Denpasar (Antara Bali) -Mantan Direktur Eksekutif Elsam, I Gusti Agung Putri Astrid, mengemukakan, proses peradilan kasus tindak pidana perkosaan sarat diskriminasi terhadap kaum perempuan, karena sistem hukum Indonesia yang legalistik tanpa memberikan rasa keadilan kepada para korbannya.

"Coba bayangkan dalam kasus perkosaan, harus ada empat orang saksi plus ada penetrasi. Kalau tidak ada bukti itu tidak bisa disidangkan, meski perkosaan itu memang terjadi, sehingga sudah waktunya ada reformasi hukum terutama yang mendiskriminasi perempuan," ujar Caleg DPR RI No 3 Dapil Bali dari PDIP ini di Denpasar, Minggu.

Selain itu, katanya, putusan hakim sangat tergantung pada dakwaan jaksa, karena hakim tidak bisa melakukan temuan bukti sendiri. Apa yang diputuskan hakim tentunya tergantung pada tuntutan jaksa, padahal untuk putusan yang lebih adil para hakim tidak mesti hanya tergantung pada bukti dan tuntutan jaksa.

Agung Putri yang juga anggota Kaukus Parlemen ASEAN untuk HAM ini menjelaskan, kasus perkosaan terus meningkat yang sangat memarginalkan kaum perempuan yang menjadi korbannya, karena hukum yang berlaku sekarang bukan hanya lemah dalam penegakkan, tetapi juga lemah dalam substansi materi hukumnya.

"Para korban yang lemah dan tertindas, sulit mendapatkan akses keadilan, apalagi bila pelakunya terkait dengan orang orang yang memiliki otoritas, keadilan akan sulit ditegakkan," ujar Agung Putri yang merupakan salah seorang aktivis yang telah berperan besar dalam menyuarakan masalah HAM di tingkat Nasional dan Internasional ini.

Menurut alumnus FISIP Unair dan Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda ini, menilai ancaman kekerasan terhadap kaum perempuan di Bali juga sangat rawan terutama para pekerja perempuan yang pergi malam hari dan atau pulang malam hari.

Karena itu, katanya, saatnya pemerintah daerah bersama pihak pihak terkait termasuk pengguna jasa kaum perempuan yang cukup menjamur di Bali segera meluncurkan program transportasi khusus bagi upaya perlindungan terhadap pekerja perempuan.

"Apalagi Bali termasuk daerah transit perdagangan manusia sehingga praktek kekerasan terhadap perempuan cukup rawan," ujarnya.

Menurut dia, beban moral dan psikologis kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan cukup tinggi. Karena itu, semua pihak harus berupaya membantu kaum perempuan agar terhindar dari kejahatan seksual. Meski peran keluarga juga cukup dominan dalam melakukan pembinaan kepada anak-anaknya.

"Khusus di Bali posisi kaum perempuan memang sangat rawan terhadap pelanggaran HAM, meski sudah ada peraturan yang mengatur hak-hak perempuan, tetapi implementasinya sangat sulit, karena terkait dengan masalah adat dan budaya," demikian Agung Putri.

Lembaga Study dan Advokasi Masyarakat (Elsam) merupakan salah satu LSM tingkat Nasional yang giat menyuarakan kepedulian terhadap penegakkan HAM di Indonesia sejak era reformasi. (WDY)

Pewarta: Oleh Wira Suryantala

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014