Denpasar (Antara Bali) - Pengamat budaya dari Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Dr. Ketut Sumadi mengingatkan agar para pemimpin dan majelis utama desa pakraman (MUDP) di Bali mampu mendorong kehidupan yang lebih bergairah di desa adat.
"Hal itu dapat dilakukan dengan memutar `cakra yadnya` yakni orang Bali dan para pendatang sama-sama membangun sikap religiusitas dengan mengamalkan nilai-nilai kearifan lokal Tri Hita Karana (THK) yang melandasi kehidupan desa adat," kata Ketut Sumadi yang juga Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, upaya itu dilakukan melalui pertemuan untuk membangkitkan dan mengaktifkan organisasi (paiketan) para pemangku, pemimpin kegiatan ritual, tukang "banten" yang membuat rangkaian janur untuk ritual dan kelompok pendukung lainnya dalam kegiatan adat dan ritual.
Organisasi itu termasuk sekaa pesantian (kelompok pembaca ayat-ayat suci agama Hindu), sekaa kesenian yang merangkul penari dan penabuh, ahli bangunan (undagi) dan pengurus lembaga perkreditan desa (LPD) lembaga keuangan di masing-masing desa adat.
Ketut Sumadi mengingatkan, semua organisasi tradisional di Bali itu mampu dibangkitkan kembali untuk berperanserta secara aktif sesuai keterampilan dan keahlian yang dimiliki dalam memacu dan menyukseskan pembangunan di wilayah desa adat masing-masing.
Untuk itu Pemerintah Provinsi Bali, Pemkab dan Pemkot dapat memberikan dukungan moral maupun bantuan dana kepada organisasi tradisional tersebut yang tersebar pada 1.480 desa adat.
"Upaya itu merupakan dasar untuk dapat menggerakkan `Cakra Yadnya` dalam menjaga ketahanan desa pakraman di Bali," ujar Ketut Sumadi.
Jika potensi dan keahlian mereka bisa dikelola serta ditingkatkan dengan bantuan ilmu majaneman modern, maka mereka akan menjadi ujung tombak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masing-masing desa pakraman.
Upaya itu sekaligus mendorong pengembangan lembaga perkreditan desa (LPD) dan koperasi desa, karena roda perekonomian diputar oleh warga desa adat sendiri melalui kegiatan ritual dan adat yang dilakoni secara tulus iklas, ujar Ketut Sumadi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Hal itu dapat dilakukan dengan memutar `cakra yadnya` yakni orang Bali dan para pendatang sama-sama membangun sikap religiusitas dengan mengamalkan nilai-nilai kearifan lokal Tri Hita Karana (THK) yang melandasi kehidupan desa adat," kata Ketut Sumadi yang juga Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, upaya itu dilakukan melalui pertemuan untuk membangkitkan dan mengaktifkan organisasi (paiketan) para pemangku, pemimpin kegiatan ritual, tukang "banten" yang membuat rangkaian janur untuk ritual dan kelompok pendukung lainnya dalam kegiatan adat dan ritual.
Organisasi itu termasuk sekaa pesantian (kelompok pembaca ayat-ayat suci agama Hindu), sekaa kesenian yang merangkul penari dan penabuh, ahli bangunan (undagi) dan pengurus lembaga perkreditan desa (LPD) lembaga keuangan di masing-masing desa adat.
Ketut Sumadi mengingatkan, semua organisasi tradisional di Bali itu mampu dibangkitkan kembali untuk berperanserta secara aktif sesuai keterampilan dan keahlian yang dimiliki dalam memacu dan menyukseskan pembangunan di wilayah desa adat masing-masing.
Untuk itu Pemerintah Provinsi Bali, Pemkab dan Pemkot dapat memberikan dukungan moral maupun bantuan dana kepada organisasi tradisional tersebut yang tersebar pada 1.480 desa adat.
"Upaya itu merupakan dasar untuk dapat menggerakkan `Cakra Yadnya` dalam menjaga ketahanan desa pakraman di Bali," ujar Ketut Sumadi.
Jika potensi dan keahlian mereka bisa dikelola serta ditingkatkan dengan bantuan ilmu majaneman modern, maka mereka akan menjadi ujung tombak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masing-masing desa pakraman.
Upaya itu sekaligus mendorong pengembangan lembaga perkreditan desa (LPD) dan koperasi desa, karena roda perekonomian diputar oleh warga desa adat sendiri melalui kegiatan ritual dan adat yang dilakoni secara tulus iklas, ujar Ketut Sumadi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014