Pengadilan Negeri Denpasar menolak gugatan perkara praperadilan terhadap surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan oleh anggota DPD RI Provinsi Bali Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradata Wedastera Putra Suyasa.
 
Hakim tunggal tunggal I Gusti Ngurah Arianta Era Winawan dalam amar putusannya di ruang sidang Cakra, Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Rabu menyatakan menolak praperadilan pihak pemohon Harmaini Idris Hasibuan dan kawan-kawan sebagai kuasa hukum dari massa umat Hindu pendukung Tim Hukum Nusa Bali (THNB).
 
Dalam pantauan di lapangan, Hakim menyatakan bahwa sidang dibuka dan terbuka untuk umum dengan agenda pembacaan putusan yang dihadiri oleh pihak pemohon Putu Pastika Adnyana dan Putu Ayu Candra Dewi tentang peristiwa tindak pidana dimuka umum mengeluarkan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama yang dianut di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 a ke a KUHP, dengan terlapor Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradata Wedastera Putra Suyasa III, alias Arya Wedakarna alias AWK.
 
Pihak termohon Kapolda Bali Irjen Pol. Putu Jayan Danu Putra, C.q Penyidik Unit IV Subdit 3 Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali dihadiri kuasa hukum Imam Ismail dan I Ketut Soma Adnyana, dan kawan-kawan sebagai termohon.

Baca juga: Maju pencalonan DPD, AWK siap berbagi suara Pemilu 2024
 
Hakim pada awalnya membacakan perihal ungkapan Arya Wedakarna yang dinilai oleh pihak pemohon diduga menodai agama Hindu, lalu membacakan amar putusan yang pada intinya memutuskan menolak gugatan pemohon dan menyatakan tindakan termohon yang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap terlapor Arya Wedakarna sesuai prosedur hukum.
 
Seusai sidang, Gede Putra Astawa selaku Humas Pengadilan Negeri Denpasar mengatakan pertimbangan putusan pada pokoknya sudah memenuhi apa yang dilakukan pihak termohon, sehingga apa yang diambil dalam keputusan tersebut untuk mengeluarkan SP3 sudah tepat.
 
"Bahwa terbitnya SP3 tersebut telah melalui proses dan mekanisme yang benar yang masih masuk dalam kewenangan penyidik, yang didahului dengan pengumpulan alat bukti, berupa pemeriksaan saksi-saksi dan penyitaan barang bukti, serta gelar perkara, yang pada akhirnya terbit surat ketetapan penghentian penyidikan No.S.Tap/48b/VIII/2022/Ditreskrimum tersebut," kata Astawa.
 
Atas nama pimpinan PN Denpasar, Astawa menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada pemohon dan pengunjung sidang sekitar ratusan orang masyarakat Nusa Penida, yang sudah tertib dan menjaga keamanan selama mengikuti proses persidangan.
 
Sikap tersebut, kata dia, menunjukkan kedewasaan masyarakat dalam menghormati hukum.

Baca juga: Tokoh Puri Bali jadi bakal calon DPD yang paling akhir serahkan syarat
 
Secara terpisah, Harmaini Idris Hasibuan sebagai perwakilan tim kuasa hukum pemohon menyatakan tidak puas dengan putusan Majelis Hakim. Dengan putusan tersebut, kata dia, pihaknya tidak dapat mengajukan banding karena persidangan hanya sekali dan sudah final.
 
Hasibuan menilai hakim dianggap masih belum mempertimbangkan bukti dari pemohon, yaitu Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) mengenai penggabungan perkara.
 
“Alat bukti dia tidak pakai, padahal ini yang paling inti. Jadi, SP2HP tidak dipertimbangkan hakim. Perkara ini sebenarnya perkara penggabungan dua laporan. Penggabungan dua laporan ini, pada waktu dilakukan gelar perkara khusus untuk penghentian, kami tidak dipanggil. Barang bukti bukti kami tidak diikutkan, ahli kami tidak diikutkan, sehingga penghentian itu kami anggap tidak sah. Sebab, laporan atau perkara ini berdasarkan dua laporan polisi, digabung menjadi satu berdasarkan bukti P.4,” kata dia.
 
Hasibuan menilai hakim kali ini dianggap tidak adil, karena terdapat barang bukti yang tidak diikutkan. Barang bukti dari kepolisian SP2HP, sebab dia memutus atas satu laporan saja, tidak atas dua laporan penggabungan.
 
Menurutnya, jika laporan polisi LP/409/XI/2020/BALI SPKT tanggal 3 November 2020 yang ditolak, maka pihak pemohon THNB tidak ada masalah, asalkan Laporan Pengaduan Masyarakat dengan Register Dumas Nomor 441/XI/2020 Ditreskrimum tanggal 3 November 2020 dengan pelapor Putu Pastika Adnyana dilanjutkan.
 
“Jadi kami tidak diundang gelar, sedangkan kami juga adalah pelapor, berarti barang bukti dan alat bukti yang sudah lengkap tidak dipakai. Makanya saya sebut itu penghilangan barang bukti, obstruction of justice. Hakim tidak memakai SP2HP B/553/V/Res.1.24/2021/Ditreskrimum yang sah ini. Dengan adanya putusan praperadilan ini, kami tidak menerima karena keputusan itu tidak mempertimbangkan alat bukti yang sah, penggabungan laporan,” kata dia.
 
Sebelumnya, Arya Wedakarna dilaporkan warga Nusa Penida, Klungkung pada 3 November 2020 dengan dugaan melecehkan simbol agama Hindu. Masyarakat menilai AWK diduga merendahkan Ida Bhatara Dalem Ped yang beristana di Pura Dalem Ped, Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.
 
Dalam rekaman video yang beredar luas di media sosial yang menampilkan ceramah AWK, dia menyebutkan bahwa sosok yang disucikan oleh umat Hindu di Nusa Penida seperti Ratu Niang dan Ratu Gede. Ida Bhatara Sang Hyang Tohlangkir, dikatakan juga bukan Dewa, tetapi hanya mahkluk biasa. Itulah yang menyebabkan masyarakat Nusa Penida melaporkan Arya Wedakarna kepada Polisi dengan dugaan penistaan terhadap Hindu di Nusa Penida.
 
Terhadap laporan dugaan penistaan agama terhadap dirinya, Arya Wedakarna sampai berita ini diturunkan belum memberikan keterangan resmi.

Pewarta: Rolandus Nampu

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023