Bendesa Adat Berawa, Ketut Riana, menyinggung operasi tangkap tangan (OTT) pejabat Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai terkait pungutan liar jalur fast track senilai Rp100 juta di Bandara Ngurah Rai, Tuban, Badung, yang penanganan hukumnya pun tidak jelas. 
 
Hal tersebut disampaikan kuasa hukum Ketut Riana, yakni Gede Pasek Suardika, dalam sidang dengan agenda jawaban dari terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Bali, Kamis.
 
Terdakwa dan kuasa hukum menilai penanganan dua perkara tersebut berbeda, meskipun dua-duanya ditangkap dalam operasi tangkap tangan yang berbeda dengan nilai pungutan yang sama yakni Rp100 juta.
 
Keduanya pun dikenakan pasal yang sama yakni Pasal 12 huruf a Juncto Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi Jo. Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Namun, tersangka pungli di Kantor Imigrasi Ngurah Rai itu sudah tidak jelas penanganannya hingga sekarang.
 
"Kasus OTT di Direktorat Imigrasi di lingkungan Kanwil Hukum dan HAM Provinsi Bali oleh Kejati Bali dengan nilai sama Rp100 juta sejak Oktober 2023 hingga sekarang tidak jelas nasibnya," kata Pasek Suardika.
 
Kuasa hukum menilai, sidang perkara Bendesa Adat Berawa dikebut oleh penyidik dalam waktu singkat, sementara kasus dugaan pungli yang melibatkan Kepala Seksi Pemeriksaan I Kantor Imigrasi Klas I Khusus TPI Ngurah Rai Haryo Seto tidak seperti itu.
 
Adapun Haryo Seto ditetapkan sebagai tersangka atas perannya dalam tindak pidana sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara dan diamankan penyidik Kejati Bali dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Bali, Selasa (14/11/2023), pukul 22.00 Wita.
 
Haryo Seto merupakan satu dari lima orang yang diamankan penyidik Kejati Bali. Sementara itu, empat orang lainnya masih berstatus sebagai saksi.
 
"Sebenarnya terdakwa hendak menguji hal kejanggalan ini dalam sidang pra peradilan, namun perkara ini secepat kilat dilimpahkan walaupun hak terdakwa saat ini untuk bisa menghadirkan saksi meringankan baru sebatas ditanya di dalam BAP dan sebelum diajukan malah berkasnya sudah dilimpahkan," katanya di hadapan Majelis Hakim pimpinan Gde Putra Astawa.
 
Pasek mengatakan ada indikasi kuat jika kasus ini begitu dipaksakan untuk cepat ke pengadilan, padahal KUHAP menjamin hak tersangka untuk diberikan waktu menghadirkan saksi meringankan di tingkat penyidikan.
 
Menurutnya tentu ini bisa menjadi potret betapa ada perlakuan yang berbeda dan tidak masuk di akal dalam penahanan kasus yang sama-sama berstatus OTT.
 
"Bukankah alat bukti OTT juga sama yaitu uangnya Rp100 juta, saksi juga sama-sama ada di lokasi kejadian, namun kenapa yang sudah jelas berstatus pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut malah menuju menguap kasusnya tanpa kabar, dan kasus terdakwa yang status bukan pegawai negeri atau penyelenggara negara malah bagaikan paket express prosesnya," kata kuasa hukum di muka persidangan.
 
Dalam jawabannya, terdakwa dan kuasa hukum menyatakan tidak ada satu ketentuan pun ada kewenangan melakukan penyidikan jabatan tetua adat, prajuru adat atau nama lainnya dengan tafsir disamakan sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.
 
Tindakan penyidikan, apalagi sampai operasi tangkap tangan yang tidak ada kaitan dengan kerugian keuangan negara ataupun tidak menyangkut pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah tindakan di luar kewenangan bahkan cenderung abuse of power.
 
Adapun Bendesa Adat Berawa Ketut Riana didakwa melakukan pemerasan investor senilai Rp10 miliar. Dia ditangkap penyidik Kejati Bali di sebuah kafe di Renon, Denpasar dengan barang bukti uang Rp100 juta.

Pewarta: Rolandus Nampu

Editor : Widodo Suyamto Jusuf


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024