Denpasar (Antara Bali) - Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1/2013 mengharuskan adanya pengawasan terhadap hakim-hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
"Uji kelayakan dan kepatutan calon hakim kontitusi merupakan ketentuan rosponsif yang menjadi harapan seluruh masyarakat di Nusantara," kata pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Prof Dr Drs Yohanes Usfunan SH MA di Denpasar, Minggu.
Guru besar Fakultas Hukum Unud itu mengatakan, para hakim MK itu sebelumnya ditetapkan presiden, yang terlebih dulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh panel ahli.
Presiden, DPR dan Mahkamah Agung mengajukan calon hakim konstitusi kepada panel ahli masing-masing paling banyak tiga kali dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan.
Selanjutnya panel hhli menyampaikan calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sesuai dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan ditambah satu orang kepada MA, DPR dan presiden.
Mahkamah Agung, DPR, dan presiden memilih hakim konstitusi sesuai jumlah yang dibutuhkan dari nama yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh panel ahli, serta mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan.
Prof Usfunan yang juga mantan anggota tim pakar seleksi Hakim Agung RI dan Komisi Yudisial RI mengingatkan, pascaterbongkarnya skandal suap mantan Ketua MK Akhil Mochtar terkait pilkada, menimbulkan gugatan dari sebagian kalangan masyarakat yang menghendaki penyelesaian sengekata pilkada diserahkan kepada Pengadilan Tinggi dan MA.
Namun sebaliknya, kalangan lain menghendaki penyelesaian sengketa pilkada tetap ditangani MK. Untuk itu perlu dikaji hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut, antara lain Pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI 1945, yang menetapkan gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Pemilihan kepala daerah sesuai ketentuan pasal itu tidak bisa dimasukan dalam pemilihan umum, sehingga penanganan sengketa pilkada menjadi kompetensi Pengadilan Tinggi dan MA.
Demikian pula Pasal 22E Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 menentukan, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPD.
Salah satu kewenangan MK, sesuai Pasal 24C ayat (1) yakni memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dengan menggunakan ketentuan tersebut, MK kemudian menetapkan pilkada masuk dalam pemilihan umum.
Guna mengefektifkan kewenangan MK ke depan penanganan sengekata pilkada tetap ditangani MK dengan meningkatkan pengawasan dan perbaikan sistem rekrutmen calon hakim MK.
Pengawasan terhadap hakim konstitusi akan lebih mudah ketimbang mengawasi hakim-hakim Pengadilan Tinggi di seluruh wilayah provinsi di Nusantara dalam penanganan sengekata pilkada, ujar Prof Yohanes Usfunan. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Uji kelayakan dan kepatutan calon hakim kontitusi merupakan ketentuan rosponsif yang menjadi harapan seluruh masyarakat di Nusantara," kata pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Prof Dr Drs Yohanes Usfunan SH MA di Denpasar, Minggu.
Guru besar Fakultas Hukum Unud itu mengatakan, para hakim MK itu sebelumnya ditetapkan presiden, yang terlebih dulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh panel ahli.
Presiden, DPR dan Mahkamah Agung mengajukan calon hakim konstitusi kepada panel ahli masing-masing paling banyak tiga kali dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan.
Selanjutnya panel hhli menyampaikan calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sesuai dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan ditambah satu orang kepada MA, DPR dan presiden.
Mahkamah Agung, DPR, dan presiden memilih hakim konstitusi sesuai jumlah yang dibutuhkan dari nama yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh panel ahli, serta mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan.
Prof Usfunan yang juga mantan anggota tim pakar seleksi Hakim Agung RI dan Komisi Yudisial RI mengingatkan, pascaterbongkarnya skandal suap mantan Ketua MK Akhil Mochtar terkait pilkada, menimbulkan gugatan dari sebagian kalangan masyarakat yang menghendaki penyelesaian sengekata pilkada diserahkan kepada Pengadilan Tinggi dan MA.
Namun sebaliknya, kalangan lain menghendaki penyelesaian sengketa pilkada tetap ditangani MK. Untuk itu perlu dikaji hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut, antara lain Pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI 1945, yang menetapkan gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Pemilihan kepala daerah sesuai ketentuan pasal itu tidak bisa dimasukan dalam pemilihan umum, sehingga penanganan sengketa pilkada menjadi kompetensi Pengadilan Tinggi dan MA.
Demikian pula Pasal 22E Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 menentukan, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPD.
Salah satu kewenangan MK, sesuai Pasal 24C ayat (1) yakni memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dengan menggunakan ketentuan tersebut, MK kemudian menetapkan pilkada masuk dalam pemilihan umum.
Guna mengefektifkan kewenangan MK ke depan penanganan sengekata pilkada tetap ditangani MK dengan meningkatkan pengawasan dan perbaikan sistem rekrutmen calon hakim MK.
Pengawasan terhadap hakim konstitusi akan lebih mudah ketimbang mengawasi hakim-hakim Pengadilan Tinggi di seluruh wilayah provinsi di Nusantara dalam penanganan sengekata pilkada, ujar Prof Yohanes Usfunan. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013