Denpasar (Antara Bali) - Pengamat budaya dari Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Ketut Sumadi menilai Bali warisan banyak pusaka budaya berupa tembang kidung (ayat-ayat suci agama Hindu) yang dikumandangkan menyertai prosesi ritual keagamaan.
"Bali dulu setelah dikenalnya teknologi pengeras suara sekitar 1960-an, jika ada perayaan hari suci keagamaan di pura atau tempat-tempat yang disucikan, tembang-kidung seolah-olah memenuhi ruang dan waktu kehidupan orang Bali," kata Dr. Ketut Sumadi yang juga Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar, Minggu.
Ia sebelumnya tampil sebagai pembicara dalam diskusi "Dharmatula Sosialita Agama dan Budaya" di Bentara Budaya Bali di Ketewel, Kabupaten Gianyar yang dimeriahkan dengan pementasan kolaborasi kidung, tari dan lukis.
Makidung menjadi bagian dari proses yoga, olah pikiran, kata, dan tindakan melalui kreativitas seni budaya, menembangkan nilai-nilai kearifan hidup melintasi ruang dan waktu menuju harmonisasi.
"Saat mendengar tembang kidung mendayu-dayu dari desa seberang, atau ketika mendengarkan orang makidung, orang Bali tidak hanya mendapat penanda adanya prosesi panjang sebuah ritual sedang berlangsung di desa tersebut, tetapi juga mendapat siraman vibrasi magis spritualitas yang diembuskan semilir angin alam perdesaan," katanya.
Ia mengatakan bahwa hal itu dimaknai sebagai energi pembangkit daya berkreavitas di jalan-jalan kecemerlangan ikatan persaudaraan (manyamabraya).
Oleh sebab itu, leluhur orang Bali dari generasi ke genarasi penuh percaya diri melakoni olah kreativitas menciptakan beraneka genre irama kidung. Proses transformasi kreativitas mencipta kidung berjalan seirama dinamika zaman dan alam perdesaan. (ADT)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Bali dulu setelah dikenalnya teknologi pengeras suara sekitar 1960-an, jika ada perayaan hari suci keagamaan di pura atau tempat-tempat yang disucikan, tembang-kidung seolah-olah memenuhi ruang dan waktu kehidupan orang Bali," kata Dr. Ketut Sumadi yang juga Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar, Minggu.
Ia sebelumnya tampil sebagai pembicara dalam diskusi "Dharmatula Sosialita Agama dan Budaya" di Bentara Budaya Bali di Ketewel, Kabupaten Gianyar yang dimeriahkan dengan pementasan kolaborasi kidung, tari dan lukis.
Makidung menjadi bagian dari proses yoga, olah pikiran, kata, dan tindakan melalui kreativitas seni budaya, menembangkan nilai-nilai kearifan hidup melintasi ruang dan waktu menuju harmonisasi.
"Saat mendengar tembang kidung mendayu-dayu dari desa seberang, atau ketika mendengarkan orang makidung, orang Bali tidak hanya mendapat penanda adanya prosesi panjang sebuah ritual sedang berlangsung di desa tersebut, tetapi juga mendapat siraman vibrasi magis spritualitas yang diembuskan semilir angin alam perdesaan," katanya.
Ia mengatakan bahwa hal itu dimaknai sebagai energi pembangkit daya berkreavitas di jalan-jalan kecemerlangan ikatan persaudaraan (manyamabraya).
Oleh sebab itu, leluhur orang Bali dari generasi ke genarasi penuh percaya diri melakoni olah kreativitas menciptakan beraneka genre irama kidung. Proses transformasi kreativitas mencipta kidung berjalan seirama dinamika zaman dan alam perdesaan. (ADT)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014