Majelis Desa Adat Provinsi Bali memberikan sejumlah tanggapan terkait dengan laporan pengaduan masyarakat yang sebelumnya dilayangkan Ketua Umum Majelis Ketahanan Krama Bali Nusantara (MKKBN) I Ketut Nurasa ke Kepolisian Daerah Bali.
"Saya sudah dapat konfirmasi dari Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, selaku Bandesa Agung (Ketua MDA Bali-red)," kata Petajuh Penyarikan Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali Made Abdi Negara dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Denpasar, Jumat malam.
Dalam keterangan tertulis yang disampaikan Abdi Negara itu dinyatakan Ketua MDA Bali menganggap pelaporan dari I Ketut Nurasa yang mengatasnamakan MKKBN sebagai bagian dari ketidakpahaman pelapor terhadap desa adat, MDA dan drestha Bali secara umum.
Baca juga: MKKBN: kedepankan dialog selesaikan polemik "sampradaya" di Bali
Dia menambahkan, Surat Keputusan Bersama (SKB) PHDI dan MDA Provinsi Bali yang dilaporkan adalah keputusan kolektif kolegial berdasarkan beberapa kali paruman (rapat) dan tidak merupakan keputusan perseorangan atau pribadi.
Sebelumnya, Ketua Umum MKKBN I Ketut Nurasa pada Kamis (13/5) melaporkan Ketua Majelis Desa Adat dan Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali ke Kepolisian Daerah Bali karena somasi yang dilayangkan untuk mengadakan dialog pencabutan Surat Keputusan Bersama terkait Pembatasan Kegiatan Pengembangan Ajaran Sampradaya Non-Dresta di Bali itu tidak direspons.
Laporan pengaduan masyarakat yang disampaikan Nurasa ke Polda Bali itu dengan tiga teradu, yakni Ketua MDA Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, Ketua PHDI Provinsi Bali I Gusti Ngurah Sudiana serta Pinisepuh Perguruan Sandhi Murti Indonesia I Gusti Ngurah Harta.
"Saudara Ketut Nurasa ini sepertinya kurang paham terhadap hukum dan masih perlu untuk memperdalam lagi teori dan praktik hukum. Menggugat SKB kenapa ke pidana/polisi? Mestinya ke pengadilan langsung," ujar Abdi Negara.
Baca juga: Pemprov Bali adakan sensus kekayaan budaya dan kearifan lokal desa adat
Selanjutnya, tambah Abdi, bukan SKB dari MDA dan PHDI Bali yang membuat keresahan secara luas, tetapi Hare Krishna (HK) dan sampradaya asing lainnya telah membuat keresahan yang meluas, juga telah menyebabkan timbulnya kekacauan di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Bali.
Dia mengemukakan itu, karena Hare Krishna dinilai menyebarkan secara terstruktur, masif dan strategis keyakinan agama yang sangat berbeda di tengah-tengah masyarakat yang sudah beragama di Indonesia, khususnya di Bali (di wewengkon/wilayah desa adat).
Kemudian, lanjut dia, HK dan sampradaya asing lainnya melalui tokoh tokohnya telah menjelek-jelekkan agama Hindu Bali (Hindu Dresta Bali). Melalui tokoh-tokohnya sering mendiskreditkan adat Bali, budaya Bali dan desa adat di Bali.
Selanjutnya HK dinilai telah memanipulasi ajaran Hindu Bali (Hindu Dresta Bali) melalui penerbitan dan penyebaran buku-buku hasil pemanipulasian tersebut.
"Apakah setiap surat keputusan atau peraturan atau kebijakan resmi yang kebetulan menimbulkan keresahan atau polemik bisa dipidanakan? UU, PP, kepres, perda, pergub, dan sebagainya kalau menimbulkan keresahan atau polemik, kemudian bisa dipidanakan?," ujarnya mempertanyakan.
Baca juga: Waskita Karya bangun Gedung Majelis Desa Adat di Klungkung
Di sisi lain, terkait dugaan tindak pidana pemberian keterangan/data palsu pada suatu akte otentik, Abdi mengatakan terkait dengan gelar Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet adalah sah sebagai gelar adat/treh di Bali.
"Gelar Pangelingsir adalah sudah biasa. Karena beliau (Ketua MDA) sudah resmi oleh keluarga besar se-Bali, kaadegang sebagai Pangelingsir Agung dengan upacara di Merajan Agung di Semarapura, dipuput oleh Sulinggih, juga disaksikan oleh Ida Dalem Smaraputra, maka gelar itu adalah seumur hidup," ucapnya.
Abdi mengatakan dalam khasanah hukum Indonesia bisa digolongkan sebagai "nama alias". Memakai nama alias atau gelar yang sah adalah sah di Indonesia.
"Tetap memakai nama walaka (sebelum memakai gelar-red) yang di KTP adalah pertimbangan kebutuhan administratif karena kedua nama itu adalah tetap penting, karena banyak dokumen yang saat Walaka, memakai nama Walaka. Nama I Dewa Gede Ngurah Swastha tetap dipergunakan manakala dalam transaksi keuangan, bank, tiket pesawat dan sebagainya," ucapnya.
Baca juga: Gubernur Koster ajak masyarakat satukan kekuatan bangun Bali
Sementara untuk nama gelar dipakai saat saat di luar transaksi keuangan, tiket pesawat atau dokumen yang memakai nama saat walaka.
Jadi, ujar Abdi, tidak ada yang disembunyikan, untuk dua identitas tersebut orangnya sangat jelas dan tidak pernah ada indikasi menyembunyikan identitas.
