Masyarakat dan para tokoh di Desa Adat Sangeh, Kabupaten Badung, Provinsi Bali menginginkan pemerintah pusat mengalihkan status Taman Wisata Alam (TWA) Sangeh menjadi hutan adat.
"Ini sudah menjadi impian bersama agar ada kepastian bagi anak cucu kami di sini," kata Bendesa Adat Sangeh IGA Adi Wiraputra saat berbincang dengan anggota DPD Made Mangku Pastika di TWA Sangeh, Badung, Senin.
Menurut dia, status hutan adat tersebut akan lebih tepat karena selama ini pemeliharaan TWA Sangeh yang dihuni ribuan kera dengan luas sekitar 10 hektare itu memang dilakukan oleh krama (warga) adat.
"Apalagi di sini ada pura dan kawasan hutan merupakan bagian 'palemahan' pura, sehingga sudah tentu akan selalu dijaga karena menjadi satu kesatuan dengan kawasan suci," ucapnya pada rangkaian acara reses Made Mangku Pastika itu.
Baca juga: Pemkab Badung tambah desa wisata jadi 17 desa
Wiraputra menambahkan TWA Sangeh dengan Daya Tarik Wisata (DTW) Alas Pala Sangehnya, keberadaannya tetap lestari sampai sekarang karena apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan warga sudah tertuang dalam awig-awig (aturan adat tertulis) dan didukung oleh sekitar 3.000 KK di Desa Adat Sangeh.
"Bahkan, untuk menjaga kebersihan kawasan wisata ini, krama (warga) kami dengan penuh kesadaran dari pukul 04.00-05.00 Wita sudah menyapu dan bersih-bersih di sini. Hal seperti ini mungkin tidak ada dilakukan di daerah lain," ujarnya.
Terkait dengan keinginan warga itu, kata dia, juga telah mendapatkan dukungan Pemerintah Kabupaten Badung. Usulan itu sebelumnya sudah pernah disampaikan pada pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ia berharap, Mangku Pastika mendukung usulan itu sekaligus mengomunikasikan dengan kementerian terkait mengenai persyaratan yang harus dipenuhi agar usulan segera terealisasi.
I Made Budiasa, tokoh masyarakat adat Sangeh, menambahkan dengan menjadi hutan adat maka TWA Sangeh dapat sepenuhnya dikelola desa adat, sedangkan saat ini masih tergolong hutan konservasi.
Untuk beralih menjadi hutan adat, kata dia, juga sudah ada dasar hukumnya berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 21 Tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan HAK.
"Jadi, tolong dibantu, apa yang harus kami siapkan dan lengkapi," ucapnya.
Baca juga: Dua desa wisata di Badung raih "Trisakti Tourism Award 2021"
Anggota DPD Made Mangku Pastika mengakui kepantasan TWA Sangeh berstatus hutan adat.
"Selain itu akan lebih mudah untuk mengawasi. Oleh karena hutan adat, maka siapa juga warga berani untuk menebang pohon?" ujarnya.
Terlebih, kata dia, warga adat Sangeh sudah dari zaman dulu memuliakan keberadaan kera-kera di tempat itu dengan menyebut kera sebagai "Jero Gede".
"Ini hebat, di daerah lain tentu tidak ada sebutan seperti ini untuk kera, warga memberikan sebutan dengan sangat manusiawi kepada para kera," ucap Anggota Komite 2 DPD itu.
Mantan Gubernur Bali dua periode itu, juga melihat selama ini kawasan Sangeh telah terpelihara dengan baik oleh warga adat, sehingga tidak salah jika pemerintah menyerahkan sebagai hutan adat.
"Menjaga kelestarian hutan merupakan salah satu wujud 'Wana Kertih' dan hutan merupakan salah satu penunjang kehidupan kita. Apalagi luasan hutan di Bali masih kurang dari persyaratan minimal 30 persen dari luas pulau," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
"Ini sudah menjadi impian bersama agar ada kepastian bagi anak cucu kami di sini," kata Bendesa Adat Sangeh IGA Adi Wiraputra saat berbincang dengan anggota DPD Made Mangku Pastika di TWA Sangeh, Badung, Senin.
Menurut dia, status hutan adat tersebut akan lebih tepat karena selama ini pemeliharaan TWA Sangeh yang dihuni ribuan kera dengan luas sekitar 10 hektare itu memang dilakukan oleh krama (warga) adat.
"Apalagi di sini ada pura dan kawasan hutan merupakan bagian 'palemahan' pura, sehingga sudah tentu akan selalu dijaga karena menjadi satu kesatuan dengan kawasan suci," ucapnya pada rangkaian acara reses Made Mangku Pastika itu.
Baca juga: Pemkab Badung tambah desa wisata jadi 17 desa
Wiraputra menambahkan TWA Sangeh dengan Daya Tarik Wisata (DTW) Alas Pala Sangehnya, keberadaannya tetap lestari sampai sekarang karena apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan warga sudah tertuang dalam awig-awig (aturan adat tertulis) dan didukung oleh sekitar 3.000 KK di Desa Adat Sangeh.
"Bahkan, untuk menjaga kebersihan kawasan wisata ini, krama (warga) kami dengan penuh kesadaran dari pukul 04.00-05.00 Wita sudah menyapu dan bersih-bersih di sini. Hal seperti ini mungkin tidak ada dilakukan di daerah lain," ujarnya.
Terkait dengan keinginan warga itu, kata dia, juga telah mendapatkan dukungan Pemerintah Kabupaten Badung. Usulan itu sebelumnya sudah pernah disampaikan pada pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ia berharap, Mangku Pastika mendukung usulan itu sekaligus mengomunikasikan dengan kementerian terkait mengenai persyaratan yang harus dipenuhi agar usulan segera terealisasi.
I Made Budiasa, tokoh masyarakat adat Sangeh, menambahkan dengan menjadi hutan adat maka TWA Sangeh dapat sepenuhnya dikelola desa adat, sedangkan saat ini masih tergolong hutan konservasi.
Untuk beralih menjadi hutan adat, kata dia, juga sudah ada dasar hukumnya berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 21 Tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan HAK.
"Jadi, tolong dibantu, apa yang harus kami siapkan dan lengkapi," ucapnya.
Baca juga: Dua desa wisata di Badung raih "Trisakti Tourism Award 2021"
Anggota DPD Made Mangku Pastika mengakui kepantasan TWA Sangeh berstatus hutan adat.
"Selain itu akan lebih mudah untuk mengawasi. Oleh karena hutan adat, maka siapa juga warga berani untuk menebang pohon?" ujarnya.
Terlebih, kata dia, warga adat Sangeh sudah dari zaman dulu memuliakan keberadaan kera-kera di tempat itu dengan menyebut kera sebagai "Jero Gede".
"Ini hebat, di daerah lain tentu tidak ada sebutan seperti ini untuk kera, warga memberikan sebutan dengan sangat manusiawi kepada para kera," ucap Anggota Komite 2 DPD itu.
Mantan Gubernur Bali dua periode itu, juga melihat selama ini kawasan Sangeh telah terpelihara dengan baik oleh warga adat, sehingga tidak salah jika pemerintah menyerahkan sebagai hutan adat.
"Menjaga kelestarian hutan merupakan salah satu wujud 'Wana Kertih' dan hutan merupakan salah satu penunjang kehidupan kita. Apalagi luasan hutan di Bali masih kurang dari persyaratan minimal 30 persen dari luas pulau," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021