Denpasar (Antara Bali) - Sistem organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Bali sepenuhnya berwatak sosio-kultural, berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat sekitarnya.

Segala perubahan yang mungkin terjadi dalam subak pada dasarnya merupakan sebuah proses transformasi dari sistem irigasi, untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi dalam lingkungan sekitarnya.

"Subak mulai dicatat keberadaannya pada abad XI. Yakni pada tahun 1072, atau 393 tahun setelah sistem pertanian mulai ditemukan di Bali. Sepanjang kurun waktu tersebut, subak terus mengalami proses transformasi," ujar Guru Besar Universitas Udayana (Unud), Prof Dr. I Wayan Windia di Denpasar, Minggu.

Ketua pusat penelitian subak Unud itu menjelaskan, awal pembentukan subak hanya berperan untuk mengelola sistem irigasinya agar mampu memberikan pelayanan yang adil bagi anggotanya.

Namun sesuai perkembangan sosio-kultural yang terjadi pada masyarakat sekitarnya, subak melakukan kegiatan pembangunan pura di kawasannya (Pura Bedugul), melaksanakan kegiatan ritual serta mengangkat pemimpin ritual (pemangku) untuk pura yang ada di subak bersangkutan.

Menurut Windia (65), pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949 itu subak juga mengambil peran dalam proses pembangunan pertanian, melakukan berbagai perubahan dalam struktur organisasinya.

Hal lain yang tidak kalah penting melakukan penyesuaian pada kewenangan pengelolaan pada fisik (palemahan ) subak dan melakukan perubahan dalam proses interaksinya dengan berbagai pihak yang berkepentingan.

Proses transformasi yang terjadi dalam subak pada dasarnya karena pengaruh yang kuat dari para pemimpin pemerintahan. Pada zaman kerajaan, sistem subak mengalami transformasi karena pengaruh para raja.

Namun sekarang pada sistem pemerintahan nasional, maka kebijakan para pemimpin pemerintahan nasional mampu mempengaruhi subak. Para raja tampaknya berpengaruh pada pelaksanaan aktivitas ritual subak .

Selanjutnya, kebijakan pemerintah nasional tampaknya berpengaruh pada sistem pengelolaan subak. Kebijakan pemerintah yang paling baru, yang akan berpengaruh pada subak adalah dengan kelahiran UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, dan PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi.

Berkait dengan peran raja di Bali untuk mendorong subak melakukan kegiatan ritual, maka subak di Bali berkembang sebagai suatu sistem irigasi, yang memiliki kelebihan yang penting dibandingkan dengan fungsi sistem irigasi secara umum.

Miliki kelebihan

Berbagai kalangan menyebutkan subak sebagai sistem irigasi-plus, memiliki kelebihan dalam melakukan aktivitas ritual, karena sistem irigasi subak belum dapat dikategorikan ke dalam irigasi teknis, mengingat kesederhanaan konstruksinya.

Pada umumnya konstruksi yang tersedia masih dalam keadaan darurat, yang belum memperhatikan persyaratan kelayakan teknis dan non teknis bangunan. Namun demikian, sistem irigasi subak telah terbukti efektif mendistribusikan air irigasi secara adil bagi anggotanya (petani).

Fungsi untuk melakukan kegiatan ritual dalam subak, pada dasarnya adalah sebuah kegiatan budaya. Fungsi tersebut justru dianggap penting, karena merupakan kegiatan perekat persatuan dan kesatuan dalam subak.

Selain itu mereka direkatkan pula oleh adanya kepentingan pada air secara bersama-sama. Dengan demikian, persatuan yang terjadi pada subak, tidak saja disebabkan karena faktor fisikal, namun juga karena faktor spiritual.

Pada masa depan, permasalahan air yang akan semakin komplek, tidak akan dapat dipecahkan karena pendekatan fisik, namun harus dibantu pemecahannya dengan pendekatan budaya.

Prof. Windia menjelaskan, masalah yang dialami subak akan semakin kompleks berkait dengan kemunculan UU No.7 tahun 2004. Dalam UU itu, muncul Pasal 7 yang memuat tentang Hak Guna Usaha Air (di samping pasal tentang Hak Guna Air, yang diperuntukkan bagi petani) yang memungkinkan adanya hak investor untuk mengelola dan mengusahakan air.

Demikian pula munculnya Pasal 13 yang memuat tentang eksistensi Dewan Sumberdaya Air. Selanjutnya dalam PP No. 20 tahun 2006 muncul pula Pasal 9 yang memuat tentang Komisi Irigasi.

Masalahnya adalah, apa upaya yang harus dilakukan, agar subak di Bali dapat diberdayakan. Dengan demikian, maka subak dapat berperan secara positif dalam lembaga Dewan Sumberdaya Air dan Komisi Irigasi.

Kalau hal ini mampu diupayakan, maka subak akan mampu berperan melakukan dialog yang saling menguntungkan, apabila ada pihak swasta yang berniat melakukan investasi dalam pengelolaan air, sesuai amanat UU No. 7 tahun 2004.

Salah satu kelemahan sistem irigasi yang berlandaskan sosio- kultural, seperti halnya subak adalah ketidak mampuannya untuk melawan intervensi yang datang dari eksternal. Di lain pihak kekuatan dari sistem irigasi yang berwatak sosio-kultural yakni kemampuannya untuk mengabsorbsi perkembangan teknologi yang berkembang di sekitarnya.

Selain itu kemampuan untuk beradaptasi dengan dinamika budaya di sekitarnya, menata organisasinya bersifat fleksibel, yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan strategisnya .

Jika kekuatan yang dimiliki subak tersebut dapat diberdayakan, maka subak diharapkan mampu menghadapi berbagai kebijakan yang mungkin dapat merugikannya. Dengan demikian keberadaan subak di Bali akan dapat berlanjut dan berdaya, ujar Prof Windia.

Organisasi pengairan yang selama ini masih merupakan terbaik di antara pengairan yang ada di Indonesia itu memiliki berbagai kearifan dan kecerdasan lokal.

Identitas subak sebagai organisasi tradisional Bali memiliki sifat dasar sosio-kultural yang unik, unggul, dan kaya akan kearifan lokal dengan berbagai kecerdasan yang dimiliki, merupakan bagian dari kebudayaan.

Kearifan lokal dalam organisasi subak memperoleh keunikan lokal berbasis konsepsi Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia denngan lingkungan dan manusia dengan Tuhan dan mendapat apresiasi unirversal.

Esensi kearifan lokal adalah komitmen yang tinggi terhadap kelestarian alam, rasa relegiusitas, subyektivikasi manusia dan konstruksi penalaran yang berempati pada persembahan, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan untuk jagadhita berkelanjutan.

Dalam rentangan panjang kebudayaan agraris, organisasi subak yang diperkirakan telah berkembang sekitar sepuluh abad (sejak abad XI) telah membangun jaringan struktural dan fungsional yang kokoh, tutur Prof Windia. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014