Denpasar (Antara Bali) - Indonesia jauh sebelum merdeka secara sosial budaya terdiri atas berbagai etnik dengan budaya dan tradisi masing-masing yang diwarisi dikenal sebagai masyarakat plural, terdiri atas berbagai suku bangsa, etnik dan kelompok masyarakat.
Dari segi sosial kemasyarakatan kelompok-kelompok kekuatan yang satu sama lain dapat berintegrasi. Sifat kemajemukan itu secara horizontal dapat dilihat masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai etnik dan suku bangsa.
Kondisi demikian itu menjadi semakin kokoh dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang terpampang melengkung pada sehelai pita yang dicengkram kedua kaki Burung Garuda, lambang negara RI, disamping Pancasila, UUD-45 dan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tutur Guru besar Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia. MS.
Prof Windia yang juga menjabat Ketua Dewan Harian 1945 Provinsi Bali menjelaskan, para pemimpin dan pendiri bangsa Indonesia telah menjadikan filosofis Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia.
Demikian pula dua pilar lainnya UUD 1945 dan keutuhan NKRI tidak bisa diganggu yang menjadi harga mati. Pemikiran tentang landasan dasar Pancasila sebagai dasar negara dicetuskan pertama kali oleh Ir Soekarno 1 Juni 1945. Kelima butir-butir Pancasila itu mencerminkan keadaan atau potensi sosial budaya Indonesia.
Kelima butir Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia seharusnya mampu dipahami secara dinamis dan dilaksanakan secara seimbang oleh seluruh bangsa Indonesia.
Hal itu penting ditekankan, mengingat dalam praktek Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sering kali tidak seimbang, sehingga perlu adanya kontral satu sama lain, termasuk di tingkat pimpinan oleh masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Untuk itu pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949 atau 64 tahun silam itu mendambakan Pancasila sebagai mata pelajaran di sekolah dasar hingga perguruan tinggi sebagai upaya membangun karakter bangsa.
Mata pelajaran Pancasila perlu diberikan kembali kepada anak didik mulai tingkat sekolah dasar hingga jenjang perguruan tinggi. Hal itu strategis mengingat lembaga pendidikan formal memegang peranan penting dalam membangkitkan rasa kebangsaan dan bernegara dengan memahami dan mengamalkan empat pilar tersebut.
Bidang pendidikan Pancasila mutlak perlu diajarkan kembali, sehingga generasi sekarang mampu meneruskan dan melanjutkan cita-cita para pemimpin pendiri bangsa Indonesia.
Keteladanan
Profesor yang juga menjabat Ketua Badan Penjaminan Mutu Universitas Udayana itu memandang perlunya keteladanan para pemimpim politik dan negara untuk menjadikan Pancasila sebagai visi pembangunan.
Pembangunan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat harus menekankan sesuai pengamalan Pancasila sehingga mampu mewujudkan pemerataan tingkat kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.
Dengan demikian tidak memunculkan pembangunan kapitalis, mengingat pembangunan sekarang dinilai telah menyimpang dan tidak lagi mencerminkan nilai keadilan, bahkan dinilai jauh menyimpang dari sila keeempat Pancasila yakni Kerakayatan yang dipimpuin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan.
Para pendiri bangsa dan negara Indonesia, sadar betul kemajemukan yang diangkat dalam UUD 1945 yang diaplikasikan dalam legislatif ada unsur dari golongan dan minoritas yang diangkat pemerintah.
Dengan demikian unsur minoritas dan golongan yang terpinggirkan merasa terwakili dalam anggota DPRD tingkat Kabupaten/Kota, provinsi hingga DPR-RI.
Namun unsur itu sekarang tidak ada sehingga golongan minoritas, orang miskin atau yang terpinggirkan tidak lagi terwakili di legislatif. Kondisi demikian salah satu di antaranya memicu ketidakadilan ekonomi dan politik yang menyimpang dari Pancasila dan keteladanan.
Demikian pula pemahaman Pancasila di tingkat rumah tangga sangat penting untuk memberikan keteladanan kepada masing-masing anggota keluarga.
Sistem Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang dinilai sangat baik pada era pemerintahan orde baru, sebaiknya juga dapat dikembangkan kembali, karena semua sadar selama ini bangsa Indonesia tidak memiliki referensi tutur Prof Windia.
Tingkatkan Moral
Anggota Komisi D DPRD Kabupaten Badung, I Made Retha sependapat dengan Prof Windia tentang perlu pendidikan Pancasila kepada setiap anak didik untuk meningkatkan moral generasi muda.
Hal itu penting mengingat banyak generasi muda yang mengalami penyimpangan prilaku akibat pengaruh lingkungan yang negatif dan kurangnya pendidikan Pancasila di sekolah.
Maraknya penyimpangan perilaku anak belakangan ini cukup memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah terutama kalangan guru yang bersinergi dengan orang tua pelajar.
Ketua Dewan Harian 1945 Provinsi Bali Prof Windia yang merangkul Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jeneral TNI (Purn) Tyasno Sudarto telah mendeklarasikan Pembentukan Gerakan Nasional Pembudayaan Pancasila (GNPP) Provinsi Bali, 15 Agustus 2013.
