Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Oka Darmawan mengatakan Gede Ngurah Patriana Krisna (Ipat) yang juga Wakil Bupati Jembrana telah terpilih secara aklamasi menjadi Ketua KONI Kabupaten Jembrana.
“Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional sudah diubah menjadi UU Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan,” kata Oka Darmawan setelah perkenalan pengurus KONI Bali yang baru dan rapat koordinasi di Ruang Rapat KONI Bali di Denpasar, Selasa (19/4).
Menurutnya, jika dilihat dalam UU No 3 Tahun 2005 pada Pasal 40, pengurus komite olahraga nasional, baik komite olahraga provinsi, komite olahraga kabupaten/kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan jabatan struktural dan jabatan publik. “Dalam penjelasan undang-undang tersebut, pejabat publik itu seperti gubernur, bupati dan kepala dinas dan seterusnya,” ujar dia.
Namun, pasal tersebut sudah tidak dimasukkan kembali dalam UU No 11 Tahun 2022. “Jadi secara ad hoc siapa saja boleh yang punya kompetensi seperti itu, dan itu sudah saya sampaikan. Jadi demi kepentingan olahraga ke depan, semua bisa untuk itu (ketua KONI) dengan catatan mempunyai kemampuan, kapasitas, dan kapabilitas,” kata Oka Darmawan menjelaskan.
Oka Darmawan lebih lanjut mengatakan yang terpenting dalam menjabat Ketua KONI adalah fokus mengurus, dan memajukan olahraga.
“Yang terpenting dari semua itu, adalah bagaimana agar masyarakat itu sehat dan bugar. Termasuk juha orang yang terpilih telah melalui musyawarah dan merupakan keputusan tertinggi dari organisasi," ucapnya.
Baca juga: KONI Bali persiapkan atlet prestasi pada Porprov 2022
Di tempat terpisah, Pengamat Kebijakan Publik, Togar Situmorang menilai susunan pengurus yang baru belum mencerminkan reformasi dan demokrasi.
"Sangat terlihat ada titipan dari oknum pejabat dan penguasa dalam susunan pengurus KONI Bali. Ini tentu menabrak sejumlah regulasi. Terbukti beberapa oknum di pengurus adalah ASN (aparatur sipil negara)," katanya.
Togar Situmorang yang juga pengacara ini mengatakan regulasi yang pertama ditabrak, pada Pasal 40 UU No 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
"Di pasal ini jelas mengatur tentang larangan ASN jadi pengurus KONI. Juga Pasal 56 ayat 1 sampai 4. dan PP No 16/2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan," ucap Togar Situmorang.
Selain itu, PP No 11 tahun 2017 tentang PNS merangkap jabatan terutama dalam anggaran atau dana KONI yang bersumber dari pemerintah berupa hibah, APBN/APBD. SE Mendagri No X 800/33/57 tanggal 14 Maret 2016 perihal tidak boleh ada rangkap jabatan Kepala Daerah atau Wakil, Pejabat Struktural dan Fungsional serta anggota DPRD masuk dalam kepengurusan KONI.
"Ada anggota DPRD masuk dalam Dewan Penyantun patut dipertanyakan. Karena diduga melanggar UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Di Pasal 188 dijelaskan, anggota DPRD dilarang merangkap jabatan badan usaha milik daerah dan atau badan lainnya yang anggaranya bersumber dari APBN dan APBD," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
“Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional sudah diubah menjadi UU Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan,” kata Oka Darmawan setelah perkenalan pengurus KONI Bali yang baru dan rapat koordinasi di Ruang Rapat KONI Bali di Denpasar, Selasa (19/4).
Menurutnya, jika dilihat dalam UU No 3 Tahun 2005 pada Pasal 40, pengurus komite olahraga nasional, baik komite olahraga provinsi, komite olahraga kabupaten/kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan jabatan struktural dan jabatan publik. “Dalam penjelasan undang-undang tersebut, pejabat publik itu seperti gubernur, bupati dan kepala dinas dan seterusnya,” ujar dia.
Namun, pasal tersebut sudah tidak dimasukkan kembali dalam UU No 11 Tahun 2022. “Jadi secara ad hoc siapa saja boleh yang punya kompetensi seperti itu, dan itu sudah saya sampaikan. Jadi demi kepentingan olahraga ke depan, semua bisa untuk itu (ketua KONI) dengan catatan mempunyai kemampuan, kapasitas, dan kapabilitas,” kata Oka Darmawan menjelaskan.
Oka Darmawan lebih lanjut mengatakan yang terpenting dalam menjabat Ketua KONI adalah fokus mengurus, dan memajukan olahraga.
“Yang terpenting dari semua itu, adalah bagaimana agar masyarakat itu sehat dan bugar. Termasuk juha orang yang terpilih telah melalui musyawarah dan merupakan keputusan tertinggi dari organisasi," ucapnya.
Baca juga: KONI Bali persiapkan atlet prestasi pada Porprov 2022
Di tempat terpisah, Pengamat Kebijakan Publik, Togar Situmorang menilai susunan pengurus yang baru belum mencerminkan reformasi dan demokrasi.
"Sangat terlihat ada titipan dari oknum pejabat dan penguasa dalam susunan pengurus KONI Bali. Ini tentu menabrak sejumlah regulasi. Terbukti beberapa oknum di pengurus adalah ASN (aparatur sipil negara)," katanya.
Togar Situmorang yang juga pengacara ini mengatakan regulasi yang pertama ditabrak, pada Pasal 40 UU No 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
"Di pasal ini jelas mengatur tentang larangan ASN jadi pengurus KONI. Juga Pasal 56 ayat 1 sampai 4. dan PP No 16/2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan," ucap Togar Situmorang.
Selain itu, PP No 11 tahun 2017 tentang PNS merangkap jabatan terutama dalam anggaran atau dana KONI yang bersumber dari pemerintah berupa hibah, APBN/APBD. SE Mendagri No X 800/33/57 tanggal 14 Maret 2016 perihal tidak boleh ada rangkap jabatan Kepala Daerah atau Wakil, Pejabat Struktural dan Fungsional serta anggota DPRD masuk dalam kepengurusan KONI.
"Ada anggota DPRD masuk dalam Dewan Penyantun patut dipertanyakan. Karena diduga melanggar UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Di Pasal 188 dijelaskan, anggota DPRD dilarang merangkap jabatan badan usaha milik daerah dan atau badan lainnya yang anggaranya bersumber dari APBN dan APBD," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022