Denpasar (Antara Bali) - Sekitar lima ratus penari kecak, kesenian spesial Cak Rina berkolaborasi dengan gitaris Dewa Budjana, penyanyi Trie Utami, serta pemain harpa Maya Hasan memukau penonton yang memenuhi kursi undangan.

Ratusan penari yang masing-masing memegang obor pada malam kegelapan itu satu persatu anak tangga di bawah Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di kawasan Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali mendapat tepuk tangan yang meriah.

Pentas Jumat malam (23/8) dengan konsep artistik yang memadukan seni tradisi dan seni populer di panggung yang ditata sedemikian rupa di antara tembok batu kapur yang kokoh itu menandai lahirnya kembali GWK di Pulau Bali setelah 16 tahun sempat mangkrak.

Pembangunan kembali patung GWK dengan investasi tahap pertama sebesar Rp450 miliar itu peletakan batu pertamanya dilakukan Gubernur Bali Made Mangku Pastika didampingi penggagas sekaligus pelaksana pembangunan GWK I Nyoman Nuarta.

Pembangunan kembali patung GWK di atas hamparan lahan seluas 60 hektare dari 240 hektare yang direncanakan itu memiliki tinggi 75 meter dengan rentang sayap garuda sepanjang 64 meter dan tinggi pedestal 60 meter.

Dengan demikian tinggi patung dan pedestal secara kesuluruhan akan menjulang setinggi 126 meter, melebihi patung Liberty di New York Amerika Serikat yang memiliki ketinggian 93 meter.

Patung GWK dibuat dari bahan tembaga dan kuningan dengan memiliki total berat 3.000 ton diharapkan rampung dalam tiga tahun mendatang.

Sementara struktur patung dibangun dari "stainless steel", sehingga GWK akan memiliki daya tahan terhadap kekuatan gempa berskala 7,5 SR. Secara keseluruhan jika dihitung termasuk ketinggian lokasi patung di Bukit Balangan, Jimbaran, Bali, kira-kira sepuluh kilometer di selatan Bandara Internasional Ngurah Rai, patung GWK akan menjulang setinggi 276 di atas permukaan laut.

Ketinggian tersebut menurut Nyoman Nuarta, alumnus Jurusan Patung Fakultas Seni Rupa dan Disain Institut Teknologi Bandung (ITB) telah memenuhi ketentuan ketinggian bangunan yang berada di dekat dengan bandara internasional.

Pembuatan patung GWK sepenuhnya dilakukan di NuArt Studio di kawasan Setra Duta, Sarijadi, Bandung, Jawa Barat. Di studio tersebut melibatkan 200 orang untuk melakukan konstruksi patung yang dibuat dalam irisan-irisan melintang.

Begitu bagian-bagian selesai langsung dikirim ke Bali untuk kemudian dirakit menjadi patung GWK. Seluruh pengerjaan irisan demi irisan patung yang mahabesar itu diprogram dalam komputer.

"Jadi seandainya saya berhalangan pun pengerjaan patung ini akan tetap bisa diteruskan," kata Nyoman Nuarta.

Sejak tercapainya kesepakatan dengan pihak investor PT Garuda Adhimatra Indonesia (PT GAIN), pengerjaan model dan disusul dengan irisan-irisan patung sudah mulai dilakukan NuArt Studio Maret lalu.

Saat ini para pekerja sibuk menggarap bagian demi bagian patung agar tiga tahun mendatang seluruh konstruksi patung dari pedestal dan tubuh patung selesai dibangun.

Dalam tubuh patung GWK sampai setinggi dada, para pengunjung bisa naik dengan menggunakan lift khusus (tangga bergerak). Dari ketinggian di dalam rongga GWK wisatawan dan pengunjung dapat menikmati keindahan panorama alam Pulau Dewata.

Dari ketinggian itu juga bisa menyaksikan keelokan Gunung Agung di kejauhan timur laut Pulau Bali.



Berikan kesucian

Gubernur Bali Made Mangku Pastika berharap pembangunan kembali monumen GWK di kawasan Bukit Jimbaran bisa memberikan kesucian untuk Bali ke depan. Untuk itu pembangunan kembali patung GWK tidak semata hanya berdasarkan materi yakni mengejar keuntungan, namun tetap memperhitungkan Bali dari segi adat dan budaya setempat.

