Ketua PHRI BPC Bangli I Ketut Mardjana meminta agar pemerintah provinsi Bali untuk melonggarkan atau memulai kegiatan pariwisatanya lagi secara bertahap dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
“Pariwisata di provinsi Bali itu tulang punggung ekonomi daerah. Jika pariwisata ditutup maka lumpuh pula ekonomi rakyat di segala sektor. Setelah berbulan-bulan pariwisatanya ditutup, kini saatnya mulai melonggarkan kehidupan pariwisata di seluruh kabupaten,” kata Ketut Mardjana, di Bangli, Selasa.
Selaku general manager Toya Devasya, Ketut Mardjana memulai operasional tempat wisata pemandian air panas yang terkenal dan favorit di Kintamani, Bangli pada Senin (15/6) lalu.
Toya Devasya ditutup sementara sejak 22 Maret 2020 akibat sepinya pengunjung. Pengoperasian Toya Devasya belum optimal, hanya melayani restoran dan akomodasi (penginapan), sedangkan kegiatan wisata air, spa dan pijat sehat belum operasional kembali.
“Saya dapat data pertumbuhan ekonomi Bali sudah minus 1,4 persen. Ini sudah harus diantisipasi agar tidak makin memburuk demi menghindari dampak sosial yakni angka kriminalitas yang tinggi,“ kata Ketut Mardjana.
Baca juga: Tempat wisata "Toya Devasya" Kintamani-Bali mulai operasional
Ia mengemukakan hal itu karena hingga kini, pemerintah propinsi Bali terkesan masih ragu dan khawatir untuk membuka kembali lokasi pariwisatanya.
Ia mendukung pemerintahan Jokowi dan menteri pariwisata dan ekonomi kreatif Wishnutama untuk membuka kembali destinasi wisata tapi dengan ketat menjalankan protocol kesehatan.
“Untuk Bali, kami mengharapkan kegiatan pariwisata yang akan dibuka tidak hanya sebatas Nusa Dua, tapi seluruh kabupaten tapi sudah siap dengan penerapan protokol kesehatan,” tambah dia menyampaikan aspirasi masyarakat Bangli.
Ia juga mempertanyakan mengapa pasar rakyat masih bisa beroperasi setiap hari, sedangkan lokasi wisata harus ditutup.
“Jika pasar rakyat itu boleh tetap beroperasi karena menyangkut hajat hidup orang banyak, tempat pariwisata juga seperti Toya Devasya juga menghidupi ekonomi masyarakat setempat mulai dari penyerapan tenaga kerja dan hasil pertanian,” kata Ketua PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia) BPC Bangli itu.
Dampak dari penutupan pariwisata, hasil pertanian seperti buah buahan, telor, kini dijajakan di pinggir jalan raya akibat produknya tidak diserap perhotelan dan restoran besar.
“Apa yang dimaksud objek wisata juga masih belum jelas, misalkan kawasan pantai Sanur dan pantai Kuta ditutup, tapi banyak kafe, restoran, minimarket yang buka dan operasi, padahal itu juga bagian dari pariwisata,” katanya.
Baca juga: Dilema antara Kesehatan (COVID-19) versus Pariwisata di Bali
Ia juga mencontohkan lagi di museum Geopark Batur, Kintamani, di depannya disiapkan cuci tangan. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat boleh berkunjung ke museum. Oleh sebab itu disiapkan tempat cuci tangan di pintu masuk.
Ketut Mardjana yang juga Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Bangli meminta pemerintah propinsi Bali untuk meringankan biaya perjalanan wisata ke Bali untuk menggairahkan wisatawan datang ke Bali.
“Hapuskan syarat swab test untuk turis yang mau ke Bali dengan pesawat. Bebaskan syarat rapid test bagi turis ke Bali dengan penyeberangan, tapi perketat protokol kesehatan di Bandara Ngurah Rai dan Terminal penyeberangan. Setiap turis yang dicek dengan swab test positif COVID saja yang dipulangkan ke daerah asalnya atau dirawat di Bali,” tambah dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020