Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Air mengalir jernih gemericik di sungai Ayung dan Sungai Campuhan perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar yang kiri-kanannya ditumbuhi pepohonan menghijau dan lestari, ditakdirkan oleh para Dewata sebagai tempat penuh kegemilangan.
Alam sekitar berupa jurang dan tebing terjal ditumbuhi pepohonan yang lebat, seolah-olah menyimpan kekuatan spiritual, yang mampu memberikan ketenangan, kedamaian dan kenyamanan itu kini menjadi sasaran pemilik modal dan orang asing untuk membangun vila.
Pembangunan vila, dengan fasilitas mewah seperti hotel berbintang dalam beberapa tahun belakangan ini tidak hanya di kawasan Ubud, namun juga menjamur ke berbagai lokasi di pedesaan di Bali lainnya, termasuk Kabupaten Tabanan yang selama ini dikenal sebagai daerah gudang beras di Pulau Dewata.
Bahkan vila dibangun di atas lahan yang cukup luas dilengkapi kolam renang dan fasilitas lainnya setara hotel antarbangsa menjadi daya tarik wisatawan dalam dan luar negeri, karena mereka dengan aman dan nyaman bisa menikmati alam pedesaan yang jauh dari keramaian dan kebisingan kota.
Selain rasa nyaman turis yang datang dari berbagai negara di belahan dunia, juga dapat menikmati keasrian dan keindahan panorama alam pedesaan serta keunikan seni budaya yang diwarisi masyarakat setempat mampu membuat pelancong betah berliburan, meskipun mereka sudah berulang kali datang ke Bali.
Kondisi demikian menambah beban berat bagi Bali, karena fasilitas dan sarana pendukung kepariwisataan di Pulau Dewata terus bertambahkan, bahkan melebihi daya dukung Bali, tutur Ketua Dewan Harian 1945 Provinsi Bali Prof Dr Ir Wayan Windia, MS.
Pria kelahiran Gianyar 58 tahun silam yang juga Guru Besar Universitas Udayana itu menambahkan, pembangunan fasilitas pariwisata, termasuk tempat pemukiman dan kebutuhan pembangunan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan lainnya mengakibatkan alih fungsi lahan yang cukup luas.
Alih fungsi lahan pertanian untuk memenuhi berbagai kepentingan pembangunan, terutama untuk pariwisata selama lima tahun, periode 2005-2010 mencapai 5.000 hektare atau setiap tahunnya rata-rata 1.000 hektare, sehingga pembangunan di daerah ini berkembang pesat.
Hasil penelitian dan pengkajian yang dilakukan SCETO, konsultan pariwisata dari Prancis tahun 1975, daerah tujuan wisata Pulau Bali seharusnya maksimal bisa menampung pembangunan 24.000 kamar hotel berbintang untuk menjaga keseimbangan daya dukung Bali.
Namun kenyataannya di Bali kini telah dibangun 70.000 kamar hotel berbintang atau tiga kali lipat daya dukung yang ada, disamping ratusan bahkan ribuan vila yang fasilitasnya hampir sama dengan hotel berbintang, sehingga Bali sudah saatnya melakukan moratorium terhadap pembangunan fisik terkait kepentingan pariwisata.
Untuk itu Prof Windia berharap Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu mampu mengembangkan sektor pariwisata secara merata di seluruh daerah di Tanah Air seperti halnya pariwisata Bali.
Sementara pariwisata Bali jangan lagi dikembangkan atau disentuh, karena daerah ini dinilai sudah jenuh dan rusak akibat beban pembangunan yang terlalu berat.
Pengembangan pariwisata diarahkan ke daerah-daerah di luar Bali dengan harapan mampu memberikan dampak ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Bali rusak
Prof Windia menilai, jika pariwisata Bali tidak segera dihentikan atau dikendalikan pembangunan sektor pariwisata, dikhawatirkan Bali akan rusak, karena pemilik modal akan selalu datang untuk mengeruk keuntungan, tanpa peduli akan pencemaran dan kerusakan.
Jika pembangunan fasilitas pariwisata di Bali tidak dikendalikan, termasuk wacana pembangunan bandara internasional di Kabupaten Buleleng, Bali utara maupun jalan lintasan rel kereta api lelet keliling Bali akan mempercepat proses "kehancuran" Pulau Dewata.