Pendeklarasian GNPP Bali tersebut dilatarbelakangi Pancasila digali, disepakati, dan ditetapkan sebagai dasar negara RI, karena diyakini memiliki daya mampu untuk mempersatukan dan menjaga keutuhan NKRI.
Pada saat itu bangsa Indonesia masih sangat muda, nyala api perang dan revolusi kemerdekaan Indonesia masih menyala-nyala. Seluruh kepentingan ditujukan untuk bangsa dan Negara.
Kepentingan partai, kelompok, golongan, suku, agama, ras, dan juga kepentingan pribadi seolah-olah lenyap, dan diletakkan di bawah kepentingan bangsa dan Negara. Konsep nasionalisme dan patriotisme, masih konsisten berhembus dan berkibar di hati sanubari semua elemen bangsa.
Semua elemen bangsa senantiasa ikhlas, setia kawan, bahu-membahu, untuk rela berkorban demi bangsa dan Negara Indonesia. Perjalanan bangsa terus berlanjut dan menghadapi berbagai tantangan zaman. Transformasi budaya terus menerus terjadi. Konsep "idealisme", telah bertransformasi menjadi konsep "pragmatisme".
Konsep "ke-ikhlas-an" telah bertransformasi menjadi konsep "kepentingan". Konsep "setia-kawan" telah bertransformasi menjadi konsep "individualisme". Konsep berkorban telah bertransformasi menjadi konsep menerima.
Semua itu tampaknya terjadi, karena hati nurani bangsa telah kalah melawan konsep dan nilai yang dibawa oleh arus globalisasi. Globalisasi mengusung konsep kompetisi yang melahirkan konsep kapitalisme, libralisme, konsumerisme, dan matarialsme.
Bangsa Indonesia tampaknya belum siap menghadapi tantangan dan dampak globalisasi yang sangat dahyat. Selain itu bangsa Indonesia tampaknya terlupa dengan jati diri yang memiliki falsafah Pancasila.
Pancasila tidak dijalankan secara maksimal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan tidak dijalankan sebagai pengamalan Pancasila.
Jika hal itu terus berlanjut mengandung sesuatu yang bahaya bagi masa depan bangsa. Sebuah bangsa yang dulu dibangun dengan tetesan darah, dan berbagai pengorbanan lahir bathin, oleh para pendiri bangsa.
Untuk itu perlu kesadaran tentang jati diri bangsa, yang mendapat warisan pusaka dasar Negara Pancasila untuk kembali dikobarkan di setiap insan bangsa Indonesia, harap Prof Windia. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
Dari segi sosial kemasyarakatan kelompok-kelompok kekuatan yang satu sama lain dapat berintegrasi. Sifat kemajemukan itu secara horizontal dapat dilihat masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai etnik dan suku bangsa.
Kondisi demikian itu menjadi semakin kokoh dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang terpampang melengkung pada sehelai pita yang dicengkram kedua kaki Burung Garuda, lambang negara RI, disamping Pancasila, UUD-45 dan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tutur Guru besar Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia. MS.
Prof Windia yang juga menjabat Ketua Dewan Harian 1945 Provinsi Bali menjelaskan, para pemimpin dan pendiri bangsa Indonesia telah menjadikan filosofis Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia.
Demikian pula dua pilar lainnya UUD 1945 dan keutuhan NKRI tidak bisa diganggu yang menjadi harga mati. Pemikiran tentang landasan dasar Pancasila sebagai dasar negara dicetuskan pertama kali oleh Ir Soekarno 1 Juni 1945. Kelima butir-butir Pancasila itu mencerminkan keadaan atau potensi sosial budaya Indonesia.
Kelima butir Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia seharusnya mampu dipahami secara dinamis dan dilaksanakan secara seimbang oleh seluruh bangsa Indonesia.
Hal itu penting ditekankan, mengingat dalam praktek Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sering kali tidak seimbang, sehingga perlu adanya kontral satu sama lain, termasuk di tingkat pimpinan oleh masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Untuk itu pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949 atau 64 tahun silam itu mendambakan Pancasila sebagai mata pelajaran di sekolah dasar hingga perguruan tinggi sebagai upaya membangun karakter bangsa.
Mata pelajaran Pancasila perlu diberikan kembali kepada anak didik mulai tingkat sekolah dasar hingga jenjang perguruan tinggi. Hal itu strategis mengingat lembaga pendidikan formal memegang peranan penting dalam membangkitkan rasa kebangsaan dan bernegara dengan memahami dan mengamalkan empat pilar tersebut.
Bidang pendidikan Pancasila mutlak perlu diajarkan kembali, sehingga generasi sekarang mampu meneruskan dan melanjutkan cita-cita para pemimpin pendiri bangsa Indonesia.
Keteladanan
Profesor yang juga menjabat Ketua Badan Penjaminan Mutu Universitas Udayana itu memandang perlunya keteladanan para pemimpim politik dan negara untuk menjadikan Pancasila sebagai visi pembangunan.
