Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali I Ketut Hari Suyasa menyesalkan jatuhnya harga babi peternak yang berada di bawah harga pokok produksi (HPP) di tengah Hari Raya Galungan.
Di Denpasar, Selasa, ia menyampaikan bahwa permintaan babi sepekan terakhir tergolong tinggi seperti jelang hari raya periode-periode sebelumnya, namun tidak ada kenaikan harga yang ditawarkan kepada peternak sejak munculnya dugaan penyakit meningitis yang disebabkan oleh hewan tersebut.
“Kalau babi untuk tradisi patungan umumnya mereka beli Rp35.000-Rp37.000, sedangkan kalau babi untuk bisnisnya (pedagang) itu kisarannya Rp33.000-Rp37.000, ini sangat miris karena harga pokok produksi kan Rp40.000 ya per kilogram babi hidup,” kata dia kepada Antara.
GUPBI Bali menyesalkan kondisi ini, di mana semestinya para peternak rakyat tersenyum lebar karena panen di momentum Hari Raya Galungan, justru terpaksa menjual dengan harga rendah karena tak ada yang berani menawar lebih tinggi.
“Sebenarnya yang panik bukan konsumen tapi pemilik babi yang akhirnya menjual produk mereka dengan harga rendah, sehingga isu meningitis itu dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang mencari profit tinggi dan belum ada klarifikasi juga dari pemerintah yang kita sesalkan,” ujarnya.
Hari mengatakan pada Hari Raya Galungan enam bulan lalu harga babi hidup sesuai dengan HPP yaitu Rp40.000, meski tak lebih tinggi menurutnya ini lebih baik bagi peternak rakyat.
Yang menjadi ketakutannya, jika kondisi ini terus berlangsung maka minat peternak rakyat untuk beternak akan hilang, kemudian pengusaha besar akan masuk dan merusak ekosistem pasar di Bali.
“Mirisnya lagi Bali satu-satunya wilayah yang saat ini punya babi pascavirus ASF, kita sangat bagus, tapi yang jadi masalah hari raya saja mereka tidak dapat profit maka akan terjadi kepanikan di tingkat masyarakat dan mereka tidak mau beternak,” kata dia.
Kondisi ini sejatinya telah dibaca oleh GUPBI Bali, di mana saat ini saja harga bibit babi mencapai angka terendah, dari Rp1,2 juta per ekor dengan berat 8-10 kilogram, kini di angka Rp600-Rp800 ribu.
Jika kondisi ini terus berlangsung, yang menjadi ketakutannya empat bulan mendatang harga babi akan melonjak tinggi, hal ini tidak hanya berdampak pada kondisi ekonomi melainkan juga produk budaya.
“Di saat orang buat upacara keagamaan dan harga babi terlalu mahal kan tidak baik, kita tidak ingin ini terjadi, dan lebih parah lagi kalau harga babi lebih tinggi ada potensi peternak besar dari luar Bali masuk akhirnya merebut segmen pasar, ini tidak adil,” ujar Hari.
Dengan demikian ia berharap pemerintah mengambil langkah antisipasi setidaknya agar peternak babi dapat menjual ternaknya dengan harga pokok.
GUPBI Bali juga telah menawarkan skema tradisi patungan di lingkup pegawai pemerintahan, di mana konsumen membayar dengan harga pokok produksi sehingga peternak untung secara ekonomi, konsumen untung secara sosial budaya karena dapat menjalankan tradisi di Hari Raya Galungan, dan pemerintah untung secara politik.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023
Di Denpasar, Selasa, ia menyampaikan bahwa permintaan babi sepekan terakhir tergolong tinggi seperti jelang hari raya periode-periode sebelumnya, namun tidak ada kenaikan harga yang ditawarkan kepada peternak sejak munculnya dugaan penyakit meningitis yang disebabkan oleh hewan tersebut.
“Kalau babi untuk tradisi patungan umumnya mereka beli Rp35.000-Rp37.000, sedangkan kalau babi untuk bisnisnya (pedagang) itu kisarannya Rp33.000-Rp37.000, ini sangat miris karena harga pokok produksi kan Rp40.000 ya per kilogram babi hidup,” kata dia kepada Antara.
GUPBI Bali menyesalkan kondisi ini, di mana semestinya para peternak rakyat tersenyum lebar karena panen di momentum Hari Raya Galungan, justru terpaksa menjual dengan harga rendah karena tak ada yang berani menawar lebih tinggi.
“Sebenarnya yang panik bukan konsumen tapi pemilik babi yang akhirnya menjual produk mereka dengan harga rendah, sehingga isu meningitis itu dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang mencari profit tinggi dan belum ada klarifikasi juga dari pemerintah yang kita sesalkan,” ujarnya.
Hari mengatakan pada Hari Raya Galungan enam bulan lalu harga babi hidup sesuai dengan HPP yaitu Rp40.000, meski tak lebih tinggi menurutnya ini lebih baik bagi peternak rakyat.
Yang menjadi ketakutannya, jika kondisi ini terus berlangsung maka minat peternak rakyat untuk beternak akan hilang, kemudian pengusaha besar akan masuk dan merusak ekosistem pasar di Bali.
“Mirisnya lagi Bali satu-satunya wilayah yang saat ini punya babi pascavirus ASF, kita sangat bagus, tapi yang jadi masalah hari raya saja mereka tidak dapat profit maka akan terjadi kepanikan di tingkat masyarakat dan mereka tidak mau beternak,” kata dia.
Kondisi ini sejatinya telah dibaca oleh GUPBI Bali, di mana saat ini saja harga bibit babi mencapai angka terendah, dari Rp1,2 juta per ekor dengan berat 8-10 kilogram, kini di angka Rp600-Rp800 ribu.
Jika kondisi ini terus berlangsung, yang menjadi ketakutannya empat bulan mendatang harga babi akan melonjak tinggi, hal ini tidak hanya berdampak pada kondisi ekonomi melainkan juga produk budaya.
“Di saat orang buat upacara keagamaan dan harga babi terlalu mahal kan tidak baik, kita tidak ingin ini terjadi, dan lebih parah lagi kalau harga babi lebih tinggi ada potensi peternak besar dari luar Bali masuk akhirnya merebut segmen pasar, ini tidak adil,” ujar Hari.
Dengan demikian ia berharap pemerintah mengambil langkah antisipasi setidaknya agar peternak babi dapat menjual ternaknya dengan harga pokok.
GUPBI Bali juga telah menawarkan skema tradisi patungan di lingkup pegawai pemerintahan, di mana konsumen membayar dengan harga pokok produksi sehingga peternak untung secara ekonomi, konsumen untung secara sosial budaya karena dapat menjalankan tradisi di Hari Raya Galungan, dan pemerintah untung secara politik.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023