Pementasan wayang kulit Calonarang tak saja sebagai sarana hiburan, tetapi juga sarat pesan dan tuntunan nilai-nilai agama serta pengruwatan (penyucian), kata akademisi yang juga Ketua Yayasan Gases Bali Dr Komang Indra Wirawan.
"Yang terpenting dalam pertunjukan wayang kulit Calonarang ini, kita dapat memahami akan hakikat kehidupan dan sebagai pengruwatan (penyucian) buana alit (diri) dan buana agung (alam semesta)," kata Indra yang biasa disapa Komang Gases itu, di Taman Budaya Denpasar, Kamis.
Komang Gases saat menjadi narasumber dalam Kriyaloka (Lokakarya) Pesta Kesenian Bali Ke-44 itu menyebut pertunjukan wayang kulit Calonarang merupakan pementasan wayang yang terkesan unik dan masih dianggap sebagai pertunjukan paling angker di antara wayang kulit lainnya.
Dianggap paling angker, katanya, karena dalam pertunjukannya banyak mengungkapkan nilai-nilai magis dan rahasia pengiwa (penganut aliran kiri/kejahatan) dan penengen (penganut aliran kanan/kebaikan).
Baca juga: Remaja Bali dibekali "seni lukis wayang klasik" di ajang PKB
Oleh karena itu, kata dia, saat ini jumlah dalang yang membawakan wayang kulit Calonarang jumlahnya masih terbatas dan mayoritas berusia di atas 40 tahun.
"Yang membedakan dengan wayang kulit lainnya juga karena ada unsur pengundangan (mengundang leak), diperkuat Pupuh Ginada Basur, penggunaan lelintingan api, dan ditambah dengan watangan hidup," ucap pria yang juga salah satu dalang wayang kulit Calonarang itu.
Pementasan wayang kulit Calonarang berbeda dengan wayang kulit lainnya, karena menyampaikan perspektif dualitas yang berbeda unsur Rwa Bhinneda, tetapi menjadi satu kesatuan yang utuh.
Sang dalang saat melakukan aktivitas pertunjukan menyampaikan pesan simbolik tantra/kekuatan yang identik dengan kawisesan (Bairawa Tantra) atau yang istilah umumnya pengeleakan.
Baca juga: Sidang kedua DEWG G20 hadirkan wayang kulit
Selain itu, ada Yantra (simbol kawisesan) seperti gedang (pepaya) renteng, sanggah cucuk, dan upakara (banten), serta simbol yang lainnya.
Meskipun pertunjukan wayang kulit Calonarang sarat dengan simbol-simbol magis itu, Komang Gases menekankan seorang dalang harus dapat menyampaikan pesan-pesan agama atau penegakan dharma (kebaikan).
Unsur pengundangan (mengundang leak), hakikatnya untuk mengedukasi masyarakat dalam memahami seni dalam tatanan pengiwa dan penengen.
"Pengiwa adalah salah satu ajaran yang diberikan Dewi Saraswati bagaimana kita memahami Tantra Bhairawa. Sanghyang Aji Saraswati juga mengajarkan kita tentang penengen (ajaran dharma). Ini merupakan dua hal yang berbeda, namun satu kesatuan," katanya.
Baca juga: Anggota DPD salut Sanggar Wasundari ajarkan melukis wayang
Khususnya bagi yang mendalami pengleakan ugig, ucapnya, dapat memahami hakikat ugig tersebut sehingga bisa "ngisep sari" agar tidak menjalankan lagi pengugig sehingga semua ajaran Dewi Saraswati itu adalah baik dan patut.
"Dengan wayang atau bayang menjadi cerminan yang mengedukasi mereka supaya tahu sesana (kewajiban) yang dilakukan," ucap dosen di Universitas PGRI Mahadewa itu.
Dalam kesempatan itu, Komang Gases juga menyoroti wayang kulit Calonarang yang semestinya dibawakan saat upacara Dewa Yadnya, saat Ida Bhatara Napak Pertiwi, karena identik dengan pengeruwatan, namun kini juga dipentaskan dalam ritual lainnya.