Pembangunan fasilitas baru itu secara tidak langsung mempercepat proses "kehancuran" Bali, baik dari segi fisik, sosial dan budaya. Oleh sebbab itu Bali sudah saatnya melakukan moratorium terhadap pembangunan fisik terkait kepentingan pariwisata.
Upaya tersebut perlu dilakukan untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan Pulau Dewata guna mencegah timbulnya bencana alam. Untuk itu perlu langkah tegas pemerintah untuk menghentikan sementara pembangunan di sektor pariwisata.
Bali yang setiap tahunnya menerima sedikitnya 2,5 juta wisatawan mancanegara itu di beberapa kawasan tertentu sebenarnya sudah terjadi konflik dan perlawanan sosial, dan fisiknya mulai tercemar. Hal itu berarti kapasitas pembangunan di wilayah itu sudah maksimal.
Selain kehancuran Bali secara fisik, ancaman pariwisata Bali ke depan juga menyangkut pencemaran lingkungan, abrasi pantai dan kemacetan lalu lintas.
Timbunan sampah yang bisa menurunnya kualitas dan kuantitas air sungai maupun danau menjadi masalah yang rumit untuk menjadikan Bali sebagai Pulau Bersih dan Hijau (Bali Clean and Green).
Volume sampah perkotaan yang tercatat pada tempat penampungan akhir (TPA) di Bali setiap harinya rata-rata mencapai 5.094 meter kubik hingga kini belum seluruhnya dapat ditangani secara tuntas.
Di luar TPA itu masih diperkirakan ada sampah sekitar 10.182 meter kubik, di antaranya 6.560 meter kubik di daerah perkotaan.
Banyaknya sampah-sampah yang belum tertangani sangat mengganggu masyarakat dan lingkungan, sekaligus ancaman bagi pariwisata Bali ke depan. Oleh sebab itu Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan jajarannya untuk menangani masalah sampah dan menjadikan Bali yang bersih dan hijau.
Oleh sebab itu seluruh lapisan masyarakat hendaknya membiasakan hidup bersih, serta mengolah sampah, khususnya sampah plastik menjadi produk yang bernilai ekonomis.
"Sampah dan limbah lainnya dapat diolah menjadi pupuk ramah lingkungan, sehingga mampu mewujudkan Bali yang bersih dan hijau," tutur Gubernur Pastika.(**)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
Denpasar (Antara Bali) - Air mengalir jernih gemericik di sungai Ayung dan Sungai Campuhan perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar yang kiri-kanannya ditumbuhi pepohonan menghijau dan lestari, ditakdirkan oleh para Dewata sebagai tempat penuh kegemilangan.
Alam sekitar berupa jurang dan tebing terjal ditumbuhi pepohonan yang lebat, seolah-olah menyimpan kekuatan spiritual, yang mampu memberikan ketenangan, kedamaian dan kenyamanan itu kini menjadi sasaran pemilik modal dan orang asing untuk membangun vila.
Pembangunan vila, dengan fasilitas mewah seperti hotel berbintang dalam beberapa tahun belakangan ini tidak hanya di kawasan Ubud, namun juga menjamur ke berbagai lokasi di pedesaan di Bali lainnya, termasuk Kabupaten Tabanan yang selama ini dikenal sebagai daerah gudang beras di Pulau Dewata.
Bahkan vila dibangun di atas lahan yang cukup luas dilengkapi kolam renang dan fasilitas lainnya setara hotel antarbangsa menjadi daya tarik wisatawan dalam dan luar negeri, karena mereka dengan aman dan nyaman bisa menikmati alam pedesaan yang jauh dari keramaian dan kebisingan kota.
Selain rasa nyaman turis yang datang dari berbagai negara di belahan dunia, juga dapat menikmati keasrian dan keindahan panorama alam pedesaan serta keunikan seni budaya yang diwarisi masyarakat setempat mampu membuat pelancong betah berliburan, meskipun mereka sudah berulang kali datang ke Bali.
Kondisi demikian menambah beban berat bagi Bali, karena fasilitas dan sarana pendukung kepariwisataan di Pulau Dewata terus bertambahkan, bahkan melebihi daya dukung Bali, tutur Ketua Dewan Harian 1945 Provinsi Bali Prof Dr Ir Wayan Windia, MS.
Pria kelahiran Gianyar 58 tahun silam yang juga Guru Besar Universitas Udayana itu menambahkan, pembangunan fasilitas pariwisata, termasuk tempat pemukiman dan kebutuhan pembangunan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan lainnya mengakibatkan alih fungsi lahan yang cukup luas.
