Gianyar (Antara Bali) - Tidak sedikit perajin patung dan barang kerajinan lain dari bahan kayu albasia yang kini beralih profesi menjadi petani di Pulau Dewata.
"Masalahnya, kayu albasia yang biasa dijadikan bahan baku patung dan barang aksesoris lain untuk kepentingan ekspor, keberadaannya kini semakin langka. Kalau toh ada, harganya sangat mahal," ujar Made Bayu, perajin patung ketika ditemui di Gianyar, Bali, Sabtu.
Ia menyebutkan, di satu sisi harga kayu albasia begitu melambung, namun di sisi lain harga jual untuk barang kerajinan dari bahan itu tetap rendah.
"Kondisi ini telah menyebabkan banyak perajin yang tadinya menggeluti aneka kerajinan patung dan barang aksesoris lain berbahan baku kayu, mengubah profesi dan kembali menjadi petani," ujar Made Bayu.
Ia menyatakan, di Desa Keliki, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, hampir 80 persen warganya bekerja sebagai perajin aneka barang berbahan baku kayu untuk komoditas ekspor.
"Saat warga bisa melakukan itu, ekonomi masyarakat di desa tersebut tumbuh pesat," ucapnya.
Namun sekarang, lanjut dia, mereka yang masih menggeluti seni kerajinan itu bisa dihitung dengan jari akibat kayu albasia yang selama ini dijadikan bahan baku kerajinan keberadaannya semakin langka dan harganya mahal
Made Bayu mengatakan, melambungnya harga kayu albasia yang kini mencapai Rp3 juta per pohon, di satu sisi telah menyebabkan sejumlah perajin kayu menjerit, namun di sisi lain memberikan keuntungan besar bagi para petani, terutama di Kabupaten Bangli yang selama ini menanam kayu jenis itu.
Oleh sebab itu, sejak beberapa tahun terakhir petani di Bangli ramai-ramai menanam pohon albasia di tegalan miliknya. Hingga saat ini, diperkirakan jutaan pohon albasia yang telah ditanam warga di daerah berhawa sejuk itu.
Begitu pula di daerah kabupaten lainnya di Bali seperti di Gianyar sendiri, banyak lahan tegalan maupun lahan di pinggiran sungai ditanami albasia karena harganya menggiurkan sebagai bahan kerajinan, termasuk untuk bangunan rumah.
"Harga kayu mahal, tetapi setelah menjadi barang kerajinan seperti patung, bunga dari kayu atau perabotan rumah tangga, harganya yang diberi para pengepul sangat rendah," kata dia dengan menambahkan, harga rendah itu tampaknya sejalan dengan harga yang diminta para importir.
Kenyataan tersebut telah menyebabkan perajin mengubah profesi, antara lain kembali menjadi petani dan tukang bangunan, kata Ketut Sudira, perajin lainnya di Gianyar.
Ia mengatakan, kayu albasia menjadi langka dan mahal karena sebelumnya sempat diserang hama.
Selain itu, lanjut dia, saking banyaknya manfaat kayu albasia, maka harganya pun melambung. Petani banyak menanam bibit pohon tersebut, namun tanaman milik petani sempat terserang hama dan penyakit yang disebut gendolo (Paraserianthes falcataria).
Serangan hama inilah penyebab utama produksi kayu semakin berkurang hingga menyebabkan mahal. Ia mengaku khawatir realisasi ekspor kerajinan kayu dari Bali berkurang drastis tahun ini. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010
"Masalahnya, kayu albasia yang biasa dijadikan bahan baku patung dan barang aksesoris lain untuk kepentingan ekspor, keberadaannya kini semakin langka. Kalau toh ada, harganya sangat mahal," ujar Made Bayu, perajin patung ketika ditemui di Gianyar, Bali, Sabtu.
Ia menyebutkan, di satu sisi harga kayu albasia begitu melambung, namun di sisi lain harga jual untuk barang kerajinan dari bahan itu tetap rendah.
"Kondisi ini telah menyebabkan banyak perajin yang tadinya menggeluti aneka kerajinan patung dan barang aksesoris lain berbahan baku kayu, mengubah profesi dan kembali menjadi petani," ujar Made Bayu.
Ia menyatakan, di Desa Keliki, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, hampir 80 persen warganya bekerja sebagai perajin aneka barang berbahan baku kayu untuk komoditas ekspor.
"Saat warga bisa melakukan itu, ekonomi masyarakat di desa tersebut tumbuh pesat," ucapnya.
Namun sekarang, lanjut dia, mereka yang masih menggeluti seni kerajinan itu bisa dihitung dengan jari akibat kayu albasia yang selama ini dijadikan bahan baku kerajinan keberadaannya semakin langka dan harganya mahal
Made Bayu mengatakan, melambungnya harga kayu albasia yang kini mencapai Rp3 juta per pohon, di satu sisi telah menyebabkan sejumlah perajin kayu menjerit, namun di sisi lain memberikan keuntungan besar bagi para petani, terutama di Kabupaten Bangli yang selama ini menanam kayu jenis itu.
Oleh sebab itu, sejak beberapa tahun terakhir petani di Bangli ramai-ramai menanam pohon albasia di tegalan miliknya. Hingga saat ini, diperkirakan jutaan pohon albasia yang telah ditanam warga di daerah berhawa sejuk itu.
Begitu pula di daerah kabupaten lainnya di Bali seperti di Gianyar sendiri, banyak lahan tegalan maupun lahan di pinggiran sungai ditanami albasia karena harganya menggiurkan sebagai bahan kerajinan, termasuk untuk bangunan rumah.
"Harga kayu mahal, tetapi setelah menjadi barang kerajinan seperti patung, bunga dari kayu atau perabotan rumah tangga, harganya yang diberi para pengepul sangat rendah," kata dia dengan menambahkan, harga rendah itu tampaknya sejalan dengan harga yang diminta para importir.
Kenyataan tersebut telah menyebabkan perajin mengubah profesi, antara lain kembali menjadi petani dan tukang bangunan, kata Ketut Sudira, perajin lainnya di Gianyar.
Ia mengatakan, kayu albasia menjadi langka dan mahal karena sebelumnya sempat diserang hama.
Selain itu, lanjut dia, saking banyaknya manfaat kayu albasia, maka harganya pun melambung. Petani banyak menanam bibit pohon tersebut, namun tanaman milik petani sempat terserang hama dan penyakit yang disebut gendolo (Paraserianthes falcataria).
Serangan hama inilah penyebab utama produksi kayu semakin berkurang hingga menyebabkan mahal. Ia mengaku khawatir realisasi ekspor kerajinan kayu dari Bali berkurang drastis tahun ini. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010