"Jadi laporan Ketut Nurasa ini sangat mengada-ada. MDA dan PHDI Bali pasti akan memperhatikan dan mempertimbangkan ini secara tegas," ucap Abdi Negara.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
"Saya sudah dapat konfirmasi dari Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, selaku Bandesa Agung (Ketua MDA Bali-red)," kata Petajuh Penyarikan Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali Made Abdi Negara dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Denpasar, Jumat malam.
Dalam keterangan tertulis yang disampaikan Abdi Negara itu dinyatakan Ketua MDA Bali menganggap pelaporan dari I Ketut Nurasa yang mengatasnamakan MKKBN sebagai bagian dari ketidakpahaman pelapor terhadap desa adat, MDA dan drestha Bali secara umum.
Baca juga: MKKBN: kedepankan dialog selesaikan polemik "sampradaya" di Bali
Dia menambahkan, Surat Keputusan Bersama (SKB) PHDI dan MDA Provinsi Bali yang dilaporkan adalah keputusan kolektif kolegial berdasarkan beberapa kali paruman (rapat) dan tidak merupakan keputusan perseorangan atau pribadi.
Sebelumnya, Ketua Umum MKKBN I Ketut Nurasa pada Kamis (13/5) melaporkan Ketua Majelis Desa Adat dan Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali ke Kepolisian Daerah Bali karena somasi yang dilayangkan untuk mengadakan dialog pencabutan Surat Keputusan Bersama terkait Pembatasan Kegiatan Pengembangan Ajaran Sampradaya Non-Dresta di Bali itu tidak direspons.
Laporan pengaduan masyarakat yang disampaikan Nurasa ke Polda Bali itu dengan tiga teradu, yakni Ketua MDA Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, Ketua PHDI Provinsi Bali I Gusti Ngurah Sudiana serta Pinisepuh Perguruan Sandhi Murti Indonesia I Gusti Ngurah Harta.
"Saudara Ketut Nurasa ini sepertinya kurang paham terhadap hukum dan masih perlu untuk memperdalam lagi teori dan praktik hukum. Menggugat SKB kenapa ke pidana/polisi? Mestinya ke pengadilan langsung," ujar Abdi Negara.
Baca juga: Pemprov Bali adakan sensus kekayaan budaya dan kearifan lokal desa adat
Selanjutnya, tambah Abdi, bukan SKB dari MDA dan PHDI Bali yang membuat keresahan secara luas, tetapi Hare Krishna (HK) dan sampradaya asing lainnya telah membuat keresahan yang meluas, juga telah menyebabkan timbulnya kekacauan di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Bali.
Dia mengemukakan itu, karena Hare Krishna dinilai menyebarkan secara terstruktur, masif dan strategis keyakinan agama yang sangat berbeda di tengah-tengah masyarakat yang sudah beragama di Indonesia, khususnya di Bali (di wewengkon/wilayah desa adat).
Kemudian, lanjut dia, HK dan sampradaya asing lainnya melalui tokoh tokohnya telah menjelek-jelekkan agama Hindu Bali (Hindu Dresta Bali). Melalui tokoh-tokohnya sering mendiskreditkan adat Bali, budaya Bali dan desa adat di Bali.
Selanjutnya HK dinilai telah memanipulasi ajaran Hindu Bali (Hindu Dresta Bali) melalui penerbitan dan penyebaran buku-buku hasil pemanipulasian tersebut.
"Apakah setiap surat keputusan atau peraturan atau kebijakan resmi yang kebetulan menimbulkan keresahan atau polemik bisa dipidanakan? UU, PP, kepres, perda, pergub, dan sebagainya kalau menimbulkan keresahan atau polemik, kemudian bisa dipidanakan?," ujarnya mempertanyakan.
Baca juga: Waskita Karya bangun Gedung Majelis Desa Adat di Klungkung
Di sisi lain, terkait dugaan tindak pidana pemberian keterangan/data palsu pada suatu akte otentik, Abdi mengatakan terkait dengan gelar Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet adalah sah sebagai gelar adat/treh di Bali.
"Gelar Pangelingsir adalah sudah biasa. Karena beliau (Ketua MDA) sudah resmi oleh keluarga besar se-Bali, kaadegang sebagai Pangelingsir Agung dengan upacara di Merajan Agung di Semarapura, dipuput oleh Sulinggih, juga disaksikan oleh Ida Dalem Smaraputra, maka gelar itu adalah seumur hidup," ucapnya.
Abdi mengatakan dalam khasanah hukum Indonesia bisa digolongkan sebagai "nama alias". Memakai nama alias atau gelar yang sah adalah sah di Indonesia.
"Tetap memakai nama walaka (sebelum memakai gelar-red) yang di KTP adalah pertimbangan kebutuhan administratif karena kedua nama itu adalah tetap penting, karena banyak dokumen yang saat Walaka, memakai nama Walaka. Nama I Dewa Gede Ngurah Swastha tetap dipergunakan manakala dalam transaksi keuangan, bank, tiket pesawat dan sebagainya," ucapnya.
Baca juga: Gubernur Koster ajak masyarakat satukan kekuatan bangun Bali
Sementara untuk nama gelar dipakai saat saat di luar transaksi keuangan, tiket pesawat atau dokumen yang memakai nama saat walaka.
Jadi, ujar Abdi, tidak ada yang disembunyikan, untuk dua identitas tersebut orangnya sangat jelas dan tidak pernah ada indikasi menyembunyikan identitas.
"Jadi laporan Ketut Nurasa ini sangat mengada-ada. MDA dan PHDI Bali pasti akan memperhatikan dan mempertimbangkan ini secara tegas," ucap Abdi Negara.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021