bergantung terhadap bisnis MICE atau "meeting, incentive, conference dan exhibition" yang kerap dilaksanakan oleh pemerintah.
"Kontribusi pemerintah terhadap MICE itu berkisar satu persen bahkan hingga 100 persen," ucap Wakil Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali itu.
Sementara itu Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali mencatat kerugian yang cukup besar sebagai akibat pelarangan rapat yang digelar oleh pemerintah di hotel.
"Dari Kabupaten Badung dilaporkan ada sekitar 25 persen (kerugian) dari sektor MICE (`meeting, incentive, conference and exhibition`) saja," kata Ketua PHRI Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati.
Menurut dia, industri MICE berkontribusi cukup besar untuk pendapatan perhotelan di Pulau Dewata yang selama ini banyak digelar oleh kementerian, BUMN atau pemerintah daerah.
"Masalah MICE sekarang tidak boleh padahal itu menjadi salah satu indikator pendapatan. Begitu kami kembangkan, sekarang tidak boleh," katanya dengan nada keluh.
Pemerintah sebelumnya mengeluarkan edaran Nomor 11 tahun 2014 yang berisi tentang pembatasan kegiatan pertemuan rapat di luar kantor seperti di hotel. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014