"Namun sekarang seringkali sudah hantam kromo, ketika lahir anak laki-laki juga masesangi (bernazar) ingin menampilkan wayang Calonarang, odalan di merajan juga. Saya tidak mengatakan benar atau salah, tetapi keliru menempatkan sesangi (nazar)," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
"Yang terpenting dalam pertunjukan wayang kulit Calonarang ini, kita dapat memahami akan hakikat kehidupan dan sebagai pengruwatan (penyucian) buana alit (diri) dan buana agung (alam semesta)," kata Indra yang biasa disapa Komang Gases itu, di Taman Budaya Denpasar, Kamis.
Komang Gases saat menjadi narasumber dalam Kriyaloka (Lokakarya) Pesta Kesenian Bali Ke-44 itu menyebut pertunjukan wayang kulit Calonarang merupakan pementasan wayang yang terkesan unik dan masih dianggap sebagai pertunjukan paling angker di antara wayang kulit lainnya.
Dianggap paling angker, katanya, karena dalam pertunjukannya banyak mengungkapkan nilai-nilai magis dan rahasia pengiwa (penganut aliran kiri/kejahatan) dan penengen (penganut aliran kanan/kebaikan).
Baca juga: Remaja Bali dibekali "seni lukis wayang klasik" di ajang PKB
Oleh karena itu, kata dia, saat ini jumlah dalang yang membawakan wayang kulit Calonarang jumlahnya masih terbatas dan mayoritas berusia di atas 40 tahun.
"Yang membedakan dengan wayang kulit lainnya juga karena ada unsur pengundangan (mengundang leak), diperkuat Pupuh Ginada Basur, penggunaan lelintingan api, dan ditambah dengan watangan hidup," ucap pria yang juga salah satu dalang wayang kulit Calonarang itu.
Pementasan wayang kulit Calonarang berbeda dengan wayang kulit lainnya, karena menyampaikan perspektif dualitas yang berbeda unsur Rwa Bhinneda, tetapi menjadi satu kesatuan yang utuh.
Sang dalang saat melakukan aktivitas pertunjukan menyampaikan pesan simbolik tantra/kekuatan yang identik dengan kawisesan (Bairawa Tantra) atau yang istilah umumnya pengeleakan.
Baca juga: Sidang kedua DEWG G20 hadirkan wayang kulit
Selain itu, ada Yantra (simbol kawisesan) seperti gedang (pepaya) renteng, sanggah cucuk, dan upakara (banten), serta simbol yang lainnya.
Meskipun pertunjukan wayang kulit Calonarang sarat dengan simbol-simbol magis itu, Komang Gases menekankan seorang dalang harus dapat menyampaikan pesan-pesan agama atau penegakan dharma (kebaikan).
Unsur pengundangan (mengundang leak), hakikatnya untuk mengedukasi masyarakat dalam memahami seni dalam tatanan pengiwa dan penengen.
"Pengiwa adalah salah satu ajaran yang diberikan Dewi Saraswati bagaimana kita memahami Tantra Bhairawa. Sanghyang Aji Saraswati juga mengajarkan kita tentang penengen (ajaran dharma). Ini merupakan dua hal yang berbeda, namun satu kesatuan," katanya.
Baca juga: Anggota DPD salut Sanggar Wasundari ajarkan melukis wayang
Khususnya bagi yang mendalami pengleakan ugig, ucapnya, dapat memahami hakikat ugig tersebut sehingga bisa "ngisep sari" agar tidak menjalankan lagi pengugig sehingga semua ajaran Dewi Saraswati itu adalah baik dan patut.
"Dengan wayang atau bayang menjadi cerminan yang mengedukasi mereka supaya tahu sesana (kewajiban) yang dilakukan," ucap dosen di Universitas PGRI Mahadewa itu.
Dalam kesempatan itu, Komang Gases juga menyoroti wayang kulit Calonarang yang semestinya dibawakan saat upacara Dewa Yadnya, saat Ida Bhatara Napak Pertiwi, karena identik dengan pengeruwatan, namun kini juga dipentaskan dalam ritual lainnya.
"Namun sekarang seringkali sudah hantam kromo, ketika lahir anak laki-laki juga masesangi (bernazar) ingin menampilkan wayang Calonarang, odalan di merajan juga. Saya tidak mengatakan benar atau salah, tetapi keliru menempatkan sesangi (nazar)," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022