Oleh M. Irfan Ilmie

Pertengahan 2012 ucapan selamat dan sukses atas keberhasilan sejumlah pemerintah daerah meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghiasi  beberapa surat kabar, baik berskala lokal maupun nasional.

Tak terkecuali Pemerintah Kabupaten Badung yang seumur-umur baru kali ini meraih predikat bergengsi dari lembaga tinggi negara itu. Lagi pula Pemkab Badung adalah satu-satunya entitas di Provinsi Bali yang memperoleh penghargaan tersebut.

"WTP ini buah hasil kerja keras seluruh SKPD. Tiga tahun berturut-turut kami selalu gagal mendapatkannya," kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemkab Badung Anak Agung Gede Raka Yuda di Denpasar, Sabtu (15/12).

Oleh karena itu, dia mendorong DPRD setempat untuk menyosialisasikan keberhasilan Pemkab Badung di bawah pemerintahan Anak Agung Gde Agung-I Ketut Sudikerta terkait pengelolaan keuangan daerah itu.

"DPRD punya tanggung jawab untuk menjelaskan keberhasilan ini. Apalagi hasil laporan BPK diserahkan kepada DPRD," ujar Raka Yuda.

Sebagai juru bicara Pemkab Badung, dia tak melupakan tugas dan tanggung jawabnya. Keberhasilan meraih WTP dia sampaikan kepada publik melalui media massa yang dianggapnya sebagai mitra kerja. Sah-sah saja kalau memang daerah terkaya di Bali itu mengalokasikan dana tidak sedikit untuk memasang iklan di sejumlah media.

Lain halnya dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang tahun lalu juga berhasil meraih predikat yang sama. Bahkan Gubernur Jatim Soekarwo merayakan keberhasilannya itu bersama "wong cilik" dengan menggelar pertunjukan wayang kulit.

Dalangnya pun tergolong istimewa. Ki Sunaryo yang merupakan rival Soekarwo dalam Pilkada Jatim 2008-2009 diboyong ke Monumen Tugu Pahlawan, Surabaya, pada 22 Juli 2011.

Sunaryo yang juga sebagai Wakil Ketua DPRD Provinsi Jatim periode 2009-2014 itu dengan penuh percaya diri mengetengahkan lakon "WeTePe".

Dua pekan sebelum digelar, beraneka ragam baliho dan spanduk pertunjukan wayang kulit "WeTePe" oleh Ki Sunaryo, birokrat sekaligus dalang itu, terpasang tidak hanya di Kota Pahlawan, melainkan di sejumlah daerah lain di Jatim.

Wajar, karena baru tahun itu pula Pemprov Jatim berhasil meraih opini WTP dari BPK. Apalagi, jika dibandingkan dengan Pemerintah Provinsi Bali dan delapan daerah lain di Pulau Dewata itu yang sampai sekarang belum pernah mendapatkannya.

Bukan Jaminan Bebas Korupsi
Jika mencermati Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, maka WTP merupakan opini BPK atas penyajian laporan penggunaan uang negara oleh entitas tertentu, baik di daerah maupun pusat.

WTP merupakan pencapaian tertinggi bagi entitas tertentu atas keberhasilannya dalam mengelola keuangan negara. Pemprov Bali dan delapan daerah lainnya sampai saat ini hanya mampu meraih opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP).

Meskipun mendapatkan WDP, Pemkab Jembrana dan Pemkab Karangasem antusias menerimanya bahkan menyikapinya sama dengan Pemkab Badung atas keberhasilan meraih WTP.

Bagi Pemkab Jembrana dan Pemkab Karangasem, WDP adalah prestasi tersendiri, menginat tiga tahun berturut-turut selalu mendapat "rapor merah" dari BPK karena laporan keuangannya dinilai Tidak Wajar (TW).

Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006, opini BPK tidak dapat diganggung gugat dan bersifat final. Namun ketika dilempar ke institusi publik dan lembaga penegak hukum, opini itu berubah menjadi politis.

Bahkan, BPK dan Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi pun sepakat bahwa WTP bukan jaminan bebas dari tindak korupsi. Apalagi kalau korupsi itu dilakukan di luar ranah administratif, seperti pungli dan tindakan koruptif serta manipulatif yang tidak terlacak.

