Jakarta (Antara Bali) - Per 1 Mei 2014 pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi melakukan penyesuaian tarif dasar listrik (TDL) bagi kalangan industri besar.

Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No.9 Tahun 2014 yang mengatur kenaikan tarif listrik industri besar secara bertahap.

Permen ESDM itu menyebutkan penyesuaian tarif listrik telah mendapat persetujuan Komisi VII DPR saat rapat dengan Menteri ESDM pada 21 Januari 2014. Kemudian, Aturan tersebut ditandatangani Menteri ESDM Jero Wacik pada 1 April 2014.

Dalam lampiran Permen ESDM disebutkan, kenaikan tarif industri besar dilakukan dalam empat kali, yakni 1 Mei, 1 Juli, 1 September, dan 1 November 2014.

Kenaikan tarif berlaku untuk industri skala besar yang memakai listrik bertegangan menengah dengan daya di atas 200 kVA atau golongan I3 khusus perusahaan berstatus terbuka, dan pemakai tegangan tinggi dengan daya di atas 30.000 kVA atau golongan I4.

Sejak wacana ini merebak, dunia usaha menyatakan keberatan dengan kebijakan ini. Gagasan kenaikan TDL itu pun langsung menuai protes dari kalangan pengusaha dan industri, salah satunya dari industri tekstil.

Kalangan industri tekstil resah menanggapi keputusan pemerintah menaikkan TDL industri. Pengusaha pun telah berancang-ancang menaikkan harga jual produknya untuk mengimbangi melambungnya biaya produksi.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat, memperkirakan harga produk tekstil akan naik sekitar 15 persen untuk mengimbangi naiknya biaya produksi akibat kenaikan TDL.

"Kenaikan harga produk itu justru menguntungkan importir tekstil yang tidak mengalami kenaikan harga di negara asal. Maka poduk tekstil impor akan lebih membanjiri pasar dalam negeri," kata Ade.

Oleh karena itu, ia memandang kenaikan tarif listrik industri ini bersifat kontraproduktif dengan keinginan pemerintah menggalakkan investasi di Indonesia. 

Ade membandingkan kebijakan listrik di Indonesia dengan di Korea Selatan, yang justru memberi tarif lebih murah kepada industri ketimbang pelanggan rumah tangga.

Reaksi serupa pun disampaikan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, yang menilai kebijakan pemerintah menaikkan tarif listrik industri bagi pelanggan I-3 dan I-4 berdampak pada melemahnya daya saing industri dalam negeri.

"Kami sudah mengajukan keberatan dan usulan penundaan kenaikan tarif listrik itu. Karena kenaikan TDL itu berakibat pada biaya produksi yang akan menjadi tinggi, dan hal itu tentu nantinya akan berakibat pada menurunnya daya saing industri nasional," kata Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulistyo.

Terkait langkah untuk menghadapi kenaikan tarif listrik industri yang sudah terlanjur ditetapkan itu, Suryo mengatakan para pengusaha industri mungkin akan menempuh berbagai cara, antara lain dengan memotong biaya operasional atau menaikkan harga jual produk.

Namun, ibarat makan buah simalakama, cara apapun yang ditempuh sepertinya selalu ada dampak negatifnya.

"Investor kan memerlukan keuntungan yang layak, kalau biaya operasional semakin tinggi, maka mau tidak mau kami harus menaikkan harga jual produk," ujar Suryo. 

"Tetapi kan tidak semua industri bisa melakukan cara itu. Bila produknya terlalu mahal, yang ada konsumen tidak ada yang mau membeli. Jadi ini memang serba susah bagi kalangan industri," lanjutnya.  

Ia menambahkan, bila situasinya sudah terlalu sulit, kalangan industri akhirnya harus menempuh cara yang realistis, yakni mulai dari menutup usahanya, melakukan relokasi, atau bahkan melakukan PHK untuk menekan biaya.

Ketika ditanya mengenai kemungkinan upaya relokasi oleh beberapa pengusaha dan investor, Suryo memperkirakan hal itu mungkin saja terjadi.

"Kalau sudah terlalu memberatkan untuk berusaha di Indonesia, bisa saja para pengusaha dan investor itu memindahkan usahanya ke negara lain. Ini lah yang harus kita cegah, jangan sampai ini terjadi karena dampaknya juga tidak baik bagi perekonomian nasional," ungkapnya.

Walaupun demikian, Ketum Kadin itu memaklumi kebijakan kenaikan tarif listrik industri yang dikeluarkan pemerintah, tetapi ia mendesak pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk dapat meningkatkan efisiensi.  

"Kami sangat prihatin dengan kenaikan TDL untuk industri ini, tetapi kami juga bisa memahami mungkin pemerintah melihat subsidi listrik dan BBM itu cukup berat. Namun, kami ingin PLN lebih berupaya meningkatkan efisiensinya," ucap Suryo.

"Jangan kalau ada apa-apa cuma pengusaha yang disuruh menanggung. Padahal, di PLN sendiri masih banyak yang bisa dilakukan untuk menghemat biaya dengan meningkatkan efisiensi," tegasnya.

Menurut dia, efisiensi itu dapat dilakukan salah satunya dengan mengkonversi penggunaan bahan bakar diesel ke gas. 

Untuk kenaikan tarif listrik industri secara bertahap sampai akhir 2014, Suryo mengatakan pihaknya akan mengajukan agar pemerintah dapat menangguhkan hal itu untuk sementara.
 
Terkait kompensasi yang diharapkan dari pemerintah bagi kalangan industri besar untuk menghadapi kenaikan TDL itu, ia mengaku pihaknya belum memikirkan kompensasi yang paling tepat. 

"Kami belum memikirkan sejauh itu, tetapi seyogyanya pemerintah memikirkan juga kompensasi yang bisa diberikan, baik berupa penurunan pajak atau kebijakan khusus yang lebih meringankan, seperti insentif fiskal atau insentif moneter," katanya.

"Bagaimanapun, pemerintah punya tanggung jawab untuk membuat iklim usaha yang sekondusif mungkin demi pembangunan ekonomi nasional," ujar Suryo. (WDY)

Pewarta: Oleh Yuni Arisandy Sinaga

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014