Yogyakarta (Antara Bali) - Minat ilmuwan di Indonesia menulis jurnal ilmiah masih rendah
dibandingkan dengan negara lain, kata peneliti Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, Mudasir.
"Data dari Scientific American Survey (1994) menunjukkan kontribusi tahunan scientist dan scholars Indonesia pada pengetahuan, sains, dan teknologi hanya 0,012 persen," katanya di Yogyakarta, Selasa.
Pada lokakarya "Publikasi Ilmiah Jurnal Nasional dan Internasional bagi Mahasiswa S-3", ia mengatakan angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontribusi Singapura yang mencapai 0,179 persen.
"Jika dibandingkan dengan sumbangan ilmuwan di Amerika Serikat (AS), angka itu tidak signifikan, karena di negara Paman Sam mencapai 20 persen," katanya.
Menurut dia, rendahnya minat menulis artikel ilmiah di Indonesia disebabkan beberapa faktor. Selain tidak tahu bagaimana cara menulis karya ilmiah demgan baik, penghargaan (insentif) dari universitas juga masih kecil.
Di sisi lain situasi jurnal ilmiah di Indonesia juga belum optimal. Contohnya, oplah jurnal ilmiah di Indonesia yang terbatas hanya sekitar 400 kopi per edisi, serta sirkulasinya terbatas, bersifat lokal, dan tidak dilanggani perpustakaan.
"Bahkan, juga belum disertai abstrak dalam bahasa Inggris. Akibatnya jurnal ilmiah kita tidak begitu dihiraukan oleh dunia saintifik," katanya.
Ia mengatakan dalam masyarakat ilmiah yang relatif belum berkembang, kegiatan diseminasi melalui "peer-review" perlu diberi dorongan yang memadai.
"Dengan adanya skema penelitian yang mengharuskan publikasi, diharapkan dapat meningkatkan gairah peneliti Indonesia untuk mempublikasikan hasil penelitiannya di jurnal ilmiah bertaraf nasional terakreditasi dan peer-review international journals," katanya.
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Biologi UGM Budi Setyadi Daryono mengatakan tanpa adanya publikasi maka ilmu pengetahuan akan mati.
Menurut dia, kualitas penelitian dosen maupun ilmuwan Indonesia tidak kalah jika dibandingkan penelitian dari luar negeri.
"Poin pentingnya adalah bagaimana menulis ilmiah itu menjadi budaya yang terus dilestarikan. Bahasa Inggris bukan menjadi kendala bagi kita untuk terus menulis," katanya.(WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Data dari Scientific American Survey (1994) menunjukkan kontribusi tahunan scientist dan scholars Indonesia pada pengetahuan, sains, dan teknologi hanya 0,012 persen," katanya di Yogyakarta, Selasa.
Pada lokakarya "Publikasi Ilmiah Jurnal Nasional dan Internasional bagi Mahasiswa S-3", ia mengatakan angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontribusi Singapura yang mencapai 0,179 persen.
"Jika dibandingkan dengan sumbangan ilmuwan di Amerika Serikat (AS), angka itu tidak signifikan, karena di negara Paman Sam mencapai 20 persen," katanya.
Menurut dia, rendahnya minat menulis artikel ilmiah di Indonesia disebabkan beberapa faktor. Selain tidak tahu bagaimana cara menulis karya ilmiah demgan baik, penghargaan (insentif) dari universitas juga masih kecil.
Di sisi lain situasi jurnal ilmiah di Indonesia juga belum optimal. Contohnya, oplah jurnal ilmiah di Indonesia yang terbatas hanya sekitar 400 kopi per edisi, serta sirkulasinya terbatas, bersifat lokal, dan tidak dilanggani perpustakaan.
"Bahkan, juga belum disertai abstrak dalam bahasa Inggris. Akibatnya jurnal ilmiah kita tidak begitu dihiraukan oleh dunia saintifik," katanya.
Ia mengatakan dalam masyarakat ilmiah yang relatif belum berkembang, kegiatan diseminasi melalui "peer-review" perlu diberi dorongan yang memadai.
"Dengan adanya skema penelitian yang mengharuskan publikasi, diharapkan dapat meningkatkan gairah peneliti Indonesia untuk mempublikasikan hasil penelitiannya di jurnal ilmiah bertaraf nasional terakreditasi dan peer-review international journals," katanya.
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Biologi UGM Budi Setyadi Daryono mengatakan tanpa adanya publikasi maka ilmu pengetahuan akan mati.
Menurut dia, kualitas penelitian dosen maupun ilmuwan Indonesia tidak kalah jika dibandingkan penelitian dari luar negeri.
"Poin pentingnya adalah bagaimana menulis ilmiah itu menjadi budaya yang terus dilestarikan. Bahasa Inggris bukan menjadi kendala bagi kita untuk terus menulis," katanya.(WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014