"Kami bukan institusi yang menetapkan bersalah atau tidak atas laporan keuangan daerah, melainkan berpatokan pada asas kewajaran. Dalam menilai kewajaran, kami memiliki batas toleransi terjadinya kecurangan atau kesalahan prosedur sekitar 0,5 persen," kata Tri Heriadi saat masih menjabat Kepala BPK Perwakilan Bali pada 19 Juni 2012.

Demikian halnya dengan Kejakgung dalam menyikapi opini BPK itu. "Kami pilah-pilah dulu persoalannya karena tidak semua temuan BPK mengandung unsur pelanggaran hukum," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Selasa (4/12).

Pengertian kerugian negara, menurut Andhi, sudah jelas digariskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Selain itu, tidak semua kerugian negara disebabkan oleh kasus korupsi. Bisa jadi karena kesalahan administrasi. Kalau memang demikian, biar saja pengadilan tata usaha negara (PTUN) yang menangani," ujarnya di sela-sela rakor BPK, KPK, Bareskrim Polri, Kejakgung, dan kepala daerah se-Indonesia timur itu.

Pemerintah daerah atau instansi pemerintahan yang mendapat opini WTP dari BPK, lanjut dia, tidak serta-merta instansi tersebut bebas dari tindak pidana korupsi.

"Saya tidak yakin instansi yang mendapat opini WTP bebas dari korupsi. Ini atensi saya supaya tetap berhati-hati dalam melakukan penindakan hukum," tutur Andhi.

Jangan Berlebihan
Tidak ada larangan untuk merayakan suatu keberhasilan. Apalagi keberhasilan itu dicapai melalui kerja keras dalam waktu bertahun-tahun. Namun anggota IV BPK Rizal Djalil mengingatkan kepala daerah tidak berlebihan dalam menyikapi opini BPK, terutama yang mendapatkan WTP.

"Orang bersyukur atas hasil kerja keras, memang sah-sah saja. Tapi akan jadi persoalan baru kalau bersyukurnya berlebihan," kata anggota BPK yang bertanggung jawab atas pemeriksaan penggunaan keuangan negara di wilayah Indonesia itu timur.

Hal senada juga dilontarkan Tri Heriadi. "Memang ada kepala daerah yang euforianya luar biasa setelah menerima opini WTP, menggelar pesta rakyat, dan pasang iklan besar-besaran. Padahal, kami tidak menghendaki hal itu karena justru membebani keuangan daerah itu sendiri," kata Heriadi.

Menurut dia, opini dari BPK atas laporan kinerja keuangan bukan merupakan bonus, melainkan sebuah perwujudan komitmen pemerintah daerah dalam menggunakan uang rakyat sesuai peruntukannya.

"Kalau ada aparat penegak hukum yang menemukan adanya unsur korupsi, silakan diusut. Kami bukan algojo yang mencari-cari kesalahan pemerintah daerah," ujar Kepala Sub-Auditorat VI-A BPK itu.

Ia merasa penting menegaskan hal itu karena mantan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad pernah mengelak dari tuduhan korupsi yang ditangani kejaksaan setempat dengan dalih bahwa laporan keuangan di daerahnya telah mendapat opini WTP dari BPK.

"Memang sih, seharusnya daerah yang mendapat opini BPK tidak korupsi," kata Heriadi yang pernah menjabat Kepala Perwakilan BPK Gorontalo itu.

Hal itu pula yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah, termasuk Pemkab Badung yang saat ini menjadi sorotan publik terkait data kelulusan peserta tes CPNS 2012 di BKD setempat yang berbeda dengan data kelulusan di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara.

DPRD Kabupaten Badung juga harus mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa dengan WTP itu sehingga mereka tidak mengulangi lagi perbuatan yang dapat melukai masyarakat. Kalau saja 31 anggota DPRD Kabupaten Badung itu berkomitmen untuk menjunjung tinggi keberhasilan daerahnya meraih WTP, tentu mereka tidak akan pergi bersama-sama ke Jepang selama tiga hari pada 21-28 Oktober 2012 yang menghabiskan uang rakyat sebesar Rp1,7 miliar dengan memanipulasi surat pihak pengundang.(M038)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012