Pembangunan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat harus menekankan sesuai pengamalan Pancasila sehingga mampu mewujudkan pemerataan tingkat kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.
Dengan demikian tidak memunculkan pembangunan kapitalis, mengingat pembangunan sekarang dinilai telah menyimpang dan tidak lagi mencerminkan nilai keadilan, bahkan dinilai jauh menyimpang dari sila keeempat Pancasila yakni Kerakayatan yang dipimpuin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan.
Para pendiri bangsa dan negara Indonesia, sadar betul kemajemukan yang diangkat dalam UUD 1945 yang diaplikasikan dalam legislatif ada unsur dari golongan dan minoritas yang diangkat pemerintah.
Dengan demikian unsur minoritas dan golongan yang terpinggirkan merasa terwakili dalam anggota DPRD tingkat Kabupaten/Kota, provinsi hingga DPR-RI.
Namun unsur itu sekarang tidak ada sehingga golongan minoritas, orang miskin atau yang terpinggirkan tidak lagi terwakili di legislatif. Kondisi demikian salah satu di antaranya memicu ketidakadilan ekonomi dan politik yang menyimpang dari Pancasila dan keteladanan.
Demikian pula pemahaman Pancasila di tingkat rumah tangga sangat penting untuk memberikan keteladanan kepada masing-masing anggota keluarga.
Sistem Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang dinilai sangat baik pada era pemerintahan orde baru, sebaiknya juga dapat dikembangkan kembali, karena semua sadar selama ini bangsa Indonesia tidak memiliki referensi tutur Prof Windia.
Tingkatkan Moral
Anggota Komisi D DPRD Kabupaten Badung, I Made Retha sependapat dengan Prof Windia tentang perlu pendidikan Pancasila kepada setiap anak didik untuk meningkatkan moral generasi muda.
Hal itu penting mengingat banyak generasi muda yang mengalami penyimpangan prilaku akibat pengaruh lingkungan yang negatif dan kurangnya pendidikan Pancasila di sekolah.
Maraknya penyimpangan perilaku anak belakangan ini cukup memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah terutama kalangan guru yang bersinergi dengan orang tua pelajar.
Ketua Dewan Harian 1945 Provinsi Bali Prof Windia yang merangkul Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jeneral TNI (Purn) Tyasno Sudarto telah mendeklarasikan Pembentukan Gerakan Nasional Pembudayaan Pancasila (GNPP) Provinsi Bali, 15 Agustus 2013.
Pendeklarasian GNPP Bali tersebut dilatarbelakangi Pancasila digali, disepakati, dan ditetapkan sebagai dasar negara RI, karena diyakini memiliki daya mampu untuk mempersatukan dan menjaga keutuhan NKRI.
Pada saat itu bangsa Indonesia masih sangat muda, nyala api perang dan revolusi kemerdekaan Indonesia masih menyala-nyala. Seluruh kepentingan ditujukan untuk bangsa dan Negara.
Kepentingan partai, kelompok, golongan, suku, agama, ras, dan juga kepentingan pribadi seolah-olah lenyap, dan diletakkan di bawah kepentingan bangsa dan Negara. Konsep nasionalisme dan patriotisme, masih konsisten berhembus dan berkibar di hati sanubari semua elemen bangsa.
Semua elemen bangsa senantiasa ikhlas, setia kawan, bahu-membahu, untuk rela berkorban demi bangsa dan Negara Indonesia. Perjalanan bangsa terus berlanjut dan menghadapi berbagai tantangan zaman. Transformasi budaya terus menerus terjadi. Konsep "idealisme", telah bertransformasi menjadi konsep "pragmatisme".
Konsep "ke-ikhlas-an" telah bertransformasi menjadi konsep "kepentingan". Konsep "setia-kawan" telah bertransformasi menjadi konsep "individualisme". Konsep berkorban telah bertransformasi menjadi konsep menerima.
Semua itu tampaknya terjadi, karena hati nurani bangsa telah kalah melawan konsep dan nilai yang dibawa oleh arus globalisasi. Globalisasi mengusung konsep kompetisi yang melahirkan konsep kapitalisme, libralisme, konsumerisme, dan matarialsme.
Bangsa Indonesia tampaknya belum siap menghadapi tantangan dan dampak globalisasi yang sangat dahyat. Selain itu bangsa Indonesia tampaknya terlupa dengan jati diri yang memiliki falsafah Pancasila.
Pancasila tidak dijalankan secara maksimal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan tidak dijalankan sebagai pengamalan Pancasila.
Jika hal itu terus berlanjut mengandung sesuatu yang bahaya bagi masa depan bangsa. Sebuah bangsa yang dulu dibangun dengan tetesan darah, dan berbagai pengorbanan lahir bathin, oleh para pendiri bangsa.
Untuk itu perlu kesadaran tentang jati diri bangsa, yang mendapat warisan pusaka dasar Negara Pancasila untuk kembali dikobarkan di setiap insan bangsa Indonesia, harap Prof Windia. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013