Alih fungsi lahan pertanian untuk memenuhi berbagai kepentingan pembangunan, terutama untuk pariwisata selama lima tahun, periode 2005-2010 mencapai 5.000 hektare atau setiap tahunnya rata-rata 1.000 hektare, sehingga pembangunan di daerah ini berkembang pesat.
Hasil penelitian dan pengkajian yang dilakukan SCETO, konsultan pariwisata dari Prancis tahun 1975, daerah tujuan wisata Pulau Bali seharusnya maksimal bisa menampung pembangunan 24.000 kamar hotel berbintang untuk menjaga keseimbangan daya dukung Bali.
Namun kenyataannya di Bali kini telah dibangun 70.000 kamar hotel berbintang atau tiga kali lipat daya dukung yang ada, disamping ratusan bahkan ribuan vila yang fasilitasnya hampir sama dengan hotel berbintang, sehingga Bali sudah saatnya melakukan moratorium terhadap pembangunan fisik terkait kepentingan pariwisata.
Untuk itu Prof Windia berharap Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu mampu mengembangkan sektor pariwisata secara merata di seluruh daerah di Tanah Air seperti halnya pariwisata Bali.
Sementara pariwisata Bali jangan lagi dikembangkan atau disentuh, karena daerah ini dinilai sudah jenuh dan rusak akibat beban pembangunan yang terlalu berat.
Pengembangan pariwisata diarahkan ke daerah-daerah di luar Bali dengan harapan mampu memberikan dampak ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Bali rusak
Prof Windia menilai, jika pariwisata Bali tidak segera dihentikan atau dikendalikan pembangunan sektor pariwisata, dikhawatirkan Bali akan rusak, karena pemilik modal akan selalu datang untuk mengeruk keuntungan, tanpa peduli akan pencemaran dan kerusakan.
Jika pembangunan fasilitas pariwisata di Bali tidak dikendalikan, termasuk wacana pembangunan bandara internasional di Kabupaten Buleleng, Bali utara maupun jalan lintasan rel kereta api lelet keliling Bali akan mempercepat proses "kehancuran" Pulau Dewata.
Pembangunan fasilitas baru itu secara tidak langsung mempercepat proses "kehancuran" Bali, baik dari segi fisik, sosial dan budaya. Oleh sebbab itu Bali sudah saatnya melakukan moratorium terhadap pembangunan fisik terkait kepentingan pariwisata.
Upaya tersebut perlu dilakukan untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan Pulau Dewata guna mencegah timbulnya bencana alam. Untuk itu perlu langkah tegas pemerintah untuk menghentikan sementara pembangunan di sektor pariwisata.
Bali yang setiap tahunnya menerima sedikitnya 2,5 juta wisatawan mancanegara itu di beberapa kawasan tertentu sebenarnya sudah terjadi konflik dan perlawanan sosial, dan fisiknya mulai tercemar. Hal itu berarti kapasitas pembangunan di wilayah itu sudah maksimal.
Selain kehancuran Bali secara fisik, ancaman pariwisata Bali ke depan juga menyangkut pencemaran lingkungan, abrasi pantai dan kemacetan lalu lintas.
Timbunan sampah yang bisa menurunnya kualitas dan kuantitas air sungai maupun danau menjadi masalah yang rumit untuk menjadikan Bali sebagai Pulau Bersih dan Hijau (Bali Clean and Green).
Volume sampah perkotaan yang tercatat pada tempat penampungan akhir (TPA) di Bali setiap harinya rata-rata mencapai 5.094 meter kubik hingga kini belum seluruhnya dapat ditangani secara tuntas.
Di luar TPA itu masih diperkirakan ada sampah sekitar 10.182 meter kubik, di antaranya 6.560 meter kubik di daerah perkotaan.
Banyaknya sampah-sampah yang belum tertangani sangat mengganggu masyarakat dan lingkungan, sekaligus ancaman bagi pariwisata Bali ke depan. Oleh sebab itu Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan jajarannya untuk menangani masalah sampah dan menjadikan Bali yang bersih dan hijau.
Oleh sebab itu seluruh lapisan masyarakat hendaknya membiasakan hidup bersih, serta mengolah sampah, khususnya sampah plastik menjadi produk yang bernilai ekonomis.
"Sampah dan limbah lainnya dapat diolah menjadi pupuk ramah lingkungan, sehingga mampu mewujudkan Bali yang bersih dan hijau," tutur Gubernur Pastika.(**)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011