Denpasar (Antara Bali) - Denpasar, Bali, dengan Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sesama pemerintah kota di Tanah Air, tampaknya memiliki problema pembangunan yang hampir sama.

Permasalahan itu di antaranya adalah kehadiran migran dan pengemis jalanan, tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia yang juga menjabat Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bali.

Ia menuturkan awal bulan ini dirinya mendapat kesempatan untuk bergabung dengan Pemkot Denpasar mengunjungi Kota Banjarmasin.

Pada kunjungannya tersebut mendapat keterangan dari Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Banjarmasin Ichwan Noor Chalik, yang cukup mengejutkan dirinya.

Diterangkan bahwa sepasang suami-istri pengemis jalanan yang baru saja terjaring, ternyata membawa uang dalam tasnya sebanyak Rp54 juta plus 75 gram emas.

Pengemis itu dalam KTP-nya bernama Acin dan istrinya Aisyah. Dalam perjalanan berkeliling kota, Windia dan rombongan menemukan tidak lebih dari 20 orang pengemis jalanan.

Kalau jumlah uang itu adalah kumpulan dari semua penemis dalam sebulan, maka rata-rata sebulan mereka mendapatkan uang sekitar Rp2,5 juta per orang, belum lagi emasnya.

Para pejabat di Banjarmasin menduga bahwa Acin dan Aisyah adalah koordinator lapangan (korlap) dari para pengemis jalanan di Kota Banjarmasin. Dan uang setoran itu diperkirakan akan diserahkan kepada bos-besarnya. Untung saja mereka dapat digaruk, dan kedoknya dapat sedikit diungkap.

Jumlah "penghasilan" pengemis di Banjarmasin, agak mirip dengan uang yang dapat diraup oleh para pengemis di Sukoharjo, Jateng. Kalangan LSM di sana mencatat bahwa rata-rata "pendapatan" kaum pengemis di kota itu Rp2,2 juta per bulan.

"Belum termasuk biaya makan dan minum, tiga kali dalam sehari. Saya perkirakan bahwa penghasilan mereka tidak jauh berbeda dengan pendapatan pengemis di Banjarmasin," ujar Wayan Windia.

Sebagai seorang dengan latar belakang pendidikan sosial-ekonomi pertanian, maka pikirannya ingin segera membandingkan dengan pendapatan petani. Sayang di Kota Banjarmasin, nyaris sudah tidak ada aktivitas pertanian lahan sawah.


Garap Satu Hektare

Tetapi informasi diperolehnya dari kalangan mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Udayana menyebutkan, bahwa pendapatan para pengemis itu hampir sama dengan penghasilan petani yang mengolah lahan satu hektare.

Ketut Suamba, petani yang mengolah sawah di Subak Lodtunduh perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, mengatakan untuk lahan sawah satu hektare, pendapatannya sekitar Rp12 juta per musim, atau rata-rata sekitar Rp3 juta per bulan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendapatan para pengemis jalanan tidak berbeda secara nyata dengan penghasilan petani yang mengolah lahan untuk tanaman padi seluas satu hektare, sehingga sungguh sangat ironis nasib petani.

Lalu, apa yang dapat diberikan kepada petani dengan nasib buruk seperti itu? Selanjutnya, kenapa hal ini harus dipertanyakan? Karena petani dalam proses usahanya tidak sekadar menghasilkan bahan makanan dan selanjutnya dapat dikonversi dengan pendapatan.

Namun dalam proses tersebut mereka menghasilkan oksigen yang dihirup oleh manusia, meredam terjadinya banjir, merekatkan kebudayaan masyarakat, dan juga menghasilkan pemandangan alam yang menyejukkan jiwa.

Barangkali, kompensasi biaya carbon dioksida (CO2) yang harus diberikan oleh negara industri, perlu ada porsi untuk petani.

Mungkin kompensasi biaya produksi karbon bagi petani adalah hal yang masih normatif dan idealistis. Namun hal yang bersifat pragmatis harus ada yang diberikan oleh pemerintah kepada petani atau organisasi petani, ujar Prof Windia.

Dalam beberapa percakapan dengan petani di kawasan warisan budaya dunia (WBD) di Bali mereka sejatinya tidak meminta hal yang muluk. Mereka hanya meminta subsidi pajak 100 persen, dan dapat dijamin alokasi air irigasinya.

Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah hantu bagi petani, dan setiap saat dapat mencekik mereka. Hal itu disebabkan tarif PBB hampir setiap dua tahun naik, karena disesuaikan dengan kenaikan inflasi.

Selanjutnya nilai pembayaran pajak PBB didasarkan pada nilai jual objek pajak (NJOP) atau sesuai dengan lokasi sawah petani yang bersangkutan.

Meskipun proporsi pembayaran pajak PBB oleh petani tidak besar, namun mereka pada umumnya tidak memiliki uang tunai pada saat harus membayar PBB tersebut.

Kenapa? Karena pendapatannya memang dari usaha tani sangat kecil, sehingga nyaris hanya cukup (bahkan tidak cukup) untuk konsumsi keluarga. Kalau pemerintah memang memiliki filosofi untuk membela wong cilik, maka petani harus bebas dari kewajiban membayar PBB.

Jangan justru pemerintah berharap untuk mendapatkan pemasukan PAD dari sektor pertanian. Kalau hal itu terjadi, maka pemerintah itu tergolong rakus dan secara sistematis pemerintah-lah sejatinya yang menghancurkan sektor pertanian, sekaligus sistem subak di Bali, tutur Prof Windia.

Oleh karenanya elite politik harus segera sadar tentang nasib petani. Bahwa petani harus bekerja keras selama empat bulan, dengan penuh risiko, tapi ternyata nasibnya nyaris sama dengan pengemis jalanan.

Kelakuan mengemis berkait dengan masalah kultural. Oleh karenanya diperlukan pendekatan dan pendampingan kultural kepada kaum pengemis jalanan. Dalam konteks seperti ini pada umumnya kalangan elite pejabat masih sering tidak sabar.

Mereka hanya ingin bekerja layaknya orang kantoran, ngurus proyek, kerja cepat. Selain itu para elite juga terjebak dalam kerja sistem proyek, dalam sistem ukuran kerja dalam kurun waktu setahunan.

Oleh karena itu diperlukan kerja multi-tahun secara berkesinambungan, untuk menuntaskan masalah kultural, seperti halnya menanggulangi pengemis jalanan tersebut. Mungkin perlu kerja sama dengan kalangan desa adat. Kalau tidak, maka masalah pengemis jalanan akan terus ada sepanjang tahun.

Masalah kultural tidak bisa hanya diselesaikan dengan cara-cara birokratis, melalui Perda atau Perwali. Perlu ada komitmen yang bersifat kultural, tutur Prof Windia. (*/ADT)

Pewarta: Oleh : I Ketut Sutika

Editor : I Nyoman Aditya T I


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013