Denpasar (Antara Bali) - Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Bali berpandangan jika semakin banyak caleg perempuan yang menjadi wakil rakyat di parlemen, maka mereka akan lebih berempati terhadap permasalahan perlindungan anak khususnya di Pulau Dewata.
"Dengan adanya wakil perempuan di parlemen, kami rasa akan ada komitmen mereka terhadap optimalisasi perlindungan anak di Bali," kata Sekretaris LPA, Bali Titik Suharyati di Denpasar, Sabtu.
Namun, ujar dia, tentu sebelumnya harus dibarengi dengan pemahaman yang mendalam caleg perempuan itu sendiri tentang perlindungan anak.
"Dengan demikian, aturan atau kebijakan terhadap perlindungan anak dapat dikeluarkan maupun digolkan sesuai dengan kebutuhan di lapangan," ujarnya yang juga aktivis anti-rokok itu.
Titik menambahkan, persoalan perlindungan anak saat ini di Bali bukan semata pada sisi aturan, tetapi lebih kepada keinginan yang kuat (political will) untuk memberikan perlindungan terhadap anak secara bersama-sama, baik itu anggota legislatif, eksekutif, masyarakat dan orang tua.
Ia mencontohkan kasus yang mengorbankan anak-anak seperti kasus pedofilia, lebih baik memakai UU Perlindungan Anak karena hukumannya berat-berat.
"Jangan sampai untuk kasus yang sama, namun hukuman yang diatur dalam perda justru maksimal enam bulan," ujarnya.
Di sisi lain, salah satu aktivis LSM Bali Sruti itu mengingatkan yang tidak kalah penting adalah anggaran yg bertujuan untuk memfasilitasi anak-anak. Tentu anggaran yang sesuai kebutuhan anak di lapangan.
"Untuk anggota legislatif laki-laki, sebenarnya ada juga yang peduli. Tetapi masalahnya, seringkali anggaran yang turun tidak berubah," katanya.
Bahkan, tambah Titik, ada juga anggaran yang sebelumnya untuk rehabilitasi anak sebagai korban dan dana untuk kongres anak di Bali yang sekarang malah hilang semua.
"Menurut salah satu anggota DPRD Bali dari kaum perempuan, semula sudah masuk semua, namun saat habis pembahasan dan mau ketok palu hilang semua," ucap Titik. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Dengan adanya wakil perempuan di parlemen, kami rasa akan ada komitmen mereka terhadap optimalisasi perlindungan anak di Bali," kata Sekretaris LPA, Bali Titik Suharyati di Denpasar, Sabtu.
Namun, ujar dia, tentu sebelumnya harus dibarengi dengan pemahaman yang mendalam caleg perempuan itu sendiri tentang perlindungan anak.
"Dengan demikian, aturan atau kebijakan terhadap perlindungan anak dapat dikeluarkan maupun digolkan sesuai dengan kebutuhan di lapangan," ujarnya yang juga aktivis anti-rokok itu.
Titik menambahkan, persoalan perlindungan anak saat ini di Bali bukan semata pada sisi aturan, tetapi lebih kepada keinginan yang kuat (political will) untuk memberikan perlindungan terhadap anak secara bersama-sama, baik itu anggota legislatif, eksekutif, masyarakat dan orang tua.
Ia mencontohkan kasus yang mengorbankan anak-anak seperti kasus pedofilia, lebih baik memakai UU Perlindungan Anak karena hukumannya berat-berat.
"Jangan sampai untuk kasus yang sama, namun hukuman yang diatur dalam perda justru maksimal enam bulan," ujarnya.
Di sisi lain, salah satu aktivis LSM Bali Sruti itu mengingatkan yang tidak kalah penting adalah anggaran yg bertujuan untuk memfasilitasi anak-anak. Tentu anggaran yang sesuai kebutuhan anak di lapangan.
"Untuk anggota legislatif laki-laki, sebenarnya ada juga yang peduli. Tetapi masalahnya, seringkali anggaran yang turun tidak berubah," katanya.
Bahkan, tambah Titik, ada juga anggaran yang sebelumnya untuk rehabilitasi anak sebagai korban dan dana untuk kongres anak di Bali yang sekarang malah hilang semua.
"Menurut salah satu anggota DPRD Bali dari kaum perempuan, semula sudah masuk semua, namun saat habis pembahasan dan mau ketok palu hilang semua," ucap Titik. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014