Pembangunan patung Dewa Wisnu dan Garuda yang belum selesai selama ini sudah menjadi ikon Bali sehingga mampu mendukung sektor pariwisata, menyedot kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara, sekaligus mengangkat nama Bali di dunia internasional.

Jika pembangunan GWK yang seutuhnya berhasil dirampungkan akan mampu memberikan dampak positif semakin besar terhadap pariwisata Bali maupun secara nasional.

Oleh sebab itu pengelolaan GKW ke depan harus tetap memperhatikan nilai adat dan budaya Bali sesuai kepercayaan masyarakat setempat.

Ketua Yayasan GWK Gde Ardika sejak dini telah mengingatkan investor agar pembangunan kembali monumen GWK tidak lepas dari landasan budaya, adat, dan agama Hindu di Bali.

Pembangunan patung GWK yang utuh merupakan mimpi masyarakat Bali, namun dalam pengembangannya harus diingatkan agar tidak lepas dari ketiga unsur tersebut untuk tetap menjaga keutuhan budaya di Pulau Dewata.

Mantan Menteri Pariwisata itu merasa bangga ada investor yang sejalan dengan pemikirannya untuk mengutamakan pembangunan monumen GWK sekaligus ikon Bali dan Indonesia di mata dunia.

Sementara Cahyono, perwakilan dari Garuda Adhimatra Indonesia (GAIN) menambahkan, pihaknya telah berkomitmen untuk menyelesaikan pembangunan patung GWK menjadi ikon Pulau Bali di mata dunia.

"Kami sudah komit untuk mengutamakan pengerjaan pembangunan patung hingga selesai dan untuk pengembangan bisnisnya akan melihat perkembangan situasi di kawasan itu," ujar Cahyono.

Pihaknya juga belum bisa memastikan akan membangun fasilitas umum seperti apa ke depannya karena masih dalam proses perancangan dan akan dikembangkan setelah pembangunan patung selesai.



Kepluralan bangsa

Budayawan asal Prancis yang sudah puluhan tahun menetap di Bali Jean Cauteau menilai pembangunan kembali monumen GWK akan mampu mewakili kepluralan bangsa karena merepresentasikan budaya Indonesia.

GWK mewakili kepluralan Indonesia karena merepresentasikan beragam budaya. Simbol yang terkandung di dalam bangunan monumental itu memiliki unsur yang penuh makna, baik dari segi lokal, nasional, maupun internasional.

Pria asing yang secara aktif ikut terlibat dalam berbagai aktivitas ritual maupun adat di tengah-tengah warga masyarakat Bali itu menilai Garuda lambang negara Indonesia, sedangkan Dewa Wisnu melambangkan dewa pelestari dari agama Hindu yang melambangkan Pulau Dewata.

"Dari segi internasional terwakili oleh apa yang menjadi tujuan GWK, yakni menampung kegiatan budaya baik lokal, nasional, dan internasional," ujar Jean Couteau selama di Bali menyelami dan mendalami seni budaya Bali sekaligus berhasil menulis puluhan buku dalam bahasa Inggris, Prancis dan bahasa Indonesia.

Oleh sebab itu mahakarya pematung dari Nyoman Nuarta (62), pria kelahiran Tabanan 14 Nopember 1961 itu berbeda dengan monumen lainnya di dunia, seperti patung Liberty di Amerika Serikat yang memiliki makna politik terkait dengan nilai perjuangan bangsa Amerika Serikat ke arah demokrasi pada abad ke-19.

GWK yang digagas suami dari Nyonya Cynthia Laksemi Nuarta itu melambangkan kemajemukan bangsa Indonesia. Meski demikian, perjalanan pembangunan GWK memiliki kesamaan dengan pembangunan Menara Eiffel di Paris, Prancis, pada tahun 1887 yang pada awalnya sempat menuai kritik dan protes.

Namun, kini kedua bangunan monumental tersebut menjadi ikon bagi sebuah bangsa dan dunia. "Ketika Ir. Eiffel ingin membangun menara yang kini dikenal sebagai Menara Eiffel, semua orang mengkritiknya, termasuk kalangan sastrawan dan seniman. Posisi Nyoman Nuarta serupa dengan Eiffel, yang melihat ke depan," ujar Jean Cauteau.  (WRA) 

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gede Wira Suryantala


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013