Wakil Sekretaris Yayasan Pendidikan Widya Kerthi, I Ketut Arya Suharja mengajak umat Hindu di Pulau Dewata mampu merespons tantangan zaman untuk menjaga kebudayaan, dalam mendukung kehidupan yang baik dan berkelanjutan. 

"Kebudayaan tersebut diwariskan oleh para leluhur (tradisi) dapat diimplementasikan sesuai dengan 'desa, kala, patra, iksa dan sakti'. Upaya itu untuk mencapai peran sosial yang tengah berkembang dalam masyarakat, baik tingkat lokal, nasional dan global," kata Arya Suharja, di Denpasar, Minggu.

Dengan mampu merespons tantangan zaman, diharapkan dapat menuju Bali yang lebih maju, sementara budaya masyarakat Palau Dewata selalu terbuka menerima informasi dan  budaya dari luar tanpa melupakan jati diri yang pondasi fundamental.

"Jika ditinjau seksama, beragam kebudayaan telah berkembang di Bali sejak dahulu hingga saat ini. Memiliki sejarah yang panjang dan mampu  berjalan berdampingan dan harmonis. Hal itulah yang menjadi daya tarik dunia untuk melihat keberagaman yang ada di Palau Dewata," ucapnya yang juga Sekretaris  Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Bali itu.

Baca juga: President WHP: nilai-nilai Hindu solusi hadapi pandemi COVID-19

Dia menambahkan, hampir semua agama atau keyakinan ada di Bali, dengan tradisi dan kesenian yang bernafaskan Hindu yang selalu dijaga agar ajeg dan lestari. Keberhasilan itu tidak terlepas dari komitmen dan konsep pembangunan Bali yang diwariskan sangat kental nuansanya berbasis agraris.

"Leluhur orang Bali telah membentuk sebuah organisasi Subak  atau sistem irigasi yang berkembang dari abad kesembilan dari sejak kedatangan Maha Rsi Markandeya," ucapnya.

Peranan Maha Rsi Markandeya sebagai salah satu tonggak sejarah dari perkembangan agama Hindu di Bali, dimana pertama kali menanam Panca Datu di Pura Besakih dan merintis masa sejarah pada abad ke-9. Masa kedatangan memperkenalkan masyarakat Bali dengan pengetahuan tentang keagamaan dan mulai adanya peninggalan sejarah dalam bentuk tulisan di Pulau Dewata.

Terkait dengan Subak dan sistem bercocok tanam juga masih dipertahankan sebagai salah satu keunikan budaya masyarakat Bali. Bahkan UNESCO atau Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan dan Budaya akhirnya mengesahkan budaya Subak dari Bali sebagai bagian dari warisan dunia pada Sidang ke-36 di St.Petersburg, Rusia, Jumat, 29 Juni 2012.

"Sedangkan peninggalan tertulis dari aman Maha Rsi Markandeya dapat ditemukan  berupa beberapa prasasti, lontar atau Purana. Dalam lontar tersebut disebutkan bahwa Maha Rsi Markandeya berasal dari India  melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawadwipa," ujarnya.

Baca juga: Bandara Ngurah Rai Bali laksanakan ritual "Peneduh Jagat" mohon keselamatan dari COVID-19

Kemudian Maha Rsi Markandeya sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang (Pegunungan Dieng), Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah yang pada saat itu berada dalam pemerintahan Mataram Kuno (wangsa Sanjaya dan Syailendra).

"Subak merupakan implementasi nyata konsep Tri Hita Karana warisan adiluhung yang memiliki nilai universal. Berikutnya, subak diperkuat dengan  berkembang pengaturan pada masing-masing daerah dalam bentuk desa pekraman atau yang kini dikenal menjadi desa adat," katanya.

Menurut Arya Suharja, desa adat memiliki hak otonomi dalam mengatur wilayahnya dalam menjamin kedamaian dan kesejahteraan rakyat (krama), namun tetap adanya koordinasi antar-desa adat. 

"Dengan hal tersebut,  kebijakan-kebijakan desa pakraman memiliki  kesamaan-kesamaan dengan desa pakraman daerah lain tanpa adanya tekanan dari penguasa. Desa pekraman atau desa adat akan mengikuti dari tokoh yang menjadi contoh atau disucikan," ucapnya.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020