Jakarta (Antara Bali) - Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan penyatuan zona waktu di Indonesia merupakan langkah yang keliru dan mengorbankan 200 juta jiwa masyarakat Nusantara.

"Ini bisa menimbulkan kekacauan, tidak ada alasan objektifnya untuk menyatukan zona waktu di Indonesia. Mereka yang berada di barat, harus beraktivitas lebih pagi atau lebih gelap dari sebelumnya," kata Jusuf Kalla di Jakarta, Selasa.

Penyatuan zona waktu di Indonesia menjadi GMT + 8 (Waktu Indonesia bagian Tengah) yang diwacanakan pemerintah tersebut, akan membuat 193 juta jiwa di wilayah Indonesia bagian barat dan enam juta penduduk Indonesia bagian timur harus mengubah pola hidupnya secara drastis.

Ia mencontohkan, para pekerja yang tinggal di Bekasi dan Jakarta yang biasanya berangkat dari rumah 05.30 WIB agar sampai di Jakarta pukul 07.00 WIB dengan penyatuan zona waktu GMT+8 tersebut harus keluar rumah lebih pagi lagi yaitu pukul 04.30 WIB.

"Terus harus bangun lebih pagi lagi, makan pagi jam 04.00 lebih malam, dan berangkat 04.30 WIB mereka shalatnya bagaimana?" katanya.

Belum lagi mereka yang tinggal di daerah paling barat Indonesia seperti Aceh yang tentunya harus lebih pagi lagi. "Bagaimana mereka yang mau berangkat sekolah, masak harus jalan pakai obor," ucapnya.

Jusuf Kalla mengatakan zona waktu sebenarnya menyesuaikan keseimbangan alam. Bila jam 06.00 di daerah tropis memang seharusnya matahari terbit, begitu pula pukul 12.00 matahari berada di tengah-tengah dan pukul 06.00 malam, saat matahari tenggelam.

Untuk itu, berdasarkan letak geografis dengan rentang panjang wilayah Indonesia mencapai 5.000 km maka sangat tidak logis untuk menyatukan zona waktu melihat kondisi alam.

"Di seluruh dunia, tidak ada negara dengan rentang panjangnya 5.000 km memiliki satu zona waktu kecuali hanya China. Itu pun karena keputusan Partai Komunis China pada 1949 untuk mengontrol kekuasannya, jadi alasan politik kekuasaan," katanya.(*/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012